Liputan6.com, Surabaya Pelayanan pasien peserta BPJS Kesehatan di pelosok masih terkendala kurangnya tenaga kesehatan (nakes) dan fasilitas kesehatan (faskes). Dalam hal ini, ketersediaan faskes dan tenaga kesehatan belum merata.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti menyampaikan, faktor penyebab kendala layanan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berkaitan dengan kondisi geografis wilayah Indonesia yang sangat luas dan kepulauan.
Baca Juga
Hal ini berujung pada persebaran penduduk yang luas sehingga membuat upaya pemerataan fasilitas kesehatan menjadi sulit. Akibatnya, kondisi ini menyebabkan ada sebagian peserta Program JKN yang belum bisa mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.Â
Advertisement
“Kecepatan pembangunan memang menjadi tantangan tersendiri. Bahkan di negara lain seperti Australia Tengah pun masih ada permasalahan seperti ini," papar Ghufron saat menghadiri 'Simposium Adventure & Remote Medicine' yang diselenggarakan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jawa Timur baru-baru ini.
"Di aspek kesehatan, kita juga masih menghadapi kurangnya tenaga kesehatan dan infrastruktur sarana dan prasarana kesehatan. Padahal, kami berharap seluruh peserta JKN mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama, kualitas yang sama baik di kota maupun di wilayah-wilayah terpencil."
Memberikan pelayanan yang berkualitas kepada peserta Program JKN menjadi fokus utama BPJS Kesehatan. Bersama faskes yang menjadi mitra, berbagai pembenahan terus dilakukan agar pelayanan kesehatan dapat semakin mudah diakses oleh peserta.
Uji Coba Pengiriman Nakes
BPJS Kesehatan tetap memberikan penjaminan bagi peserta yang tinggal di wilayah terpencil dan kepulauan serta daerah yang tidak ada faskes yang memenuhi syarat.
Penentuan daerah tersebut sesuai Permenkes 71 Tahun 2013 ditetapkan oleh dinas kesehatan setempat atas pertimbangan BPJS Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas Kesehatan, dan ditetapkan dengan surat keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang dapat ditinjau sewaktu-waktu menyesuaikan kondisi ketersediaan faskes di daerah tersebut.
Ali Ghufron Mukti juga menjelaskan, saat ini BPJS Kesehatan sudah membayarkan kapitasi khusus bagi fasilitas kesehatan yang mampu menjangkau wilayah terpencil dan kepulauan. Pembayaran kapitasi khusus pada tahun 2019 sampai dengan tahun 2022 sebesar Rp624 miliar untuk 180 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) pada 15 provinsi di 36 kabupaten/kota.
Selain kapitasi khusus, upaya mengoptimalkan di wilayah yang belum tersedia faskes yang memenuhi syarat, BPJS Kesehatan melakukan uji coba pemberian kompensasi dalam bentuk pengiriman tenaga kesehatan, pengembangan analisa kebutuhan faskes berbasis data geografis, penjaminan layanan ambulans darat dan air untuk evakuasi medis antar faskes, serta pengembangan telemedisin.
“Tentu kami berharap, adanya koordinasi lintas kementerian maupun lembaga dalam distribusi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan pada wilayah terpencil perbatasan dan kepulauan," jelas Ghufron melalui pernyataan resmi yang diterima Health Liputan6.com.
"Kami juga mendorong, penyusunan regulasi pendukung dalam penjaminan layanan di wilayah yang tersedia faskes memenuhi syarat."
Advertisement
Sulitnya Rujukan Online
Sementara itu, Ketua Ikatan Ekonomi Kesehatan Indonesia (IEKI) Hasbullah Thabrany mengungkapkan, perlunya kolaborasi bersama baik pemerintah maupun inisiatif masyarakat dalam mengoptimalkan layanan kesehatan bagi wilayah terpencil dan kepulauan.
“Perlu sikap avonturir dan kerja sama multisektor. Akademisi dan pemerhati kebijakan harus bisa mengidentifikasi kebutuhan medis dan kebutuhan epidemiologis daerah terpencil," ungkapnya.
"Pemerintah misalnya Kemenkes, Kemenkeu dan BPJS Kesehatan harus menghitung biaya riil medis dan non medis to reach the unreached. Kemendagri juga harus dapat mengidentifikasi kemampuan fiskal pemda dan berupaya memenuhi hak konstitusi masyarakat termasuk yang berada di wilayah terpencil."
Ditambahkan oleh Direktur RSUD Dr. H. Chasan Boesorie Ternate, Alwia Assagaf. Hampir 67 persen pasien yang mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut adalah peserta JKN. Menurutnya, memang terdapat hal-hal yang harus dioptimalkan dalam pemberian pelayanan di wilayah kepulauan.
“Kami menyoroti biaya non medis yang cukup tinggi terjadi untuk menjangkau peserta maupun masyarakat di kepulauan. Selain itu, masih sulitnya akses internet sehingga implementasi telemedisin maupun layanan berbasis digital, misalnya rujukan online, penerbitan Surat Eligibilitas Peserta (SEP) secara online harus menjadi perhatian bersama," katanya.
"Masyarakat juga masih banyak yang memerlukan edukasi terkait Program JKN, karena masih ada yang belum memahami khususnya terkait kepesertaan, baru mendaftar saat sakit maupun status kepesertaan yang non aktif karena menunggak."