Sukses

Singgung soal Resesi Seks, Jokowi: Indonesia Tidak Ada

Beberapa negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan mengalami resesi seks. Bagaimana dengan Indonesia?

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan mengalami resesi seks. Namun, bila melihat data yang ada saat ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa Indonesia tidak mengalami resesi seks.

Pernyataan ini Jokowi katakan dengan melihat data terbaru mengenai Total Fertility Rate (jumlah anak rata-rata yang dilahirkan seorang perempuan di masa reproduksi) di angka 2,1. Ini maksudnya adalah rata-rata ibu di Indonesia memiliki anak sekitar dua orang.

Lalu, Jokowi juga melihat angka pernikahan serta kehamilan yang juga tinggi tiap tahunnya yang juga masih tumbuh.

"Lalu, yang nikah dua juta serta yang hamil sekitar 4,8 juta. Ini artinya Indonesia tidak ada resesi seks," tutur Jokowi disambut tawa oleh para peserta Rapat Kerja Nasional Program BanggaKencana dan Percepatan Penurunan Stunting 2023 bersama BKKBN pada Rabu (25/1/2023).

Menurut Jokowi, angka TFR di 2,1 ini adalah hal baik. Lantaran, Indonesia nantinya masih bakal memiliki generasi penerus yang akan menggerakkan dan memajukan negara ini.

"Ingat, yang namanya jumlah penduduk ini menjadi kekuatan ekonomi bagi sebuah negara," kata Jokowi.

Namun, penting digarisbawahi bahwa setiap anak yang lahir harus berkualitas. Ini artinya penting bagi seorang calon ibu dan ibu bisa memiliki gizi yang baik pada saat hamil serta memberikan makanan yang terbaik kepada anak.

"Yang paling penting kualitas. Ibu hamil dan bayi itu harus diberikan protein hewani, seperti ikan dan telur," katanya.

 

2 dari 3 halaman

Kerja Keras Capai Angka Stunting di 14 Persen

Mengurangi angka stunting merupakan cara agar sebuah negara memiliki generasi penerus berkualitas. Indonesia sendiri masih punya pekerjaan rumah menurunkan angka stunting yang kini di 21 persen untuk menjadi 14 persen.

Jokowi optimistis Indonesia bisa mencapai target angka stunting 14 persen bila melihat hal-hal yang dimiliki. Termasuk, kehadiran posyandu dan puskesmas seharusnya bisa menekan angka stunting.

"Kita punya posyandu 300 ribu, dan puskesmas ada 10.200. Sebetulnya infrastruktur lembaga yang kita miliki kalau digerakkan betul dan bisa bergerak dengan baik, mudah menyelesaikan persoalan ini (stunting)," katanya.

Namun, ia juga tak menampik bahwa puskesmas di Indonesia tidak merata. Ada yang satu kecamatan memiliki bahkan tujuh puskesmas sementara di wilayah lain terbatas. Maka dari itu, perlu kerja keras bersama atasi masalah ini.

"Saya yakin dengan kekuatan kita bersama, semuanya bergerak, angka 14 persen bukan angka yang sulit untuk dicapai. Asal semuanya bekerja bersama-sama," lanjut Jokowi.

 

3 dari 3 halaman

Dampak Stunting yang Berbahaya

Jokowi menegaskan, permasalahan stunting bukan hanya urusan tinggi badan saja, melainkan ada hal berbahaya lain. Salah satunya berkaitan dengan kemampuan belajar anak dan kemunculan penyakit lain.

"Dampak stunting ini bukan hanya urusan tinggi badan, tetapi yang paling berbahaya adalah nanti rendahnya kemampuan anak untuk belajar," kata Jokowi.

"Kedua, keterbelakangan mental dan yang ketiga munculnya penyakit-penyakit kronis yang gampang masuk ke tubuh anak."

Jokowi juga meminta daerah-daerah meniru wilayah yang berhasil tangani stunting. Misalnya Kabupaten Sumedang, Jawa Barat yang mengembangkan sistem pemerintah berbasis elektronik (SPBE) dalam atasi kurang gizi kronis ini. 

Kabupaten Sumedang berhasil menurunkan angka stunting dari 32,27 persen pada tahun 2018 hingga menjadi menjadi 8,27 persen di tahun 2022.

"Karena yang saya lihat di Sumedang dengan aplikasi platform untuk bisa memonitor per individu, kebutuhannya apa bisa dicek semuanya lewat platform yang dimiliki," pungkas Jokowi.