Sukses

Menteri PPPA Kunjungi Siswi TK Mojokerto Korban Pemerkosaan 3 Anak SD, Ajak Bermain dan Berbincang Sejenak

Siswi TK di Mojokerto yang jadi korban pemerkosaan 3 anak SD dapat kunjungan Menteri PPPA, Bintang Puspayoga

Liputan6.com, Jakarta - Siswi TK di Mojokerto, Jawa Timur, yang menjadi korban pemerkosaan tiga bocah SD mendapatkan kunjungan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (PPPA RI), Bintang Puspayoga.

Tak hanya menemui korban, Menteri Bintang Puspayoga juga mengunjungi 3 anak SD tersangka pemerkosaan siswi TK tersebut.

"Kami berterima kasih kepada seluruh pihak, baik Bupati, dinas pengampu isu perempuan dan anak, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), kepolisian, serta para pendamping atas komitmennya dalam menangani kasus kekerasan seksual yang korban dan pelakunya yang masih berusia anak ini," ujar Bintang di Kabupaten Mojokerto pada Sabtu, 28 Januari 2023.

Menteri Bintang Ajak Siswi TK Mojokerto Bermain

Dalam keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Senin (30/1), disebutkan bahwa kunjungan Bintang untuk menemui korban, lalu mengajak bermain dan berbincang sejenak.

"Korban masih aktif dan ceria karena tidak mengetahui kondisi kekerasan seksual yang dialaminya. Visum et repertum telah dilaksanakan dan dapat dijadikan pijakan proses penyidikan lebih lanjut," kata Bintang.

Nasib 3 Anak SD Tersangka Pemerkosaan Siswi TK Mojokerto

Sementara itu, ketiga pelaku anak yang berumur 8 tahun, saat ini sudah didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Mojokerto.

"Telah dilakukan asesmen dan pemberian edukasi kepada ketiga pelaku anak SD. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, mereka telah mengakui bahwa perbuatannya salah dan berjanji tidak akan mengulanginya kembali," Bintang menambahkan.

2 dari 4 halaman

Akibat Kelalaian Orangtua

Lebih lanjut, menurut Bintang, pelaku anak juga diduga disebabkan pola pengasuhan orangtua yang kurang memerhatikan kebutuhan perkembangan anak.

"Selain itu juga kurangnya kemampuan kita sebagai orang dewasa memberikan edukasi terhadap anak-anak," kata Bintang.

Pelaku pertama dalam kasus ini melakukan tindakan kekerasan seksual akibat melihat konten pornografi di telepon genggam milik orangtuanya. Sedangkan dua pelaku lainnya diajak oleh pelaku pertama tanpa mengetahui bahwa yang dilakukannya merupakan hal yang salah.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), akan diambil keputusan bersama antara penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial. Keputusan ini antara menyerahkan kembali pelaku kepada orangtuanya atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan.

"Meskipun pelaku masih berusia anak, tetapi mereka harus diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini memperhatikan UU SPPA.”

“Pihak kepolisian sudah berkomitmen untuk segera menuntaskan kasus ini dan dalam waktu dekat akan dilakukan pengambilan keputusan bersama yang hasilnya diserahkan ke pengadilan," ujar Bintang.

3 dari 4 halaman

Tak Dapat Digolongkan Pelaku Kejahatan Seksual

Pernyataan Bintang soal kelalaian orangtua senada dengan tanggapan kriminolog Haniva Hasna.

Menurut perempuan yang juga pemerhati anak dan keluarga ini, anak-anak yang belum mencapai umur 12 tahun tidak dapat digolongkan sebagai pelaku kejahatan seksual (sex offender), sehingga tidak bisa dikenakan sanksi pidana.

Tiga anak SD yang menjadi pelaku pemerkosaan siswi TK di Mojokerto dianggap sebagai korban kelalaian orangtua, kelalaian masyarakat, kelalaian pemerintah dalam meregulasi tontonan dan penyebaran pornografi.

"Sehingga tetap harus mendapat perlindungan, pendampingan, edukasi serta terapi agar berpikiran dan berperilaku normal seperti anak seusianya," kata kriminolog yang karib disapa Iva kepada Health Liputan6.com belum lama ini.

4 dari 4 halaman

Perlu Ditangani dengan Baik

Pendampingan bagi tiga anak SD pelaku pemerkosaan siswi TK itu perlu dilakukan lantaran jika tidak tertangani dengan baik, ada kemungkinan mereka mengulangi tindakan tersebut di kemudian hari.

"Karena anak memperoleh persepsi yang salah tentang apa yang sudah terjadi pada dirinya dan apa yang sudah dilakukan," ujarnya.

Ketiga anak itu harus segera mendapat pendampingan psikologis profesional. Waktu yang dibutuhkan tidak bisa ditentukan hingga kondisi psikis mereka semakin membaik.

Pendampingan psikologis dibutuhkan anak untuk mengembalikan mereka kepada rutinitas sebagaimana anak seusianya.

Dalam hal ini, lingkungan dapat memberikan dukungan positif dengan tidak menyalahkan, tidak mengungkit, dan tidak memberi label.

"Karena jika tidak diatasi dengan baik tentu dapat masuk ke dalam alam bawah sadar anak dan menetap hingga dewasa yang dapat berdampak pada kehidupannya yang akan datang," pungkas Iva.