Sukses

Mirip Ebola, Angka Kematian Akibat Virus Marburg Capai 80 Persen

Kasus virus Marburg yang dikonfirmasi di Equatorial Guinea, Afrika Tengah menjadi perhatian para ahli. Salah satunya, mantan Prof Tjandra Yoga Aditama.

Liputan6.com, Jakarta Kasus virus Marburg yang dikonfirmasi di Equatorial Guinea, Afrika Tengah menjadi perhatian para ahli. Termasuk Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Profesor Tjandra Yoga Aditama.

Menurutnya, penyakit Marburg disebabkan virus yang masih satu golongan dengan virus Ebola, yaitu filovirus (Filoridae).

Wabah penyakit ini bermula pada 1967 di Kota Marburg, Jerman serta di Belgrade, Serbia. Penyakit ini pun diberi nama sesuai kota tempat pertama ditemukan.

“Penyakit ini bermula dari penelitian pada monyet dari Uganda yang diperiksa di Lab di Jerman. Jadi ini bukan penyakit baru,” kata Tjandra dalam keterangan tertulis yang diterima Health Liputan6.com, Rabu (15/2/2023).

Tjandra menambahkan, angka kematian akibat penyakit ini memang tinggi, berkisar dari 25 sampai 80 persen dan belum ada obat serta vaksinnya.

“Gejalanya juga mirip Ebola dan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan hebat, sehingga disebut Marburg Hemorrhagic Fever, mirip dengan nama Ebola Hemorrhagic Fever.”

Gejala lain selain demam dari penyakit Marburg ini adalah diare cair hebat, nyeri perut hebat dan kelemahan. Perdarahan dapat terjadi dengan muntah darah, berak darah, perdarahan dari hidung, mulut dan bahkan vagina.

Selain pada monyet Afrika atau African green monkeys, penyakit Marburg juga dihubungkan dengan kelelawar jenis Old World Fruit Bat.

2 dari 4 halaman

Potensi Penyebaran

Tjandra juga menyampaikan soal kemungkinan virus ini menyebar keluar Equatorial Guinea. Menurutnya, kemungkinan memang ada tapi kecil.

“Sejauh ini, potensi penyebaran keluar Equatorial Guinea belum besar.“

Sebelum ini, penyakit tersebut sudah beberapa kali dilaporkan. Namun, menurut pengalaman Tjandra, penyakit Marburg tidak pernah berkembang luas.

Senada dengan Tjandra, Epidemiolog Dicky Budiman juga memberi perhatian soal virus Marburg.

Menurutnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengonfirmasi wabah virus Marburg di Equatorial Guinea dan sejauh ini, 10 orang telah meninggal.

Sementara, lebih dari 200 orang di karantina dan pembatasan pergerakan telah diberlakukan.

3 dari 4 halaman

Berpotensi Pandemi

Menurut Dicky, virus Marburg adalah salah satu virus dalam daftar virus yang berpotensi pandemi.

Otoritas kesehatan diberitahu setelah temuan kasus mencurigakan terhadap klaster penyakit oleh pejabat kesehatan distrik pada 7 Februari lalu.

“Marburg memiliki spektrum klinis yang tumpang tindih alias mirip dengan virus Ebola. Saat ini vaksinnya sedang dalam pengembangan,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan tertulis.

Penyakit virus Marburg adalah penyakit yang sangat mematikan yang menyebabkan demam berdarah dengan rasio kematian hingga 88 persen.

Virus Marburg ini adalah kelompok filovirus yang sangat menular dan mematikan (mirip dengan virus Ebola). Pertama kali, virus Marburg ditemukan pada 1967 di Marburg dan Frankfurt, Jerman, dan Beograd, Serbia, setelah wabah demam berdarah parah di kalangan pekerja laboratorium saat itu. Seperti yang disampaikan Tjandra.

4 dari 4 halaman

Penularan Virus Marburg

Dicky menambahkan, penyakit ini ditularkan melalui kontak dengan cairan tubuh atau jaringan hewan atau manusia yang terinfeksi.

Penyakit ini memiliki masa inkubasi dua hingga 21 hari dan menimbulkan gejala seperti demam, sakit kepala, nyeri otot, dan muntah. Dapat menyebabkan perdarahan, kegagalan banyak organ, dan kematian.

Sekitar hari kelima setelah timbulnya gejala, dapat timbul ruam dengan benjolan-benjolan di badan tepatnya di perut, dada, dan punggung.

Saat ini tidak ada pengobatan khusus untuk Marburg. Meski wabahnya jarang terjadi dan relatif kecil, tetapi penyakitnya sangat fatal. Dicky menilai sejauh ini virus Marburg belum berpotensi pandemi.

“Saat ini menurut saya belum, tapi pada gilirannya, cepat atau lambat bila strategi pengendalian lemah, vaksin dan obat tidak tersedia maka ancaman makin besar untuk dunia,” pungkasnya.