Liputan6.com, Jakarta - Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI) Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa dirinya telah berbicara dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait pandemi COVID-19 dan kaitannya dengan status endemi.
"Sudah bicara... WHO intinya bilang begini, masing-masing negara itu diberikan kesempatan sama mereka untuk men-declare kapan titiknya itu tercapai," kata Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam peluncuran White Paper Genomics: Leapfrogging into the Indonesian healthcare future oleh East Ventures di Jakarta, Kamis (16/2/2023).
Baca Juga
Namun, WHO juga mengimbau agar setiap negara tetap hati-hati terhadap varian-varian COVID-19 yang masih bermutasi.
Advertisement
"Cuma WHO bilang tolong hati-hati karena varian-varian ini masih terus bermutasi dan ada kemungkinan juga loncat antar negara," Budi menambahkan.
WHO Bicara tentang Virus COVID-19 yang Bermutasi
Meski begitu, WHO juga menyampaikan bahwa secara alami virus akan melemah agar bisa bertahan hidup pada inangnya yakni manusia.
"WHO juga bilang, by nature, virus itu harus ada inangnya. Kalau inangnya meninggal, manusia meninggal, virusnya juga meninggal. By nature karena ingin hidup lebih lama, virus itu akan semakin lemah supaya inangnya tidak meninggal," kata Budi.
Menkes Budi Komunikasi dengan WHO Soal Status Endemi
Komunikasi dengan WHO terkait endemi ini dilakukan menyusul wacana vaksin berbayar Rp100 ribu.
Menurut Menkes Budi ini adalah strategi vaksinasi COVID-19 usai pencabutan status pandemi COVID-19.
"Vaksinasi untuk booster kita siapkan, harga vaksinasi ini sebetulnya di bawah Rp100 ribu, itu belum pakai ongkos. Harusnya ini pun bisa di-cover oleh masyarakat secara independent (mandiri),” kata Budi dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI yang disiarkan daring pada Rabu 8 Februari 2023.
Vaksin Berbayar Tergantung Status Pandemi?
Menurut Budi, nominal sebesar Rp100 ribu untuk mendapatkan vaksinasi booster bagi masyarakat ekonomi menengah ke atas masih masuk akal.
“Tiap enam bulan sekali Rp100 ribu menurut saya sih suatu angka yang masih make sense," kata Budi.
Sementara itu, bagi masyarakat yang kurang mampu bisa mendapatkan vaksinasi booster COVID-19 ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
"Sedangkan bagi masyarakat yang kurang mampu nanti kita cover melalui mekanisme PBI (penerima bantuan iuran).”
Lantas, hingga kapan vaksinasi booster ditanggung pemerintah dan kapan mulai ditanggung masyarakat secara independen?
Terkait hal ini, Budi mengatakan bahwa dalam Undang-Undang terkait wabah perkara ini sudah dibahas. Selama status pandemi, maka kondisi masih dinyatakan darurat. Artinya, negara masih memiliki kewajiban untuk membayar keperluan vaksin masyarakat.
“Memang di Undang-Undang Wabah itu ditulis, selama ini masih di-declare darurat, negara masih bayar. Itu menjadi diskusi di kita sekarang.”
Advertisement
Keppres Kedaruratan Kesehatan Masih Berlaku
Kondisi Indonesia yang masih pandemi dibuktikan oleh Keputusan Presiden (Keppres) tentang kedaruratan kesehatan yang masih berlaku.
“Keppres-nya masih hidup, kedaruratan bahasa populernya itu pandemi, jadi Keppres Pandemi itu masih berlaku dan itu menginduk ke Keppresnya WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) yang namanya Public Health Emergency of International Concern (PHEIC).”
Mengingat pandemi berlaku secara global, maka tidak memungkinkan untuk memutuskan sendiri soal kedaruratan tersebut.
“Karena ini pandemi global, kalau kita putusin sendiri kan lucu, harusnya putusinnya dengan mereka (WHO).”
Faktor Ilmiah Pencabutan Kedaruratan Kesehatan
Berdasarkan diskusi dengan WHO, organisasi tersebut memberi tahu beberapa faktor-faktor ilmiah yang mendasarinya pencabutan status kedaruratan kesehatan.
“WHO menyarankan, yang menjadi konsideran ilmiahnya adalah hospitalisasi, ICU, dan kematian. Masalahnya tidak semua negara memasukkan data hospitalisasi, ICU, dan kematian. Di region-nya kita hanya Bangladesh yang memasukkan data itu.”
WHO pun meminta Indonesia untuk memasukkan data-data terkait angka hospitalisasi, ICU dan kematian akibat COVID-19 Mendengar permintaan tersebut, Kemenkes akan ikut memasukkan data-data tersebut ke WHO.
“Dan kita akan komunikasi intens dengan WHO agar pada saat nanti kita mendeklarasikan, maka ini jadi enggak aneh dan mereka sudah tahu. Dan tidak kelihatan kita nyelonong sendiri.”
“Saya juga minta teman-teman segera buka komunikasi dengan Amerika dan Jepang untuk melihat perkembangan mereka, timeline-nya mereka, dan skedulnya mereka seperti apa. Jadi kalau pun kita mendeklarasikan, maka kita akan sama protapnya (prosedur tetap) dengan negara-negara maju dan dengan sepengetahuan WHO.”
Advertisement