Sukses

HEADLINE: COVID-19 Subvarian Orthrus Terdeteksi di Indonesia, Gejala hingga Pencegahan?

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia mencatat adanya konfirmasi 14 kasus COVID-19 subvarian Omicron CH.1.1 atau yang dikenal dengan sebutan varian Orthrus.

Liputan6.com, Jakarta Mutasi dan penyebaran varian COVID-19 Omicron masih terjadi. Terbaru, Indonesia melaporkan penambahan varian anakan dari Omicron yakni subvarian CH.1.1 atau Orthrus.

Data terbaru, sudah ada 53 kasus Orthrus yang disampaikan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI per 23 Februari 2023.

Sebenarnya, Orthrus sudah terdeteksi di Tanah Air tahun lalu, tepatnya 11 Oktober. Namun, pertambahan kasus varian ini tergolong lambat di Indonesia. Hingga 5 hari lalu, Kemenkes hanya mencatat 14 kasus Orthrus.

"Saat ini, tercatat ada 14 kasus varian Orthrus di Indonesia,” jelas Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril pada 20 Februari 2023.

Namun hanya berserlang 3 hari Kemenkes memperbarui datanya. Terdapat 53 kasus Orthrus yang tersebar di beberapa provinsi di antaranya DKI Jakarta, Lampung, Riau juga Jawa Barat. Dari provinsi itu, subvarian dari Omicron ini paling banyak ditemukan di DKI Jakarta.

“Iya paling banyak di Jakarta, di Jakarta kan 30 kasus,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Siti Nadia Tarmizi ditemui Health Liputan6.com di Jakarta pada Kamis, 23 Februari 2023.

Nadia juga menuturkan penyebaran Orthrus di Indonesia merupakan transmisi lokal. Bukan lagi dari Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN).

Walau ada penambahan kasus infeksi subvarian Orthrus, penyebaran COVID-19 masih terkendali. Sementara bila dibandingkan dengan anakan Omicron lain yakni Kraken, kebanyakan negara lebih khawatir dengan subvarian ini karena memicu kenaikan kasus. 

"Dua-duanya ini anaknya Omicron, tapi orang lebih takut Kraken karena di banyak negara bisa memicu kenaikan kasus. Sementara itu, Orthrus walaupun ditemukan tapi tidak picu kenaikan di berbagai negara," jelas Nadia.

 

Orthrus pada Kasus Global

Pada tatanan global, Orthrus dilaporkan pertama kali di India pada Juli 2022. Hingga 18 Januari sudah dilaporkan sebanyak lebih dari 12 ribu kasus di 66 negara, dengan kasus terbanyak di Inggris, Denmark, Singapura, dan Selandia Baru.

Di Inggris, Subvarian Orthrus menjadi yang paling dominan. Virus terus berkembang dan mutasi terbaru disebut Orthrus atau CH.1.1 pertama kali diidentifikasi di Inggris pada November 2022.

Sejak Januari 2023, Orthrus diyakini menyumbang sekitar 23 persen dari semua kasus COVID-19 di Inggris. Pada minggu pertama tahun 2023, Inggris, Skotlandia, dan Wales mencatat lebih dari 30.000 kasus COVID-19 baru (data tidak tersedia untuk Irlandia Utara).

Hingga kini, Orthrus berada dalam pemantauan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) alias Variant under Monitoring sama seperti varian XBB 1.5 atau Kraken. Artinya varian ini tengah dicurigai memiliki karakteristik virus yang memicu risiko di masa mendatang.

 

 

2 dari 5 halaman

Kebanyakan Pasien Orthrus di DKI Tanpa Gejala

Kabar "baik" dari kehadiran subvarian Orthrus adalah belum ada cukup bukti yang menunjukkan tingkat kesakitan dan kematian akibat Orthrus lebih parah dari subvarian sebelumnya.

Bila menilik 30 kasus temuan Orthrus di DKI Jakarta, kebanyakan malah tidak menunjukkan gejala alias orang tanpa gejala (OTG). 

"Sebanyak 60 persen pasien tidak menunjukkan gejala COVID-19 varian Orthrus atau OTG, sisa 40 persen lainnya mengalami gejala ringan," kata Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Imunisasi Dinkes DKI Jakarta, Dr. Ngabila Salama.

Bila menengok di negara lain seperti di Inggris, dokter di sana menuturkan bahwa gejala Orthrus tak jauh berbeda dengan Kraken. Hal ini lantaran keduanya memiliki garis keturunan yang sama seperti disampaikan dokter Kathryn Basford mengutip laman Express.

Berikut gejala pada sebagian orang yang terpapar Orthrus:

  • Demam
  • Batuk
  • Pilek
  • Kehilangan nafsu makan
  • Sesak napas
  • Sakit kepala
  • Anosmia juga masih menjadi gejala varian ini. Anosmia adalah hilangnya indra penciuman atau turunnya kemampuan untuk mendeteksi bau.
3 dari 5 halaman

Long COVID Menghantui

Gejala yang tampak ringan-ringan saja merupakan berkat dari imunitas yang terbentuk, baik karena sudah terpapar COVID-19 juga terbesar dari vaksinasi.

