Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Hasbullah Thabhrany menanggapi isu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau BPJSÂ Kesehatan khusus untuk orang kaya.Â
Menurut Hasbullah, JKN untuk orang kaya tidak boleh terjadi di Indonesia.
Baca Juga
"Ide JKN khusus untuk orang kaya adalah ide egois, nyeleneh yang tidak normal dan tidak boleh terjadi di NKRI, tegasnya," dalam diskusi yang diselenggarakan Adinkes Pusat di akun YouTube, Senin (16/1/2023).
Advertisement
Hasbullah menerangkan, JKN ada di Indonesia berdasarkan sistem pendanaan publik. Sehingga tidak ada hubungan antara siapa yang membayar iuran lebih banyak, dia bisa mendapat manfaat lebih banyak.
"Dari mana sumber dana publik? Ada pajak dan JKN. Kalau tidak mampu, ya dibayarin oleh pemerintah melalui dana semua orang. Sebab, dasar pemungutannya sama, supaya semua layanan kesehatan bisa dinikmati semua orang, termasuk peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran yakni mereka yang tidak mampu). Jadi tidak ada batasan," jelasnya.
Seperti halnya, kewajiban membayar pajak, lanjut Hasbullah, kalau ada pengguna JKN yang sakit maka harus dilayani sama. Sebab, uang yang dibayarkan melalui premi setiap bulan dikelola badan hukum publik.
Menurut Hasbullah, semua negara kaya juga menggunakan dana publik untuk pengeluaran kesehatan.
"Semakin besar pendapatan pajak, semakin besar pula dana publik untuk kesehatan," katanya.
Jadi landasan filosofisnya sama, yakni saling tolong menolong apabila terkena musibah, sakit atau kecelakaan. Juga di Indonesia ada Pancasila, sila kelima yang berisi keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Hasbullah juga menyinggung terkait kekurangan JKN seperti perbedaan kelas perawatan serta fasyankes yang tidak tersedia di daerah-daerah. Namun saat ini sejumlah masalah sedang direvisi.
BPJS Menjamin Kesehatan Semua Orang
Guru Besar di Fakultas Kedokteran dan Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Laksono Trisnantoro mengungkapkan data penurunan layanan kesehatan semenjak pandemi COVID-19.Â
Laksono menilai ada ketimpangan pelayanan kesehatan di daerah regional 1 (Jawa Barat, DKI, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Banten) dan daerah regional lainnya.
"Sejak 2015, ada kenaikan biaya klaim BPJS di regional I. Tahun 2020, di semua regional biaya klaim menurun karena dampak pandemi COVID-19," katanya.
Data jantung lebih ekstrem lagi, kata dia.
"Provinsi Jabar paling tinggi klaim penyakit jantung dari 2015-2020. Paling sedikit di Maluku Utara. Ada berbagai faktor mempengaruhi seperti jumlah penduduk, jumlah faskes, jumlah SDM (spesialis)," jelas Laksono.Â
Klaim terbanyak di RS Jantung Harapan Kita dan RS Sentosa Bandung.
Kondisi inilah yang diungkapkan sebagai penyebab BPJS Kesehatan mengalami surplus. Padahal sebelumnya, BPJS Kesehatan pada 2019 defisit Rp 51 triliun. Sementara pada 2020, defisit Rp 5,69 triliun.
Mengapa ini terjadi? Laksono menilai, karena dalam sistem BPJS tidak ada kompartemen antara sumber dana.Â
"Dana defisit bukan berarti dana sisa bisa dipakai untuk menutup segmen yang negatif. Dana itu harusnya dipakai pada semua orang termasuk bagi mereka yang tidak memiliki akses kesehatan," katanya.
"Hal ini menunjukkan pemerintah masih kesulitan meningkatkan equity. Mereka yang miskin atau tidak mampu harus ditambah akses kesehatannya supaya mampu," katanya lagi.
Laksono juga menyinggung soal prospek pendanaan swasta yang besar, namun kurang dimanfaatkan. "Rasio pajak terhadap GDP rendah. Politik anggaran promotif dan preventif pun tidak bisa setajam kuratif."
Advertisement
BPJS Tidak Ada untuk Orang Kaya dan Miskin
Laksono mengutip pernyataan Menkes Budi Gunadi terkait JKN untuk orang kaya ini. Jika sebelumnya Budi mengatakan bahwa saat ini pemerintah tengah berupaya untuk melakukan kerja sama dengan pihak asuransi swasta sehingga pembiayaan BPJS Kesehatan dapat berfokus pada masyarakat yang tidak mampu.
Dengan demikian, 'BPJS orang kaya' yang disebutkan oleh Menkes memiliki makna bahwa prioritas pemerintah adalah menanggung layanan tambahan untuk masyarakat dengan pendapatan rendah.
"Kenyataannya, BPJS menaruh level layanan di atas kemampuan BPJS membayar sehingga kalau dioperasikan, besar kemungkinan BPJS akan defisit kembali dan sistem JKN akan collapse atau membebani negara," kata Laksono.Â
Untuk itu, Laksono mengajukan beberapa saran:
- Kelas rawat BPJS dibuat sama, disesuaikan dengan kemampuan fiskal pemerintah.
- Jenis layanan yang dicover BPJS harus dibuat standar bukan untuk memberikan layanan kesehatan yang sempurna.
- Tambahan layanan kesehatan di atas pelayanan standar.
- Untuk masyarakat kaya, bisa bayar sendiri ataupun melalui asuransi swasta
- Masyarakat tidak mampu bisa dicover premi tambahannya oleh negara (bila mampu).
"BPJS itu tidak ada untuk orang kaya atau miskin. JKN itu untuk semua lapisan masyarakat," tegasnya.
Â
Klarifikasi Menkes soal BPJS untuk Orang Kaya
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin telah memberikan klarifikasi terkait pernyataan soal BPJS Kesehatan yang menanggung beban pembiayaan kesehatan orang kaya. Ia mengakui dirinya keliru dalam penyampaian penjelasan.
"Yang (soal) kaya ini kemarin saya salah quote (memberikan pernyataan). Itu adalah kewajiban mereka untuk cover (tanggung). Misalnya, obat-obatan, saya butuh vitamin C yang generik, contoh saja ya, itu yang dicover (ditanggung) BPJS yang generik saja," jelas Budi Gunadi di sela-sela acara 'Indonesian Society of Interventional Cardiology Annual Meeting 2022' di Hotel Shangri-La Jakarta pada Jumat, 25 November 2022.
Ke depan, Budi Gunadi Sadikin menekankan struktur liabilitas BPJS Kesehatan harus dikelola dan diatur dengan baik. Pelayanan JKN pun memang tetap harus menyasar kepada orang kaya dan miskin.
"Jadi kita harus benar-benar bisa memastikan bahwa kita desain kewajibannya dengan baik. Nah, BPJS harus melayani seluruh masyarakat Indonesia, baik miskin dan kaya," pungkas Menkes Budi Gunadi.
Advertisement