Liputan6.com, Jakarta - Minimnya dokter bedah jantung dan kurangnya ketersediaan alat yang memadai di Teluk Bintuni, Papua Barat, membuat Tonny Frit Yoweni harus terbang ke Jakarta demi memperbaiki katup jantung bolong yang dideritanya. Ia menjalani operasi katup jantung di RS Jantung Harapan Kita Jakarta.
Di Teluk Bintuni, Tonny menuturkan, penanganan penyakit kronis seperti penyakit jantung memang masih belum mumpuni. Dokter spesialis jantung dan alat rontgen untuk melihat katup jantung saja baru setahun belakangan tersedia.
Baca Juga
“Teluk Bintuni kan kabupaten ya, rumah sakitnya juga sudah setara atas lah, sudah bisa mungkin menangani penyakit. Tapi yang susah mungkin jantung, penyakit yang rumit lah. Itu penanganannya belum ada alat memadai,” tuturnya saat sesi wawancara khusus yang diikuti Health Liputan6.com di Pusat Jantung Nasional RS Harapan Kita Jakarta, ditulis Selasa (31/1/2023).
Advertisement
Masih terdapat keterbatasan pelayanan jantung di kampung halamannya, Tonny berharap ada secercah harapan tak perlu terbang jauh ke Jakarta bila sakit kronis. Peningkatan layanan jantung dari sisi ketersediaan dokter dan alat kesehatan sangat dibutuhkan.
“Bintuni, promosi untuk kesehatan kan harus ditingkatkan. Mungkin Papua juga harus (layanan) kesehatannya dinomorsatukan, biar kami enggak usah jauh-jauh datang ke sini lagi (Jakarta),” sambungnya.
Demi perbaikan katup jantung, Tonny sudah mulai menjalani serangkaian pemeriksaan di RS Jantung Harapan Kita sejak Agustus 2022. Pemeriksaan lab dan jantung untuk persiapan operasi jantung.
Puji Tuhan, kata Tonny, dirinya sudah menjalani operasi katup jantung dengan lancar pada 13 Januari 2023. Saat ini, ia sedang tahap perawatan untuk pemulihan dan pemantauan pasca operasi.
“Saya pasien rujukan dari Papua Barat, Kabupaten Teluk Bintuni. Saya datang dari Papua Barat dirujuk untuk berobat ke sini. Saya sampai di sini tuh dari bulan Agustus 2022. Kemarin, Jumat tanggal 13 Januari, operasi katup,” lanjutnya.
“Kalau Mau Sehat, Kenapa Harus Berpikir?”
Jauh-jauh dari Teluk Bintuni, Tonny Frit Yoweni mengatakan, dukungan dari keluarga menyemangatinya untuk terbang ke Jakarta. Menurutnya, demi sehat harus tetap berupaya mencari pengobatan agar kondisi tak kian memburuk.
Katup jantung bolong mesti dilakukan tindakan bedah segera. Jika tak tertangani, penyakit katup jantung bisa menyebabkan komplikasi, di antaranya gagal jantung, stroke, dan pembekuan darah.
“Kalau untuk saya pribadi dan keluarga, kita sehat itu kenapa harus pikir? Kalau mau sehat itu kenapa harus berpikir? Lebih bagus itu kita berobat sebelum terlambat. Jadi untuk keluarga, saya jauh-jauh dari sana sampai ke sini,” terangnya.
Pada awal tiba di Jakarta untuk pengobatan, Tonny sempat putus asa. Proses persiapan operasi yang membutuhkan waktu lama sampai biaya hidup. Ya, ia dan keluarga menanggung sendiri biaya tinggal di Jakarta sebesar Rp3,5 juta per bulan.
Sementara urusan biaya operasi dan rumah sakit, tidak ada kendala sama sekali. Sebab, ia termasuk pasien rujukan BPJS Kesehatan.
“Memang beberapa waktu saat sudah di sini? Saya putus asa, prosesnya kan berjalan karena berjangka. Di sini kan biaya hidupnya besar, kalau untuk fasilitas dan pengobatan di rumah sakit tidak ada masalah, semua dijamin oleh BPJS,” cerita Tonny.
