Sukses

3 Anak SD Perkosa Siswi TK di Mojokerto, Ini 4 Tahap Menjadi Pelaku Kekerasan Seksual

Terduga pelaku pemerkosaan siswi TK di Mojokerto adalah bukti siapa saja dapat menjadi pelaku kekerasan seksual

Liputan6.com, Jakarta - Nasib malang menimpa siswi TK di Mojokerto, Jawa Timur. Ia diperkosa oleh tiga bocah SD umur delapan tahun yang tak lain adalah teman main sekaligus tetangganya sendiri.

Terkait kasus yang menimpa siswi TK Mojokerto, kriminolog sekaligus pemerhati anak dan keluarga, Haniva Hasna mengatakan bahwa kekerasan seksual termasuk yang dilakukan anak-anak bisa terjadi akibat konsumsi konten pornografi.

Setelah mengonsumsi konten pornografi, seseorang tidak secara tiba-tiba menjadi pelaku kekerasan seksual. Setidaknya, ada empat tahap yang melatarbelakangi.

“Proses menjadi pelaku itu tidak serta merta, tapi ada proses yang melatarbelakanginya terkait dengan konsumsi pornografi tersebut,” kata kriminolog yang akrab disapa Iva kepada Health Liputan6.com melalui pesan teks, Minggu 22 Januari 2023.

Keempat tahap yang dimaksud adalah:

- Adiksi: keinginan untuk melihat dan mendapatkan kembali materi pornografi yang disukai.

- Eskalasi: peningkatan kebutuhan materi seks yang lebih berat, lebih eksplisit, lebih sensasional dan lebih menyimpang dari materi pornografi yang pernah ditonton.

- Desensitisasi: tahapan ketika materi seks yang awalnya dianggap tabu, tidak bermoral, merendahkan harkat martabat manusia, pelan-pelan menjadi hal yang biasa. Bahkan menjadi hal yang tidak sensitif lagi terhadap korban kekerasan seksual.

- Act Out: ketika ada peningkatan kecenderungan untuk melakukan perilaku seksual yang selama ini hanya dilihat lalu diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

2 dari 4 halaman

Terpapar Pornografi Sejak Kecil

Anak-anak tidak lagi tabu melihat konten asusila, lanjut Iva, mereka justru sudah naik level menjadi pelaku.

“Ditambah lagi dengan usia yang masih belia, mereka belum terampil melakukan pengendalian diri dan cenderung impulsif."

Dengan demikian, jika ada ide di kepala, anak-anak akan melakukan ide tersebut tanpa pikir panjang.

Hal ini juga disebabkan belum tersampaikannya edukasi seks, bahaya, serta konsekuensi yang akan dihadapi.

"Mereka masih kecil tetapi sudah didahului oleh pengetahuan serta adiksi pornografi yang butuh penyaluran," ujarnya.

3 dari 4 halaman

Akses Pornografi

Konten pornografi cenderung lebih mudah diakses oleh anak lantaran anak-anak sudah diberi gawai.

Dengan ponsel pintar dan gawai lainnya, mereka bisa mendapatkan informasi tentang seksualitas dari internet dan berbagi informasi berbau seks antar teman.

"Coba bayangkan, berapa lama anak menggunakan gawainya, apa saja yang sudah mereka dapatkan, siapa saja temannya, apa saja yang ditonton temannya sehingga ditularkan kepada teman yang lain," Iva melanjutkan.

Mudahnya akses pornografi di zaman sekarang berbeda dengan zaman dulu. Sebelum ada ponsel pintar, konten pornografi hanya bisa diakses dengan membeli buku atau majalah tertentu untuk menikmati bacaan atau gambar dewasa.

Dulu, perlu ada upaya, ada keberanian, ada niat bahkan ada biaya yang harus dikeluarkan, kesulitan melakukan penyimpanan, serta ada resiko rasa malu ketika ketahuan.

"Kalau sekarang, semua menjadi mudah. Anak-anak tinggal klik, semua terbuka," katanya.

4 dari 4 halaman

Faktor Lainnya

Selain konsumsi pornografi, faktor lain yang membuat anak menjadi pelaku kekerasan seksual biasanya karena mereka pernah menjadi korban kekerasan seksual. Sehingga mereka mengetahui proses atau sudah menikmati.

"Bisa juga karena ada dendam sehingga merasa harus dilampiaskan pada anak lain," Iva menambahkan.

Namun, faktor paling dominan adalah kurangnya kedekatan dengan keluarga. Orangtua tidak berhasil menyampaikan nilai dan norma sehingga anak-anak tidak paham bahwa perilaku mereka adalah sebuah penyimpangan.

"Komunikasi yang tidak baik juga menjadi pemicu perilaku menyimpang karena tidak ada kedekatan dan keterbukaan antara anak dan orangtua," ujarnya.

Padahal, keluarga adalah rem bagi anak dalam melakukan perilaku menyimpang.

Ketika attachment atau keterikatan antara anak dan orangtua tidak ada, lanjut Iva, maka tidak ada lagi alasan yang membuat anak merasa tidak pantas melakukan penyimpangan.