Liputan6.com, Jakarta - Kesedihan merupakan suatu emosi yang pastinya pernah dialami semua orang ketika berada di titik terendah kehidupannya. Misalnya, kehilangan orang yang dicintai, dipecat dari pekerjaan yang menjadi jembatan hidup, atau mengalmi kerugian akibat terdampak bencana alam.
Perasaan ini memang memusingkan dan membuat frustrasi serta kewalahan.
Baca Juga
Kesedihan adalah respons kompleks terhadap kehilangan yang meliputi perubahan emosional, kognitif, perilaku dan fisiologis, yang berarti banyak bagian otak terlibat dalam menghasilkan respons terhadap kesedihan. Semakin dalam rasa sedih yang dirasakan, semakin sulit bagi otak untuk menavigasi keadaan dengan baik.
Advertisement
Otak mengidentifikasi perasaan kehilangan traumatis sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup, ujar seorang ahli saraf di University of Maryland’s School of Medicine Dr. Lisa M. Shoulman kepada Live Science.
"Dari perspektif evolusi, otak berkembang untuk mempertahankan kelangsungan hidup, jadi apa pun yang dianggap sebagai ancaman memicu respons besar dari otak yang berdampak terhadap banyak bagian tubuh," katanya.
"Kita terbiasa menganggap trauma fisik sebagai ancaman, tetapi trauma emosional yang serius memiliki efek yang sama."
Menurut Shulman, otak merespons berbagai ancaman yang dirasakan dengan cara yang sama. Dengan kata lain, otak memiliki reaksi default yang dipicu oleh semua jenis trauma emosional yang serius, baik itu berkaitan dengan kesedihan, perceraian, atau kehilangan pekerjaan.
"Amigdala yang terletak jauh di dalam bagian primitif otak—dan berperan dalam mengatur emosi—selalu waspada terhadap ancaman," ungkap Shulman.
"Ketika terpicu, ini menimbulkan serangkaian peristiwa yang membuat seluruh tubuh waspada tinggi," lanjutnya. Misalnya, detak jantung semakin cepat. Laju pernapasan dan sirkulasi darah juga meningkat.
Amigdala Waspada Akan Kemungkinan Ancaman
Shulman mengatakan ini bukan peristiwa yang berdiri sendiri ketika berbicara soal kesedihan. Sebaliknya, hari, minggu, dan bulan dipenuhi dengan pengingat yang memicu respons ini, sehingga amigdala menjadi semakin peka dan waspada akan ancaman yang mungkin datang.
"Otak primitif diperkuat dengan mengorbankan otak tingkat lanjut, yang merupakan pusat penilaian dan penalaran," ujarnya.
Otak bekerja tanpa henti untuk menanggapi ancaman trauma emosional, mengaktifkan mekanisme pertahanan psikologis seperti penyangkalan dan disosiasi, ungkapnya.
Seorang profesor psikologi di University of Arizona Mary-Frances O'Connor mengatakan bahwa ada juga elemen evolusi yang kuat tentang bagaimana dan mengapa seseorang menanggung kesedihan.
"Untuk membantu menjaga hubungan dengan orang yang dicintai ketika kita pergi dan menjelajahi dunia kita setiap harinya, misalnya anak-anak pergi ke sekolah atau kekasih pergi bekerja, neurokimia yang kuat di otak membuat kita merindukan mereka, dan memberi kita hadiah ketika berkumpul lagi."
Advertisement
Kehilangan Orang yang Dicintai
O'Connor mencatat bahwa kematian orang yang dicintai adalah peristiwa yang sangat langka. Menurutnya, otak merespons hal ini seolah-olah orang yang dicintai hilang begitu saja, bukannya hilang secara permanen.
"Otak ingin kita menemukannya, atau membuat keributan sehingga dirinya datang dan menemukan kita," katanya. Orang yang berduka sering menggambarkan perasaannya seolah-olah orang yang dicintainya akan pulang dan berjalan melewati pintu lagi suatu hari nanti, jelasnya.
"Trauma emosional kesedihan menghasilkan perubahan besar pada fungsi otak karena stres berulang dari respons fight or flight dan neuroplastisitas, yang merupakan respon otak terhadap pengalaman serta perubahan di sekitar," tutur Shulman.
"Seiring berjalannya waktu, mekanisme ini memperkuat pusat ketakutan primitif otak dan melemahkan otak tingkat lanjut (korteks serebral)."
Perubahan ini berlangsung lama tetapi dapat disembuhkan dengan terapi dan pertumbuhan pasca-trauma, tambahnya. Pertumbuhan pasca-trauma adalah teknik yang memungkinkan individu untuk menemukan cara untuk mengambil makna baru dari pengalaman untuk menjalani hidup dengan cara berbeda dari sebelum trauma.
Dapat Sembuh Seiring Berjalannya Waktu
Seorang profesor psikiatri di University of Florida Dr. Uma Suryadevara mengatakan bahwa sementara peristiwa, lokasi, atau tanggal tertentu dapat memicu gelombang kesedihan, otak orang pada akhirnya pulih. Kendati demikian, waktu penyembuhan yang dibutuhkan bervariasi pada masing-masing individu.
"Beberapa individu memang mengalami gangguan kesedihan yang berkepanjangan di mana gejalanya berlangsung untuk waktu yang sangat lama, tetapi biasanya tidak permanen."
O'Connor juga mengatakan bahwa berduka dapat dianggap sebagai bentuk pembelajaran, yang berperan baik untuk berdamai dengan kesedihan yang dirasakan maupun untuk bangkit dan kembali menjalankan fungsi sehari-hari dengan baik.
"Otak mencoba memahami setiap situasi di mana orang yang Anda cintai seharusnya ada di sana, tetapi entah bagaimana tidak," katanya.
Karena pikiran terpecah, sulit untuk berkonsentrasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menyebabkan Anda kesulitan bahkan untuk melakukan hal sederhana.
Meskipun demikian, gangguan dan kesulitan konsentrasi ini akan teratasi seiring berjalannya waktu, tambahnya.
Â
(Adelina Wahyu Martanti)
Advertisement