Sukses

BPOM: Bahan Pelarut di Industri Obat Harus Dilengkapi Aturan Kemendag

Bahan pelarut di industri obat harus dilengkapi dengan aturan Kementerian Perdagangan (Kemendag).

Liputan6.com, Jakarta Bahan pelarut obat menjadi sorotan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia menindaklanjuti kasus gagal ginjal akut. Penggunaan bahan pelarut ini dapat berpotensi timbulkan cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG), terutama pada obat sirup.

Kepala BPOM RI Penny K. Lukito menilai regulasi bahan pelarut yang digunakan di industri obat tetap harus dilengkapi aturan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Dalam hal ini, dari pemasukan atau impor bahan pelarut yang perizinannya melalui persetujuan Kemendag.

Koordinasi dengan Kemendag sudah dilakukan BPOM. BPOM pun telah mengirimkan surat kepada para menteri terkait peraturan yang dikeluarkan BPOM, salah satunya soal bahan pelarut.

Bahan pelarut yang dimaksud antara lain, Propilen Glikol PG), Polietilen Glikol (PEG), sorbitol, dan gliserin atau gliserol. Ambang batas penggunaan keempat pelarut obat ini di angka 0,1 persen.

"Saya sendiri sudah membuat surat langsung pada para menteri yang terkait bahwa peraturan yang dikeluarkan oleh Badan POM, karena menyangkut pada bahan pelarut yang digunakan industri obat juga harus dilengkapi oleh Kementerian Perdagangan ya," beber Penny saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi IX DPR RI di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/2/2023).

"Dalam hal ini ya untuk pemasukan dari bahan pelarut obat tersebut. Walaupun tidak digunakan oleh Badan POM tapi harus dilengkapi Kemendag. Jadi banyak titik yang dilakukan untuk melakukan pencegahan sehingga (bahan pelarut) tidak (sembarangan) masuk ke dalam industri obat."

2 dari 3 halaman

Bahan Pelarut Harus Pharmaceutical Grade

Regulasi baru yang sudah diterbitkan terkait pemasukan dari bahan baku pelarut obat dikaitkan dengan peraturan yang membedakan antara industri umum dan farmasi. Misalnya, Polietilen Glikol (PEG) yang digunakan oleh industri secara umum dan PEG yang digunakan untuk industri obat atau farmasi.

"Artinya, PEG harus pharmaceutical grade (memenuhi standar farmasi). Saya kira langkah-langkah sudah secara intensif dilakukan dan sekarang sudah ada regulasi yang mengatur hal tersebut," Penny K. Lukito menerangkan.

"Oleh Badan POM sudah dikeluarkan beberapa peraturan, saya mohon maaf, tidak ingat nama-nama peraturannya, tapi sudah lengkap (aturannya). Kami sudah berkoordinasi dengan secara intensif dan marathon bersama dengan lintas sektor terkait bea cukai, Kementerian Industri, Kementerian Perdagangan."

Dari sisi industri farmasi, pihak industri sebagai pemegang izin edar obat bertanggung jawab terhadap mutu, keamanan, dan khasiat produk, termasuk mutu bahan baku yang digunakan, serta wajib melakukan pemantauan khasiat, keamanan, dan mutu obat selama obat diedarkan dan wajib melaporkan hasilnya kepada BPOM.

Industri farmasi harus mematuhi ketentuan, standar, dan regulasi yang berlaku antara lain, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, dan Peraturan BPOM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat.

3 dari 3 halaman

Pembinaan Cara Produksi Obat yang Baik

Selain itu, ada beberapa langkah-langkah yang dilakukan BPOM, yakni lebih memperkuat aspek pengawasan fasilitas produksi, yakni bagaimana industri farmasi melakukan penegakan cara produk sertifikasi dan Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB) pada proses-proses produksi pada fasilitas yang ada.

"Ke depan, kami akan lebih ketat dalam melakukan pembinaan. Nanti akan ada mekanisme khusus yang akan diatur oleh Direktur Pengawasan Produksi Obat, bagaimana pembinaan itu fasilitas produksi dan dikaitkan dengan penegakan CPOB-nya," jelas Penny K. Lukito.

"Ini bagian dari pembinaan, bagaimana kami menilai nanti mungkin dalam setiap periode tertentu akan ada penilaian yang dikaitkan dengan maturitas atau bagaimana kepatuhan dari setiap industri. Ada klasifikasi-klasifikasinya dan mungkin itu yang nanti akan kita bangun suatu konsep insentif, disintesis dikaitkan industri farmasi."

Dalam pembinaan kepada industri farmasi, lanjut Penny, akan membantu BPOM perihal penegakan CPOB. Izin CPOB pun akan semakin terukur dan terstandar agar produk jadi yang dihasilkan aman dikonsumsi masyarakat.

"Sehingga fungsi Badan POM sebagai pembina dari maturitas atau kepatuhan dalam menegakkan CPOB itu akan terukur dan terinformasikan ya terus secara transparan pada masyarakat dalam hal ini," lanjutnya.