Liputan6.com, Jakarta Data milik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI sendiri menunjukkan sudah ada 53 kasus Omicron subvarian CH.1.1 atau Orthrus sudah masuk ke Indonesia. Subvarian Orthrus sebenarnya sudah terdeteksi sejak 11 Oktober 2022 lalu.
Epidemiolog sekaligus Peneliti Keamanan dan Kesehatan Global Griffith University Australia, Dicky Budiman mengungkapkan bahwa cara menyikapi masing-masing varian baru COVID-19 termasuk Orthrus umumnya sama saja.
Baca Juga
"Mau apapun variannya sama. Saat ini 100 persen varian yang bersirkulasi di dunia adalah Omicron dengan turunannya yang hampir seribu. Nah, semua subvarian Omicron itu memiliki kemampuan menginfeksi maupun reinfeksi yang jauh lebih hebat dari varian sebelumnya," ujar Dicky melalui keterangan pada Health Liputan6.com, Jumat (24/2/2023).
Advertisement
Kondisi Sudah Membaik, Ada Modal Imunitas
Dicky menambahkan, saat ini kondisi memang sudah jauh membaik. Mengingat masyarakat sudah memiliki modal imunitas dari berbagai macam sumber seperti vaksinasi primer maupun vaksinasi booster.
"Kondisi pandemi COVID-19 sekarang memang sudah jauh lebih baik. Baik global, nasional, bahkan lokal dengan modal imunitas yang terutama ditimbulkan dari vaksinasi. Khususnya (vaksin) booster karena vaksin efektif mencegah keparahan," kata Dicky.
Kelemahan Vaksin COVID-19 hingga Saat Ini
Vaksin memang efektif untuk mencegah keparahan. Namun, tak dapat dimungkiri, menurut Dicky, vaksin COVID-19 masih memiliki dua kelemahan.
"Vaksin juga masih punya kelemahan. Dua kelemahan utama vaksin COVID-19 yang ada saat ini adalah (pertama) dia belum bisa signifikan efektif mencegah penularan atau infeksi. Jadi orang yang divaksin atau dikombinasi dengan pernah terinfeksi, tetap masih bisa terinfeksi (lagi)," ujar Dicky.
"Kedua, vaksin belum bisa signifikan efektif mencegah penularan. Itulah sebabnya herd immunity itu masih jauh, karena syarat herd immunity adalah adanya vaksin atau kekebalan yang sifatnya menetap atau setidaknya jangka panjang."
Oleh karena itu, Dicky mengungkapkan bahwa setelah fase akut COVID-19 terlewati, dunia sebenarnya akan memasuki fase baru yang dinamai dengan fase kronik.
"Meskipun ini adalah masa sudah menuju keluar dari fase akut pandemi, kita akan masuk kepada fase kronik. Nah, bicara masa transisi ini enggak pendek. Enggak dalam satu bulan langsung masuk ke kronik, langsung endemik. Ini bisa tahunan dan periode transisi ini dinamis," ujar Dicky.
Advertisement
Tetap Bisa Memakan Korban dan Muncul Gelombang Baru
Lebih lanjut Dicky mengungkapkan bahwa pada masa transisi itulah, korban masih bisa bermunculan. Bahkan, bukan tak mungkin gelombang-gelombang COVID-19 masih terjadi kedepannya.
"Masih bisa ada gelombang-gelombang yang tetap bisa memakan korban, terutama kelompok rawan di masyarakat," kata Dicky.
Terlebih lagi, Dicky menuturkan, riset terakhir menunjukkan jikalau saat ini posisi karakter dan tingkat keparahan COVID-19 berada antara virus HIV dan virus flu. Sederhananya, COVID-19 dianggap lebih parah dari flu, dan lebih ringan dari HIV.
"Jadi dia (COVID-19) lebih parah dari flu, tapi sedikit lebih ringan dari HIV yang antara lain ditandai dampak seriusnya muncul di fase kronik itu. Mungkin dua, tiga, lima tahun setelah dia terinfeksi berulang (baru muncul dampak)," ujar Dicky.
"Sama seperti HIV, itu satu dua tahun dia enggak apa-apa. Nah ini yang bahaya. Itulah yang dibawa COVID-19 saat ini," tambahnya.
Gejala Ringan, Risiko Long COVID Menghantui
Dalam kesempatan yang sama, Dicky mengungkapkan bahwa berkat modal imunitas masyarakat yang sudah terbentuk itu jugalah, gejala yang nampak akan ringan-ringan saja. Namun, tetap masih ada risiko Long COVID-19.
"Karena modal imunitas sudah baik, yang terlihat itu adalah gejala-gejala ringan. Tapi kemampuannya dalam menyebabkan Long COVID-19 menjadi lebih besar kalau orang itu terinfeksi berulang. Ini yang harus disadari," kata Dicky.
Dicky menambahkan, riset pun ikut menunjukkan bahwa orang yang terkena infeksi berulang COVID-19 mengalami berbagai macam dampak.
"Riset menunjukkan akhirnya orang mengalami penuaan yang lebih cepat di otaknya, di organ-organ, bahkan ada kerusakan. Sehingga orang tersebut bisa menurun sekali status kesehatannya. Bahkan terganggu imunitasnya," ujar Dicky.
Advertisement