Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia mencatat ada laporan kematian suspek campak sepanjang tahun 2022. Kasus suspek yang dimaksud artinya, belum sempat terkonfirmasi laboratorium (lab), apakah kasus itu termasuk campak, namun gejala yang ada mengarah kepada campak.
Direktur Pengelolaan Imunisasi Kemenkes RI Prima Yosephine mengungkapkan, status kematian yang tercatat masih kategori suspek. Sebab, belum ada hasil laboratorium yang keluar terkait kepastian campak atau bukan.
Baca Juga
"Dari kasus campak yang ada di tahun 2022, memang ada beberapa kasus ini yang belum sempat diperiksa lab. Jadi statusnya masih tetap menjadi status suspek," ungkapnya saat 'Press Conference: Update Perkembangan Campak di Indonesia' yang disiarkan dari Gedung Kemenkes Jakarta pada Jumat, 20 Januari 2023.
Advertisement
"Yang meninggal itu memang data yang kami dapatkan adalah dari kasus suspek. Secara (pemeriksaan) lab belum ada hasilnya, tetapi gambarannya itu memang demam, ada ruam ya karena suspek dan itu ada enam orang sepanjang tahun 2022."
Berdasarkan data keseluruhan Kemenkes, lebih dari 3.000 kasus campak terkonfirmasi laboratorium yang dilaporkan sepanjang tahun 2022. Jumlah ini menyebar di 223 kabupaten/kota di 31 provinsi.
"Ada lebih dari 3.000 kasus (campak) yang sudah ada, tepatnya 3.341. Ini yang sudah confirm lab yang sudah menyebar di 223 kabupaten/kota di 31 provinsi," lanjut Prima.
Penurunan Cakupan Imunisasi
Kasus campak terkonfirmasi yang berjumlah 3.341 kasus terbilang meningkat. Menurut Ketua Unit Kerja Koordinasi Penyakit Infeksi Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Anggraini Alam, peningkatan kasus campak kemungkinan besar terjadi karena menurunnya cakupan imunisasi anak selama pandemi COVID-19.
"Indonesia ini diperlihatkan sejak tahun 2015 cakupan DPT (difteri, pertusis, dan tetanus), atau kita tahu anak-anak mendapatkan pentavalen, itu sudah mulai turun. Lebih menurun lagi di 2020," ujar dokter yang akrab disapa Anggi dalam media briefing bersama IDAI pada Kamis, (19/1/2023).
"Artinya, memang cakupan kita se-Indonesia sudah rendah. Mulai kapan? Mulai di 2015 utamanya, apalagi ditambah adanya COVID-19. Secara global memang imunisasi menjadi turun cakupannya."
Terlebih lagi, Anggi mengungkapkan bahwa penyakit campak kerap kali disepelekan. Sehingga banyak pula yang melewatkan imunisasi campak begitu saja.
"Ditambah dengan karena kita lihat, 'Ah campak, sudah enggak pernah lihat kok. Itu sih zaman dulu'. Kalaupun juga ada campak, ini jarang lihat. Kalau ada dianggap ringan," lanjutnya.
Bahkan, Anggi menjelaskan, saat ada salah satu anak yang terkena campak, beberapa orangtua mendekati anaknya agar tertular dan kena campak di waktu yang bersamaan.
Advertisement
Campak Berkaitan dengan Imunisasi
Anggi mengungkapkan bahwa dahulu setelah imunisasi campak diperkenalkan tahun 1968, dunia hampir tidak menemukan penyakit campak mengalami peningkatan lagi.
"Kita tuh hampir enggak ketemu lagi penyakit campak. Ini gara-gara imunisasi itu sangat spesial. Meningkatkan kesehatan, bisa sampai ke pelosok dirasakan kita semua, menyelamatkan kehidupan," terangnya.
"Jadi tidak heran, begitu diperkenalkan vaksin campak tahun 1968, sejak itu kita hampir enggak jumpa campak. Namun kita waspada."
Menurut Anggi, campak sebenarnya merupakan penyakit yang faktor risikonya rendah bila sudah melakukan imunisasi. Sehingga bila seorang anak terkena, maka penyebab utamanya berkaitan dengan imunisasi yang belum dilakukan.
"Satu-satunya kena campak itu ya karena enggak divaksin (imunisasi). Begitu setop vaksin, kita akan ketemu penyakit itu," imbuhnya.