Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingat betul tekanan tinggi di awal-awal pandemi COVID-19. Tak ada satu pun dunia ini yang punya pengalaman menghadapi COVID-19, alhasil butuh pikiran jernih untuk menentukan suatu kebijakan besar terhadap suatu negara. Termasuk soal mengambil keputusan lockdown atau tidak di kala itu.
Di awal pandemi COVID-19 yang terjadi pada 2020, Jokowi sempat menanyakan kepada para menteri untuk melakukan lockdown atau tidak. Mayoritas menteri yang hadir menyatakan untuk lockdown.
Baca Juga
"Rapat menteri, 80 persen bilang 'Pak lockdown, karena semua negara melakukan'. Lalu, enggak DPR juga partai semuanya bilang (untuk) lockdown," kata Jokowi dalam Pembukaan Rakornas Transisi Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional di Jakarta pada Kamis (26/1/2023).
Advertisement
Keputusan yang dilakukan saat itu adalah tidak melakukan lockdown atau penguncian wilayah. Melainkan, pada 31 Maret 2020 Jokowi meneken Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2022 yang mengatur Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Dalam PSBB, kegiatan dibatasi untuk penduduk tertentu di suatu wilayah. Lalu, kegiatan publik juga dibatasi.
Jokowi mengaku untuk menentukan lockdown atau tidak ia bersemedi selama tiga hari. Hal ini membantunya untuk bisa berpikir jernih agar bijak membuat keputusan yang sulit saat itu.
"Saya semedi tiga hari untuk memutuskan kita lockdown apa enggak, karena kita tidak memiliki pengalaman (hadapi COVID-19)," kata Jokowi.
"Ketika kita tidak jernih, grasa-grusu, bisa salah, bisa keliru," tutur pria 61 tahun itu.
Â
Jika Awal Pandemi Lockdown, Diprediksi Terjadi Masyarakat Rusuh
Jika saat itu Jokowi memutuskan lockdown, ia memperkirakan dalam waktu 2-3 minggu masyarakat sudah kesulitan mencari nafkah. Apalagi, secara geografis, Indonesia begitu luas sehingga negara tidak bisa memberikan bantuan kepada masyarakat secara cepat dan langsung.
Kondisi ekonomi yang tidak baik rentan membuat terjadi kekisruhan di masyarakat.Â
"Apa yang terjadi? Rakyat pasti rusuh. Itu yang kita hitung, sehingga kita putuskan untuk tidak lockdown," katanya.
Advertisement
Tentang PSBB
Kilas balik ke awal pandemi COVID-19, jumlah pasien positif corona meningkat menjadi 1.677 orang per 1 April 2020. Dari jumlah itu, sebanyak 157 meninggal dunia. Meski demikian, rasa optimistis tetap tertanam dengan jumlah pasien pulih sebanyak 103 orang.
Maka dari itu, pemerintah berupaya agar tidak terjadi penularan makin masif lagi tapi perlu juga memikirkan agar roda ekonomi bisa berputar maka dibuatlah kebijakan PSBB.Â
"Untuk mengatasi dampak wabah tersebut, saya telah memutuskan dalam rapat kabinet, opsi yang kita pilih adalah pembatasan sosial berskala besar atau PSBB," kata Jokowi, Jakarta, pada 31 Maret 2020.
PSBB yang diterapkan di awal pandemi mengacu pada Undang-Undang No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.Opsi ini diambil agar penerapan social distancing dan physical distancing yang sudah berjalan kian maksimal diterapkan.
Syarat PSBB
Dalam PP No 21 Tahun 2020 tentang PSBB ini, disebutkan syarat bagi pemda yang akan memberlakukan PSBB. Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 3. Dalam pasal itu ada dua kriteria yang harus dipenuhi untuk menerapkan PSBB, yakni jumlah kasus dan/atau jumlah kematian serta kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa.
Pasal itu berbunyi:
Pembatasan Sosial Berskala Besar harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah; dan
b. terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.
Dalam Pasal 4 dijelaskan PSBB paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, serta pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. PSBB dilakukan dengan mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan penduduk.
Advertisement