Sukses

Ragam Alasan Remaja Merokok, Biar Macho dan Laki Banget!

Pakar beberkan fakta di balik alasan remaja merokok

Liputan6.com, Jakarta - Jumlah perokok di Indonesia masih terbilang tinggi, termasuk perokok dalam kategori usia remaja. Ternyata alasan merokok yang dilontarkan begitu beragam. Menghilangkan stres, salah satunya.

Pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI), Dr dr Erlina Burhan MSc SpP(K) mengungkapkan bahwa saat ini remaja menjadi perhatian khusus dalam persoalan rokok.

Menurut Erlina ada beberapa alasan yang membuat remaja merokok, apa saja?

"Ada beberapa alasan, tapi ada lima yang banyak dikatakan. Pertama itu coba-coba, kedua karena dikatakan kalau merokok ini keren. Laki, macho," ujar Erlina dalam media briefing bersama Ikatan Dokter Indonesia ditulis Selasa, (17/1/2023).

"Kemudian (ketiga) di kelompok tertentu ini dianggap bisa gabung sama geng atau kelompok, atau begitulah di sekolah atau kampus. Terus yang (keempat), tidak sedikit karena teman atau orangtuanya juga merokok," tambahnya.

Selanjutnya atau alasan kelima adalah anggapan bahwa rokok bisa menghilangkan stres.

"Salah kaprah alasannya karena dikatakan rokok ini bisa menghilangkan stres," kata Erlina.

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia sendiri menempati posisi ke 13 dari seluruh dunia jika dilihat dari jumlah perokoknya. Totalnya mencapai 37,90 persen dari seluruh populasi atau sekitar 53,7 juta jiwa.

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2021 di Indonesia, jumlah perokok paling tinggi ada pada usia 35-39 tahun yakni sebesar 35,55 persen.

Selain itu, remaja mulai dari usia 15 tahun turut menyumbang persentase di dalamnya.

2 dari 4 halaman

Perokok di Indonesia Mulai dari Usia SMP

Erlina mengungkapkan bahwa pada kategori usia remaja, banyak yang nampaknya masih berada di bangku SMP. Kemudian disusul oleh usia di atas 20-24 tahun yang kemungkinan sudah mulai bekerja.

"Usia muda banyak yang merokok. Kita lihat kelompok usia 15-19 tahun, itu masih usia SMP. Kira-kira ada 9-10 persen. Kemudian usia di atasnya 20-24 tahun karena mungkin sudah punya duit, sudah bekerja, jadi ada 26,97 persen (yang merokok)," ujar Erlina.

Bahkan, lansia di atas 65 tahun juga masih menyumbang persentase yang cukup besar dalam hal merokok yakni sekitar 21,90 persen.

Dalam kesempatan yang sama, Erlina sempat menjelaskan soal anggapan yang beredar di masyarakat mengenai rokok. Menurutnya, banyak yang mengira bahwa rokok terutama yang elektrik lebih aman daripada rokok konvensional.

3 dari 4 halaman

Rokok Elektrik Lebih Aman?

Padahal, toksisitas dari rokok elektrik merupakan sesuatu yang nyata dan tidak bisa dibilang lebih aman dari rokok konvensional. Menurut Erlina, masih ada potensi toksisitasnya yang sama saja berbahayanya.

"Walaupun dianggap, 'Wah, rokok elektrik lebih aman'. Padahal sebetulnya tetap potensi toksisitasnya ada, karena itu tadi. Ada kandungan nikotin, glycol, aldehid, logam, dan particulate matter," ujar Erlina.

"Ujung-ujungnya akan menimbulkan inflamasi. Inflamasi itu artinya peradangan. Jadi ada peradangan di paru, saluran napas, kemudian memengaruhi kerja jantung, memengaruhi kerusakan sel, dan kemudian merupakan karsinogen," tambahnya.

Erlina menjelaskan, banyak orang terperangkap pada asumsi bahwa kadar toksisitas dalam rokok elektrik lebih rendah. Dari sanalah penggunaan rokok elektrik mengalami peningkatan.

4 dari 4 halaman

Kadar Nikotinnya Bisa Setara Rokok Konvensional

Lebih lanjut Erlina mengungkapkan, fakta menunjukkan bahwa menghirup rokok elektrik sebanyak 30 kali akan menghasilkan kadar nikotin yang sama seperti 1 rokok konvensional.

"Kandungan nikotin sekali hisap itu ada nol sampai 35 mikrogram nikotin. Namun, perlu diperhatikan, saat seseorang menghirup 30 kali hisapan itu bisa mencapai kadar nikotin 1 miligram," ujar Erlina.

"Itu sama seperti yang dihantarkan dari satu rokok konvensional. Nah, kita tahu orang menghirup kan berkali-kali ya. Jadi kalau menghirup 30 kali itu sama dengan kadar nikotin yang dihantarkan satu rokok," tambahnya.

Belum lagi dalam rokok elektrik selalu ada tambahan cairan perasa. Beberapa cairan perasa diketahui mengandung aldehid, yang mana merupakan zat kimia.

"Aldehid ini juga suatu zat yang tidak baik. Untuk perasa sebetulnya. Tapi kan ada zat kimianya," kata Erlina.