Liputan6.com, Jakarta Wacana terkait labelisasi galon BPA masih menjadi perbincangan hangat di publik. Berbagai pro dan kontra mencuat di kalangan akademisi, praktisi, hingga pelaku industri. Pandangan dan argumentasi mereka memenuhi ruang publik dengan hiruk pikuk labelisasi.
Pro dan kontra tersebut membuat pelabelan galon plastik polikarbonat yang mengandung bahan kimia berbahaya Bisphenol A (BPA) masih jalan di tempat dan tidak ada progres berarti.
Baca Juga
Di lain sisi, kondisi itu memperlihatkan bahwa Indonesia seolah-olah bersikap lunak terhadap market leader industri air minum dalam kemasan (AMDK) yang saat ini dikuasai oleh investasi asing.
Advertisement
Seperti yang diketahui, pelabelan kemasan galon BPA merupakan kebijakan pemerintah Indonesia untuk melindungi setiap warga negara dari bahaya paparan senyawa kimia BPA. Dan pemerintah hanya melakukan pelabelan, bukan pelarangan seperti yang diterapkan di luar negeri.
Sebagai informasi, dunia internasional pun sudah membuat regulasi terkait plastik BPA seketat mungkin dan sudah dilarang di beberapa negara maju.
Sebagai contoh, Uni Eropa sudah menerapkan pelarangan penggunaan BPA sejak 2011. Kanada pun pada 2017 melarang kemasan BPA untuk anak dan orang dewasa.
Sementara beberapa negara bagian di Amerika Serikat juga sudah mengeluarkan larangan BPA untuk kemasan. Selain itu negara di belahan Asia pun tak ketinggalan, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Malaysia sudah menerapkan hal yang serupa.
BPA Sangat Berbahaya bagi Usia Rentan
Dengan banyaknya pro dan kontra yang dapat menghambat pelabelan kemasan galon BPA, bisa berpotensi menimbulkan dampak negatif untuk puluhan juta orang Indonesia.
Pasalnya, hal yang lazim ditemui bahwa masyarakat Indonesia masih minum air dari kemasan galon BPA setiap hari, termasuk ibu hamil dan balita yang sangat rentan terhadap paparan bahaya senyawa kimia BPA.
Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA) Arist Merdeka Sirait mengungkapkan bahwa semua pakar kesehatan dunia sudah sepakat bahwa BPA sangat berbahaya bagi usia rentan.
“Yaitu bayi, balita, dan janin pada ibu hamil. Bahkan BPA dinyatakan sebagai polusi yang tak terlihat," katanya.
Arist juga menegaskan bahwa Komnas PA terus mengawasi kemasan yang mengandung BPA di Indonesia. Karena baginya, itu merupakan salah satu bentuk kekerasan yang tak bisa dilihat, yaitu kekerasan dalam bentuk merampas kesehatan anak.
Ketua Komnas PA tersebut juga mengkritik bahwa para pelaku usaha dan beberapa pihak terkait lebih memilih kepentingan industri dan membiarkan kekerasan tak terlihat ini terus terjadi.
“Pembiaran ini dilakukan dengan cara dibiarkannya anak-anak, bayi, balita dan janin terus mengonsumsi makanan dan minuman dari wadah atau kemasan yang mengandung BPA,” kata Arist dalam Diskusi Publik ‘Bebaskan Anak-anak Indonesia dari Kemasan BPA yang Berbahaya’, di Jakarta (26/1/2023).
Advertisement
Banyak Ditemukan di Berbagai Kemasan
Dalam kesempatan yang sama, Arist juga mengatakan bahwa masih banyak senyawa BPA ditemukan di berbagai kemasan yang selama ini digunakan sehari-hari. Nahasnya, kemasan tersebut digunakan untuk menyeduh air susu dan wadah yang terbuat dari plastik, seperti galon bekas pakai yang oleh industri AMDK terus digunakan berulang-ulang untuk kemudian dijual lagi ke konsumen.
“Saya kira industri wajib hukumnya membuat peringatan itu (BPA),” katanya.
“Saya lihat iklan yang ada saat ini tidak menyebutkan bahwa kemasannya sudah bebas dari BPA, padahal itu wajib hukumnya oleh industri. Kalau tidak ada iklan seperti itu, maka labelnya (peringatan BPA) harus ada di dalam kemasan plastik,” tambah Arist.
Kemasan yang tidak dilabeli dengan peringatan bahaya BPA dan dikonsumsi oleh anak-anak dan ibu-ibu sangat berbahaya. Arist meminta untuk adanya regulasi yang dapat mengatur label BPA pada pangan.
“Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Perka BPOM) No 31 Tahun 2018 sudah disusun dengan persetujuan DPR, dan sudah diserahkan ke Setneg untuk mendapatkan persetujuan Presiden,” tutur Arist.
“Perka itu lahir sebagai regulasi untuk melindungi para ibu dan anak-anak dari bahaya BPA," tambahnya.
Tulis Surat Terbuka ke Presiden
Bertepatan dengan Hari Gizi Nasional yang jatuh pada 25 Januari 2023, Komnas PA telah menulis surat terbuka kepada Presiden agar peraturan BPOM No. 31 Tahun 2018 tentang label pangan olahan agar segera ditandatangani.
“Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk melindungi kesehatan anak-anak dari bahaya senyawa kimia BPA yang banyak ditemukan di kemasan-kemasan plastik,” ungkap Arist.
Terdapat lebih dari 130 studi yang melaporkan efek berbahaya dari BPA. Beberapa di antaranya bahkan dapat memicu kanker payudara, pubertas dini, penyakit jantung, infertilitas, katalisator penyakit saraf, dan obesitas, serta gangguan hormon dan perubahan perilaku pada anak.
Pengajar dan peneliti Fakultas Teknik Universitas Indonesia Prof. Mochamad Chalid menyebutkan bahwa Jepang sudah meninggalkan plastik BPA dan beralih 100 persen ke plastik PET untuk kebutuhan kemasan.
Sebagaimana diketahui, plastik PET dikenal relatif aman dan saat ini semua industri AMDK di Indonesia telah menggunakan plastik PET untuk kemasan botol tersebut.
Akan tetapi, market leader kemasan galon yang dikuasai dikuasai investasi asing masih mempertahankan dominasi pasar, dengan tetap menggunakan galon bekas pakai yang mengandung BPA.
Advertisement
Kepentingan Asing Lebih Dominan
Hal tersebut masih menjadi persoalan serius. Nampaknya, kepentingan investasi asing terlihat lebih dominan dibandingkan dengan permasalahan kesehatan dan juga generasi Indonesia ke depan.
Asumsi tersebut bukan isapan jempol semata, berdasarkan data pada 2021, total pendapatan pasar air minum dalam kemasan di Indonesia mencapai 10,51 miliar dolar AS atau ekuivalen dengan Rp149,9 triliun.
Selain itu, berdasarkan riset yang dilakukan Statista pada tahun 2022, bisnis AMDK akan terus bertumbuh rata-rata sebesar 5,53 persen per tahun hingga 2026 mendatang.
Dengan proyeksi yang terus meningkat, itu menunjukkan bahwa bisnis AMDK adalah bisnis raksasa dengan omzet triliunan rupiah. Dari sisi bisnis, wajar jika market leader yang dikuasai pihak asing merasa nyaman dan tak ingin diusik.
(*)