Liputan6.com, Jakarta Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Roy Himawan menyampaikan, saat ini pemerintah sedang mencoba agar Indonesia terlibat dalam studi atau uji klinik multisenter untuk kandidat vaksin tuberkulosis.
“Pengalaman (uji klinik multisenter) ini akan memberikan pelajaran bahwa yang dibutuhkan kadang bukan hanya kapasitas penelitian tapi juga kapasitas laboratorium,” kata Himawan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (9/2/2023).
Baca Juga
Dalam kesempatan yang sama, peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr. Nina Dwi Putri, Sp.A (K) mengatakan bahwa pengembangan vaksin TB ini diperlukan mengingat Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan angka TB tertinggi di dunia.
Advertisement
“Jadi Kementerian Kesehatan bersama beberapa akademisi baik dari Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Padjadjaran (UNPAD) itu akan bergabung dalam penelitian uji klinis vaksin TB,” kata Nina.
Ia menambahkan, upaya ini dilakukan untuk mencari solusi baru dalam penanganan kasus TB di Indonesia. Namun, saat ini tahap uji klinisnya masih sangat awal.
“Tahapnya baru awal sekali, targetnya harusnya secepat-cepatnya kita mengakselerasi karena ini menjadi masalah utama Indonesia.”
Nina juga menjelaskan bahwa semua uji klinis harus sesuai standar internasional. Subjek uji klinis pun dijamin keamanannya.
“Standarnya itu mengadopsi standar Internasional, jadi hal pertama yang dituju uji klinis itu bukan manfaat justru, tapi keamanan subjek. Jadi patokan utama semua uji klinis itu adalah keamanan subjek,” kata Nina.
Ketertinggalan Indonesia dalam Ketersediaan Obat Inovatif
Sebelumnya, disampaikan bahwa kajian Pharmaceutical Research and Manufacturers of America (PhRMA) menunjukkan hanya ada sekitar 9 persen obat-obatan inovatif yang beredar di Indonesia.
Hal ini menunjukkan adanya ketertinggalan Indonesia dalam ketersediaan obat inovatif atau obat inovasi baru.
Terkait hal ini, Asosiasi untuk Studi Obat Indonesia (IASMED) mengatakan bahwa ketertinggalan dipengaruhi jumlah uji klinik multisenter yang dilakukan.
Menanggapi masalah tersebut, Roy Himawan mengatakan, ketertinggalan ini menjadi perhatian Kemenkes untuk dapat mengakselerasi dan memfasilitasi berbagai uji klinik agar dapat berkembang di Indonesia.
“Indonesia sejatinya memiliki potensi yang besar untuk melakukan uji klinik. Tidak hanya untuk obat tapi juga untuk fitofarmaka atau obat tradisional yang diakui dari kualitas dan keamanannya ,” kata Himawan.
“Harapan kita bagaimana Indonesia bisa berperan dalam uji klinik multisenter yang dikembangkan di belahan dunia yang lain dan kita harus memanfaatkan setiap peluang yang ada.”
Advertisement
Uji Klinis Indonesia Paling Rendah di Asia Tenggara
Dalam kesempatan tersebut, perwakilan dari IASMED, Noni Tobing, S.Si., Apt menjelaskan bahwa uji klinis yang dilakukan Indonesia hanya 4 persen.
“Uji klinis di sini konteksnya adalah uji klinis obat inovatif, obat-obat baru termasuk vaksin yang ditujukan untuk mendapatkan izin edar dari regulator, Badan POM, FDA, dan lainnya.”
Angka 4 persen sangat tidak proporsional mengingat Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk terbanyak.
“Harusnya kontribusi uji kliniknya jauh lebih besar dari 4 persen.”
Pada 2021, jumlah uji klinik di Malaysia menduduki peringkat dua di tingkat regional dan hanya kalah dari Singapura. Sementara Indonesia paling bawah.
Dalam melakukan uji klinis dibutuhkan berbagai persetujuan termasuk dari badan regulatori, komisi etik, dan sebagainya.
Malaysia adalah yang tercepat dari sisi persetujuannya. Di sisi lain, tahapan persetujuannya pun memiliki alur waktu yang pasti. Hal ini membuat negara tersebut menjadi incaran para sponsor yang memberi modal terhadap uji klinis di negara tersebut.
Kendala di Indonesia
Sedangkan, di Indonesia salah satu penyebab kurangnya obat-obatan inovatif adalah karena kurang atau tidak adanya uji klinis skala global.
Di lain pihak, berdasarkan kertas kebijakan yang diterbitkan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada 2018 kurangnya uji klinis tersebut berdampak pada terhambatnya pertumbuhan industri farmasi nasional.
Padahal industri farmasi, termasuk yang terlibat dalam pembuatan vaksin, berpotensi untuk mencapai nilai sampai dengan USD 125.49 miliar pada 2028 berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Arthur D. Little, Firma Konsultan Manajemen.
Perwakilan IASMED dan akademisi Monash University dr. Grace Wangge Ph.D., menyatakan bahwa perlunya penguatan terutama terkait regulasi Menteri Kesehatan No. 85 tahun 2020.
“Peraturan ini mengandung beberapa aspek yang menurut kami dapat disempurnakan agar proses tata kelola perizinan uji klinis lebih baik dan akuntabilitasnya terjaga. Beberapa pasal cukup berpotensi kontraproduktif, salah satunya adalah Pasal 31 ayat 2 dan Pasal 35 yang memperpanjang proses birokrasi dan administratif,” katanya.
Advertisement