“Cuma biaya hidup di luar itu saja yang kami pikir. Tapi dengan semangat, dukungan doa dari orangtua, makanya saya bisa sampai operasi kemarin hari Jumat.”
Kondisi Tonny tatkala hendak dirujuk ke RS Jantung Harapan Kita mengalami nyeri dada hebat. Ia memeriksakan diri ke rumah sakit daerah Bintuni. Hasilnya, katup jantung keempat bolong dan harus diperbaiki.
“Saya awalnya cuma nyeri dada. Diagnosis awal waktu rontgen itu kan cuma penyempitan dengan pembengkakan di jantung. Pas setahun terakhir, diperiksa bahwa itu bukan penyempitan, tapi katup yang bolong,” katanya.
“Mumpung masih bisa diperbaiki, masih bisa untuk diganti, makanya saya dirujuk ke RS Harapan Kita.”
Advertisement
Alami Kecelakaan Mobil
Kilas cerita, sebelum didiagnosis katup jantung bolong, Tonny Frit Yoweni pernah mengalami kecelakaan mobil pada tahun 2013 silam. Diagnosis pertama usai kecelakaan yang menimpanya adalah pembengkakan dengan penyempitan pembuluh darah di jantung.
Pada waktu itu, hasil pemeriksaan keluar menggunakan rontgen. Sayangnya, Tonny mengakui dirinya tidak berobat dengan baik.
“Saya diagnosa di Bintuni awalnya tahun 2013. Waktu itu habis kecelakaan mobil, saya tidak berobat baik. Adanya nyeri dada saat pemeriksaan ke dokter, diperiksa cuma pakai hasil rontgen,” ucapnya.
“Diagnosisnya bahwa ada pembengkakan di jantung dengan penyempitan di pembuluh darah. Tapi dari 2013 itu kan saya tidak rutin untuk berobat baik.”
Hingga pada tahun 2021, Tonny merasakan nyeri dada yang tak tertahankan. Ia kembali memeriksakan di rumah sakit di Bintuni. Kemudian dokter merujuk ke RS Jantung Harapan Kita. Sebelumnya, ada pilihan juga ia ditawarkan dirujuk ke rumah sakit di Yogyakarta.
“Saya merasakan nyeri dada sampai ke belakang. Makanya, saya kembali lagi ke rumah sakit daerah Bintuni, saya dibuatkan rujukan. Awalnya, rujukan saya itu ke rumah sakit di Yogya. Lalu, saya cari-cari rumah sakit dulu (yang cocok),” imbuhnya.
“Setahun berjalan, ada masukan, kalau lebih bagusnya itu dirujuk ke Rumah Sakit Harapan Kita. Nah, saya makanya ke sini.”
Tak Ada Kendala Rujukan
Berkaitan dengan pembiayaan operasi katup jantung, Tonny Frit Yoweni melanjutkan, rujukan BPJS Kesehatan diperbarui atau diperpanjang dua kali. Proses memperbarui rujukan juga lancar.
“Saya rujukan dua kali diperbarui. (Surat) Rujukan pertama habis kemarin, Desember 2022, terus diperbarui lagi. Yang rujukan baru ini dikirim kembali ke Bintuni, kemudian di fax (faximile) ke saya untuk saya pakai lagi. Jadi rujukannya diperpanjang,” katanya.
“Saya selama pakai rujukan itu enggak pernah ada kendala.”
Perkara antrean pasien BPJS Kesehatan, Tonny menerangkan, semua pemeriksaan yang ia jalani sudah sesuai prosedur. Ia pun tak merasa diperlama atau tertahan untuk tindakan operasi. Setiap prosedur pemeriksaan, dijalaninya dengan baik.
“Setahu saya rumah sakit punya aturan beda-beda. Jadi apapun itu, harus kita ikuti prosedur. Saya sampai operasi ini sesuai prosedur. Dari saya masuk ke poli-poli, saya harus periksa, kateterisasi,” tutupnya.
“Saya kateterisasi ini kan untuk persiapan operasi. Mungkin itu sudah ada tahapan-tahapannya. Sebagai pasien, ya saya patuh, enggak bisa mau harus duluan. Kan sudah ada aturannya. Apapun yang terjadi, kita sendiri yang harus siap."
Advertisement