Sukses

Kenali Apa Saja Dampak Parentifikasi, Ketika Orangtua dan Anak Bertukar Peran

Parentifikasi adalah situasi ketika anak dituntut untuk mengasuh serta menanggung beban emosional orangtua

Liputan6.com, Jakarta - Dalam hubungan orangtua-anak yang sehat, baik ayah maupun ibu memberikan dukungan fisik dan emosional ke buah hati. Peran orangtua adalah memberi, sementara anak perannya sebagai penerima.

Dengan mengurus kebutuhan fisik dan emosional si Kecil, orangtua memberi ruang agar anak dapat bereksplorasi, belajar, dan tumbuh.

Namun, pada beberapa kasus, justru yang terjadi adalah kebalikannya atau dikenal dengan parentifikasi. 

Parentifikasi adalah distorsi dinamika ketika peran orangtua dan anak terbalik, dengan anak memberi orangtua lebih dari yang diterimanya.

Saat parentifikasi terjadi, anak ditarik ke dalam peran pengasuh emosional, fisik, atau logistik bagi orangtua, ujar seorang psikolog klinis dan profesor di Universitas Yeshiva Sabrina Romanoff PsyD, dikutip dari situs Verywell Mind pada Minggu (8/1)

Ini dapat terjadi ketika pernikahan orangtua berantakan. Orangtua yang sering bertengkar, biasanya akan membagi beban emosional dengan anak-anaknya yang ternyata dapat berakibat buruk.

"Ketika ibu saya berbagi rasa sakit emosionalnya dengan saya, saya merasa seperti jatuh ke dalam lubang," kata Brent Sweitzer, yang sekarang telah menjadi ayah dua anak dan terapis berlisensi di Cumming, Georgia.

"Ketika dewasa, saya mendapati diri saya menghindari hubungan dekat, terutama yang romantis. Saya takut untuk berbagi perasaan saya yang sebenarnya dan jati diri dengan orang lain," ujarnya kepada Fatherly.

Dia kemudian belajar bahwa anak tidak seharusnya 'menghibur' orang dewasa akan masalahnya dan bahwa otak anak kecil belum bisa menangani tingkat tanggung jawab sebesar itu.

2 dari 4 halaman

Orangtua Mengeksploitasi Anak Tanpa Sadar

Secara alami, anak-anak mudah berempati, yang membuat orangtua kerapkali melewati batas secara tidak sengaja dan berujung pada 'parentifikasi'. 

Tindakan yang dilakukan menempatkan anak-anak dalam situasi di mana mereka merasa lebih seperti orangtua daripada anak-anak.

"Sayangnya, anak-anak mudah dieksploitasi seperti itu," kata direktur The Marriage and Family Clinic di Denver Aaron Anderson, LMFT.

"Jika Anda mengajar anak-anak untuk ada setiap kali Anda mengalami gangguan emosional, dia akan melakukannya, sedangkan orang dewasa lain tidak," dia menambahkan.

Orangtua tidak sadar telah mengeksploitasi anak-anaknya, kata Anderson. Namun, orangtua sering berpikir,"Jauh lebih mudah untuk berbicara dengan anak saya. Ia peduli pada saya dan memeluk saya ketika sedih.".

Menjangkau anak untuk cinta dan dukungan mungkin tidak terdengar seperti tindakan yang dapat merusak perkembangannya, tapi kenyataannya parentifikasi bisa.

Jenis Parentifikasi

Terdapat dua jenis parentifikasi, yaitu parentifikasi instrumental dan emosional. Parentifikasi instrumental mengacu pada anak yang merawat adik-adiknya atau melakukan tugas-tugas rumah tangga.

Sementara parentifikasi emosional yaitu ketika orangtua mencari anaknya untuk memenuhi kebutuhan emosional mereka.

Anak-anak yang sering mengalami parentifikasi emosional akan memainkan peran tidak sehat yang merupakan gabungan dari peran sebagai orangtua, terapis, dan sahabat dalam kaitannya hubungan orangtua-anak.

3 dari 4 halaman

Ibu Lebih Sering Jadi Pelaku Parentifikasi

Dalam kaitannya dengan hubungan toksik antara orangtua dan anak, ibu lebih sering terlibat.

Ini karena secara umum, ibu cenderung lebih ekspresif secara emosional daripada pria, jadi masuk akal bahwa yang lebih sering mencari anak untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya adalah ibu ketimbang ayah.

Dibanding ayah, peran ibu dalam mengasuh anak biasanya lebih besar, dan karenanya menanggung lebih banyak beban kritik pengasuhan.

"Laki-laki mungkin lebih jarang memparentifikasi anak, karena dia diajari untuk jangan bersandar pada anak-anak, jangan bersandar pada pasangan, dan jangan bersandar pada siapa pun," kata Anderson.

Meskipun parentifikasi lebih jarang terjadi di antara ayah, bukan berarti tidak ada.

Pria yang dulunya mengalami parentifikasi dengan orangtuanya tumbuh dewasa tanpa menyadari akan risiko untuk mengulangi perilaku parentifikasi dengan anak-anaknya sendiri.

Pria cenderung mencari dukungan dari anak dengan cara yang berbeda dan, seringkali, lebih halus daripada wanita, kata seorang psikolog klinis di Santa Rosa, California Carla Marie Manly, Ph.D.

"Saya bertemu para ayah yang mengalihkan perhatian penuh kepada anak-anaknya yang masih kecil, seringkali seorang anak perempuan yang masih kecil, untuk menghindari keintiman emosional dengan ibu," kata Manly.

"Anak itu kemudian 'menggantikan' ibu dan menjadi putri kecil Ayah," dia menambahkan.

4 dari 4 halaman

Parentifikasi Terbawa Hingga Dewasa

Anak kecil senang dimanja, tapi karena ayah tidak menunjukkan batas yang tepat, sikap ini akan terbawa hingga dewasa dan berujung dengan anak mencari pasangan yang dapat mengasuhnya layaknya sang ayah.

Manly juga memiliki klien yang mengatakan ayahnya seperti anak kecil yang hobi menghindar dari bagian kehidupan yang tidak menyenangkan.

"Ketika seorang ayah memiliki sikap seperti ini, anak secara alami dipaksa untuk berperan sebagai orangtua," katanya.

Sweitzer mengatakan bahwa bukannya dilarang terlibat dengan anak, tapi ayah perlu mempertimbangkan apakah tujuannya untuk memenuhi kebutuhan anak atau dirinya sendri.

"Tidak salah jika ingin memenuhi kebutuhan Anda juga, tetapi tanyakan pada diri sendiri apakah hal itu akan bertentangan dengan kebutuhan anak," ujarnya.

Hubungan orangtua-anak tidak boleh dibalik bahkan ketika anak-anak mulai beranjak dewasa, ucap psikoterapis Susan Pease Gadoua, LCSW.

Jika Anda khawatir adanya parentifikasi dalam keluarga, konsultasikan ke terapis untuk mencari solusi.

 

(Adelina Wahyu Martanti)