Liputan6.com, Jakarta - Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI) Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa virus Marburg belum ditemukan di Indonesia.
"Di Indonesia belum ada (virus Marburg) dan kita juga masih nunggu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kalau ada virus di situ belum tentu nyebar ke semuanya," kata Budi Gunadi Sadikin dalam peluncuran White Paper Genomics: Leapfrogging Into the Indonesian Healthcare Future oleh East Ventures di Jakarta pada Kamis, 16 Februari 2023.
Baca Juga
Menkes Budi juga mengimbau masyarakat untuk tidak terlalu panik. Sebab, kata dia, setiap virus diperhatikan setiap tingkatannya.
Advertisement
"Kita enggak usah terlalu panik juga, kita lihat ada level-levelnya tuh, apa ini termasuk variant of interest, apa masuk variant of concern, apa masuk under monitoring, nah, itu kita perhatiin," kata Menkes.
"Jadi kita tahu, kita ikut WHO, informasinya juga sudah kita dapat, tapi teman-teman jangan buru-buru panik karena belum tentu semua virus itu menyebar," dia menambahkan.
WHO Temukan Kasus Virus Marburg di Afrika
Sebelumnya, WHO melaporkan adanya kasus virus Marburg di Equatorial Guinea, Afrika Tengah pada 13 Februari 2023.
Menurut epidemiolog Dicky Budiman, virus Marburg adalah salah satu virus dalam daftar virus berpotensi pandemi.
"Marburg memiliki spektrum klinis yang tumpang tindih alias mirip dengan virus Ebola. Saat ini vaksinnya sedang dalam pengembangan," kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan tertulis.
Virus Mematikan
Penyakit akibat virus Marburg adalah penyakit yang sangat mematikan yang menyebabkan demam berdarah dengan rasio kematian hingga 88 persen.
Virus Marburg ini adalah kelompok filovirus yang sangat menular dan mematikan (mirip dengan virus Ebola). Pertama kali, virus Marburg ditemukan pada 1967 di Marburg dan Frankfurt, Jerman, dan Beograd, Serbia, setelah wabah demam berdarah parah di kalangan pekerja laboratorium saat itu.
Penyakit ini ditularkan melalui kontak dengan cairan tubuh atau jaringan hewan atau manusia yang terinfeksi.
Penyakit ini memiliki masa inkubasi dua hingga 21 hari dan menimbulkan gejala seperti demam, sakit kepala, nyeri otot, dan muntah. Dapat menyebabkan perdarahan, kegagalan banyak organ, dan kematian.
Sekitar hari kelima setelah timbulnya gejala, dapat timbul ruam dengan benjolan-benjolan di badan tepatnya di perut, dada, dan punggung.
Advertisement
Belum Ada Pengobatan
Saat ini tidak ada pengobatan khusus untuk Marburg. Wabah jarang terjadi, relatif kecil, tetapi sangat fatal, dengan tingkat fatalitas kasus berkisar antara 25 persen hingga 90 persen.
Lantas apakah virus ini berpotensi pandemi? Dicky menilai sejauh ini virus Marburg belum berpotensi pandemi.
“Saat ini menurut saya belum, tapi pada gilirannya, cepat atau lambat bila strategi pengendalian lemah, vaksin dan obat tidak tersedia maka ancaman makin besar untuk dunia.”
Peneliti global health security Griffith University Australia itu pun berpesan, sudah saatnya dunia dan Indonesia menerapkan pendekatan One Health, pengembangan vaksin dan obat mandiri serta penguatan program kesehatan masyarakat.
“Suatu hal yang memang tidak mudah dilakukan dan tidak murah,” katanya.
Investigasi Virus
Sebelumnya, otoritas kesehatan Equatorial Guinea mengirim sampel ke laboratorium referensi Institut Pasteur di Senegal dengan dukungan dari WHO untuk menentukan penyebab penyakit tersebut setelah peringatan oleh pejabat kesehatan distrik pada 7 Februari.
Dari delapan sampel yang diuji di Institut Pasteur, satu ternyata positif virus. Per 13 Februari, sembilan kematian dan 16 kasus suspek dengan gejala termasuk demam, kelelahan, dan muntah berlumuran darah serta diare telah dilaporkan.
Investigasi lebih lanjut sedang berlangsung. Tim lanjutan telah dikerahkan di distrik yang terkena dampak untuk melacak kontak, mengisolasi, dan memberikan perawatan medis kepada orang yang menunjukkan gejala penyakit tersebut.
Upaya juga sedang dilakukan untuk meningkatkan tindakan tanggap darurat yang lebih cepat. WHO mengerahkan pakar darurat kesehatan di bidang epidemiologi, manajemen kasus, pencegahan infeksi, laboratorium dan komunikasi risiko untuk mendukung upaya tanggap nasional dan mengamankan kolaborasi masyarakat dalam pengendalian wabah.
Advertisement