Sukses

Pengadilan Agama Catat 55 Ribu Permohonan Dispensasi Perkawinan Selama 2022

Data Pengadilan Agama menunjukkan ada 65 ribu permohonan dispensasi perkawinan selama 2021. Sedangkan, pada 2022 permohonan dispensasi nikah tercatat sebanyak 55 ribu.

Liputan6.com, Jakarta - Data Pengadilan Agama menunjukkan ada 65 ribu permohonan dispensasi perkawinan selama 2021. Sedangkan, pada 2022 permohonan dispensasi nikah tercatat sebanyak 55 ribu.

Dispensasi nikah adalah permohonan yang diajukan agar anak di bawah usia yang ditentukan (19 tahun) bisa melangsungkan pernikahan.

Pengajuan permohonan menikah pada usia anak lebih banyak disebabkan oleh faktor pemohon perempuan sudah hamil terlebih dahulu. Dan faktor dorongan dari orangtua yang menginginkan anak mereka segera menikah karena sudah memiliki calon.

Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Agama, Dirjen Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung Nur Djannah Syaf, menegaskan isu perkawinan anak sifatnya sudah sangat mendesak dan darurat.

Faktor cinta dan desakan orangtua untuk segera menikah menjadi salah satu faktor utama dari alasan pengaduan menikah.

“Di tahun 2022 secara nasional, ada sekitar 55 ribu perkara dispensasi perkawinan yang masuk ke peradilan agama dan dari jumlah tersebut, sekitar 34 ribu di antaranya didorong oleh faktor cinta sehingga orangtua yang meminta ke pengadilan agar anak-anak mereka segera dinikahkan,” kata Nur Djannah mengutip keterangan pers, Minggu (29/1/2023).

“Lalu sekitar 13.547 pemohon mengajukan menikah karena sudah hamil terlebih dahulu (hamil di luar nikah) dan 1.132 pemohon mengaku sudah melakukan hubungan intim. Faktor lainnya adalah karena alasan ekonomi dan alasan perjodohan mengingat anak mereka sudah akil baligh, sudah menstruasi dan tumbuh rambut di kemaluan pada anak laki-laki,” tambahnya.

2 dari 4 halaman

Terbanyak di Jawa Timur

Menurut data di tahun 2022, jumlah dispensasi kawin terbesar ada di peradilan tinggi agama (PTA)  Jawa Timur di Surabaya, dengan wilayah paling tinggi ada di Malang karena faktor putus sekolah. Selanjutnya, pengajuan juga banyak terjadi di PTA Semarang, PTA Bandung dan PTA Makassar.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi harapan terkait berbagai upaya pencegahan atau penghapusan perkawinan usia anak di Indonesia.

Perubahan mendasar regulasi ini yakni adanya perubahan usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun untuk kedua calon mempelai. Sebelum UU ini direvisi, batas usia minimal pengantin perempuan adalah 16 tahun dan pengantin laki-laki 19 tahun.

Selain diskriminatif, undang-undang yang lama telah menempatkan anak perempuan sebagai korban utama praktik perkawinan usia anak. Saat ini, pemaksaan perkawinan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual sebagaimana yang tertera dalam UU 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan seksual.

3 dari 4 halaman

Sudah Mengkhawatirkan

Terkait data yang disampaikan Pengadilan Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menilai bahwa angka tersebut sudah mengkhawatirkan.

Maka dari itu, disusunlah Risalah Kebijakan Pencegahan Perkawinan Anak untuk Perlindungan Berkelanjutan bagi Anak.

“Tingginya angka perkawinan anak adalah salah satu ancaman tidak terpenuhinya hak-hak dasar anak,” ujar Staf Ahli Menteri Bidang Penanggulangan Kemiskinan KemenPPPA, Titi Eko Rahayu.

“Tidak hanya memberikan dampak secara fisik dan psikis bagi anak-anak, perkawinan di usia anak juga dapat memperparah angka kemiskinan, stunting, putus sekolah hingga ancaman kanker serviks/kanker rahim pada anak,” tambahnya.

4 dari 4 halaman

Tanggung Jawab Bersama

Amandemen terhadap Undang-Undang Perkawinan di tahun 2019 mengatur bahwa usia minimum perkawinan bagi perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun. Ini menjadi salah satu upaya pemerintah mencegah anak-anak menikah terlalu cepat.

Namun di lapangan, permohonan pengajuan perkawinan masih terus terjadi dan ini sudah sangat mengkhawatirkan.

“Anak-anak ini adalah harapan masa depan untuk membangun Indonesia dan kasus perkawinan anak menjadi penghambat besar. Ini tanggung jawab bersama karena Isu perkawinan anak rumit dan sifatnya multisektoral,” kata Titi.