Liputan6.com, Jakarta - Satgas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Eva Devita Harmoniati menjelaskan lima langkah mitigasi untuk melindungi anak dari kekerasan seksual di dunia maya.
Kelima langkah itu adalah:
Baca Juga
- Evaluasi aturan pemakaian internet yang aman dan siapkan perangkat keamanan untuk komputer, laptop, ponsel pintar, dan gawai lainnya.
Advertisement
- Membuat setting pengawasan orangtua pada semua alat yang bisa akses internet termasuk soal age-appropriate filters dan monitoring tools.
- Bangun kepercayaan dan komunikasi dengan menyediakan waktu online bersama anak dan secara teratur berdialog tentang apa yang dilakukan selama online.
- Hindari membagi informasi pribadi dengan berpikir sebelum mengunggah, menggunakan setting privacy pada semua media sosial dan platform permainan, serta hindari komunikasi dengan orang yang tak dikenal.
- Buat kesepakatan aturan penggunaan internet dengan membangun kepercayaan dan mengajarkan tanggung jawab.
“Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2020 menunjukkan ada 526 kasus pornografi dan kejahatan siber pada anak,” mengutip materi yang dirangkum oleh Eva Devita.
Sedangkan, data KPAI sepanjang 2017 hingga 2019 menunjukkan ada 1940 anak yang menjadi korban kejahatan online dengan rincian sebagai berikut:
- Korban perundungan di media sosial 281 anak
- Pelaku perundungan di media sosial 291 anak
- Korban kekerasan seksual online 329 anak
- Pelaku kekerasan seksual online 299 anak
- Korban pornografi dari media sosial 426 anak
- Pelaku kepemilikan media pornografi 316 anak.
Contoh Kekerasan Seksual Anak di Dunia Maya
Eva juga menyebutkan tiga contoh kekerasan seksual pada anak yang bisa terjadi di dunia maya. Ketiga hal itu adalah:
- Mendapat kiriman gambar/foto /video pornografi
- Diminta mengirimkan foto/video dengan pakaian minim
- Mendapat kiriman pesan sensual.
Sedangkan di dunia nyata, tindak kekerasan seksual bisa meliputi:
- Disentuh bagian dada, kemaluan, pantat
- Diminta menyentuh atau melihat genitalia orang dewasa
- Dipaksa melakukan hubungan seksual.
Advertisement
Akses Internet dan Paparan Konten Negatif
Menurut Eva, semakin mudah anak mendapatkan akses internet, maka mereka semakin rentan terpapar konten negatif.
Konsumsi internet memberikan kontribusi dalam peningkatan kasus kekerasan seksual pada anak. Ini sejalan dengan faktor-faktor penyebab meningkatnya kasus kekerasan seksual anak sebagai berikut:
- Pendewasaan seksual yang lebih cepat karena pengaruh media atau paparan terhadap pornografi dan pornoaksi
- Kurangnya edukasi tentang pendidikan seksual
- Kurangnya pengawasan.
Ini dibuktikan dengan survei End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT) di masa pandemi yang dilakukan pada 1.203 anak di 13 provinsi. Hasil menunjukkan bahwa 3 dari 10 anak mendapat pesan tak senonoh, gambar atau video porno langsung atau tautan, dan gambar atau video tak pantas.
Mengenal Kekerasan Seksual
Eva juga mengimbau orangtua dan setiap masyarakat untuk mengenal apa yang dimaksud kekerasan seksual.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 68 Tahun 2013, kekerasan seksual terhadap anak yakni:
- Pelibatan anak dalam kegiatan seksual, di mana anak tidak sepenuhnya memahami atau tidak mampu memberi persetujuan.
- Ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain dengan tujuan untuk memberi kepuasan bagi orang tersebut.
- Bentuk kekerasan termasuk kontak fisik atau non kontak, fisik atau visual. Misalnya dengan menyentuh bagian tubuh anak yang sensitif, memaksa anak untuk menyentuh bagian tubuh orang dewasa, memperlihatkan video seks (kekerasan visual), dan lain-lain.
Advertisement