Liputan6.com, Jakarta Ibu muda asal Jambi, YSA, ditetapkan menjadi tersangka kasus pelecehan seksual kepada 17 anak. Para korban di bawah umur yang dilecehkan perempuan usia 25 itu tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan.
YSA dikenal sebagai pemilik rental Play Station (PS) di rumahnya. Di tempat itu ia melakukan tindakan pelecehan seksual tersebut.
Baca Juga
Pada anak laki-laki, YSA memaksa mereka untuk meraba tubuhnya, termasuk payudara. Anak laki-laki juga acap kali dipegang kemaluannya. Sedangkan, anak perempuan diminta menonton YSA ketika berhubungan badan dengan suaminya.
Advertisement
Menurut suaminya, YSA akan marah jika keinginannya untuk berhubungan badan ditolak. Suami yang dimintai keterangan juga sempat mendapati YSA melukai diri sendiri dengan menyayat tangan menggunakan silet.
Melihat kasus ini, krimonolog Haniva Hasna mengingatkan bahwa pelaku pelecehan seksual bukan hanya laki-laki.
“Jangan salah ya, dunia sudah berubah. Kalau dulu pelaku pelecehan seksual itu laki-laki dewasa sekarang bisa dilakukan oleh perempuan bahkan anak SD pun bisa melakukan kekerasan seksual,” kata perempuan yang juga pemerhati anak dan keluarga itu kepada Health Liputan6.com, Rabu (8/2/2023).
“Perempuan bisa menjadi pelaku pelecehan seksual walaupun jumlahnya tidak sebanyak pelaku laki-laki. Perempuan yang menjadi pelaku kekerasan seksual biasanya memiliki relasi kuasa, berkedudukan lebih tinggi dari korbannya,” tambahnya.
Dalam kasus ini, YSA sebagai pemilik rental PS merasa lebih berkuasa dari anak-anak yang menyewa.
Fantasi Seksual Eksibisionis?
Kriminolog yang karib disapa Iva menambahkan, berdasarkan pemeriksaan polisi, YSA melakukan pelecehan seksual secara fisik tapi tidak sampai pada penetrasi.
“Yang pasti nafsu seksual terlibat dalam hal ini, tapi hal lain bisa saja sebagai salah satu fantasi seksual eksibisionis yaitu menunjukkan alat kelamain dan berhubungan seksual dengan disaksikan oleh orang lain. Dari perilaku ini akan menghasilkan kepuasan bagi pelaku,” kata Iva.
Lebih lanjut Iva menjelaskan, setiap manusia pasti memiliki hasrat seks masing-masing. Efek yang muncul jika hasrat seks tidak tersalurkan akan memengaruhi kondisi psikis (kejiwaan).
Secara fisik hasrat seks yang tidak tersalurkan tidak memicu suatu penyakit khusus. Namun, secara psikologis efek yang muncul tergantung dari temperamen atau watak orang tersebut.
Jika orang tersebut memang temperamen tinggi atau segala keinginannya harus terpenuhi, maka ia bisa marah-marah ketika hasrat seksnya tidak tersalurkan.
“Namun kalau watak atau karakter orang tersebut termasuk yang sabar dan penuh pengertian, maka ia akan menerima kondisi tersebut dan tidak menimbulkan efek yang merugikan untuk dirinya.”
Advertisement
Hiperseks?
Tindakan YSA pada anak-anak dikait-kaitkan dengan pedofilia. Di mana orang dewasa memiliki ketertarikan seksual pada anak-anak. Namun, Iva menuturkan terkait hal ini perlu pemeriksaan secara mendalam.
Di sisi lain, hasrat seks YSA juga dikaitkan dengan hiperseks. Menurut Iva, hiperseks sendiri adalah obsesi hiperbola terhadap seks, umumnya penderita tak menyadari akan hal itu.
Ini merupakan keasyikan berlebihan menggunakan fantasi, dorongan, atau perilaku seksual yang sulit dikendalikan. Pada kondisi tertentu, orang yang mengalami hiperseks mungkin terlibat pada kegiatan mirip pornografi, prostitusi, masturbasi, serta masih banyak lagi.
Ancaman Hukuman
Kasus ini mulai terungkap ketika anak-anak melaporkan tindakan YSA ke orangtuanya. Para orangtua pun melaporkan tindakan ini kepada pihak kepolisian. Kini kasus YSA tengah ditangani oleh Polda Jambi.
Namun, tak terima dilaporkan, YSA malah melaporkan balik anak-anak tersebut. Dan menyatakan bahwa ia diperkosa oleh anak-anak.
“Secara relasi kuasa tidak mungkin anak-anak mempunyai keberanian melakukan pelecehan terhadap orang dewasa. Dan YSA sebagai orang dewasa memiliki kekuatan untuk menolak ketika ada upaya pelecehan,” kata Iva.
Menurut Iva, jika terbukti bersalah maka YSA bisa dijatuhi hukuman Pasal 82 (1). Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Undang-Undang No 23 th 2014 tentang Perlindungan anak.
Advertisement