"Kondisi pandemi COVID-19 sekarang memang sudah jauh lebih baik. Baik global, nasional, bahkan lokal dengan modal imunitas yang terutama ditimbulkan dari vaksinasi. Khususnya (vaksin) booster karena vaksin efektif mencegah keparahan," kata epidemiolog Dicky Budiman.

Namun, perlu juga diwaspadai risiko Long COVID bila terpapar berulang kali. Seperti diketahui semua subvarian Omicron itu memiliki kemampuan menginfeksi maupun reinfeksi yang jauh lebih hebat dari varian sebelumnya.

"Karena modal imunitas sudah baik, yang terlihat itu adalah gejala-gejala ringan. Tapi kemampuannya dalam menyebabkan Long COVID menjadi lebih besar kalau orang itu terinfeksi berulang. Ini yang harus disadari," kata Dicky.

Long COVID merupakan suatu gejala COVID-19 jangka panjang. Gejala ini yang dialami pasien beberapa bulan pasca infeksi atau saat masa pemulihan COVID-19.

Dicky menambahkan, riset pun ikut menunjukkan bahwa orang yang terkena infeksi berulang COVID-19 mengalami berbagai macam dampak.

"Riset menunjukkan akhirnya orang mengalami penuaan yang lebih cepat di otaknya, di organ-organ, bahkan ada kerusakan. Sehingga orang tersebut bisa menurun sekali status kesehatannya. Bahkan terganggu imunitasnya," ujar Dicky lewat pesan suara kepada Health-Liputan6.com.

 

4 dari 5 halaman

Kemenkes Lakukan Pemantauan dan Geber Vaksinasi

Melihat penambahan Orthrus, Kementerian Kesehatan RI bakal terus lakukan pemantauan terhadap subvarian yang merupakan satu garis keturunan varian BA.2.75 ini. Pemantauan dilakukan level daerah dan nasional agar tidak terjadi penyebaran yang cepat dari Orthrus.

“Saat ini Kementerian Kesehatan juga terus melakukan pemantauan terhadap Varian Orthrus ini, baik di tingkat nasional maupun daerah, meskipun dan sampai saat ini belum menyebabkan kenaikan kasus. Kendati demikian kami akan terus lakukan pemantauan,” kata Syahril.

Pria yang juga Direktur Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso itu mengingatkan agar segera melindungi diri dengan meningkatkan imunisasi lewat vaksinasi COVID-19. Segera lengkapi diri dengan vaksinasi lengkap hingga booster, termasuk booster ke-2 untuk meningkatkan titer antibodi dan memperpanjang masa perlindungan.

Dengan vaksinasi, maka tingkat kesakitan dan kematian akibat COVID-19 bisa ditekan.

“Kita tetap mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk berhati-hati dan waspada karena COVID-19 dengan varian baru masih tetap ada dan salah satu pencegahan kita yaitu melalui protokol kesehatan, vaksinasi lengkap dan booster,” ucap Syahril.

5 dari 5 halaman

Pemakaian Masker Tak Lagi Ketat

Di tengah kehadiran varian Kraken maupun Orthrus di RI, pemerintah tidak lagi memperketat aturan soal penggunaan masker. Terbaru, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak lagi mewajibkan masyarakat untuk menggunakan masker, terutama di luar ruangan.

Pernyataan soal masker yang sudah tidak lagi wajib tersebut dikaitkan dengan dicabutnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

"Saya ingin menigngatkan kembali bahwa PPKM telah dicabut di akhir 2022. Jadi, kalau Pak Gubernur Kaltim mengatakan yang pakai masker itu dianggap sakit, enggak salah, Pak Gub, enggak salah, karena PPKM sudah dicabut," kata Jokowi pada Kamis, 23 Februari 2023.

Hal itu disampaikan Jokowi pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Balikpapan, Kalimantan Timur.

"Jadi, apalagi di luar ruangan, itu sudah tidak wajib pakai masker. Tetapi di dalam ruangan kalau ada yang pakai masker juga diperbolehkan, demi kesehatan," kata Jokowi.

Terkait pernyataan orang nomor satu di RI itu, Dicky menjelaskan, ketika masyarakat berada di luar ruangan dengan situasi sepi, tidak terlalu banyak orang, ventilasi dan sirkulasi udara di sekitar baik, maka tak ada masalah jika memilih untuk melepas masker.

"Tapi kalau di luar ruangan situasinya padat, sirkulasinya buruk, wah berisiko. Apalagi sekarang penyakit yang menular lewat udara itu banyak. Bukan hanya COVID-19. Jadi pertimbangannya (menggunakan masker) itu untuk melindungi diri," kata Dicky.

Dalam kesempatan berbeda, Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiolog Indonesia (PAEI) Masdalina Pane mengungkapkan bahwa tak masalah jika masker tidak diwajibkan.

Akan tetapi, demi menjaga kesehatan diri sendiri, maka masker masih diperlukan. Terutama jika Anda hendak pergi ke tempat berisiko tinggi seperti rumah sakit.

"Tidak wajib oke. Tetapi untuk menjaga kesehatan pribadi sebaiknya tetap menggunakan masker di tempat publik dan layanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, dan tempat praktik dokter," ujar Masdalina pada Health Liputan6.com, Jumat (24/2/2023).