Sukses

Stroke Bikin Emosi Naik Turun Seperti Dialami Indra Bekti, Apa Penyebabnya?

Indra Bekti sempat mengalami gangguan psikologis usai keluar dari rumah sakit. Pasangannya, Aldila Jelita, menyebut Bekti jadi lebih emosional. Lantas, bagaimana saran psikolog untuk mengatasinya?

Liputan6.com, Jakarta Usai mengalami pendarahan otak dan stroke yang mengganggu penglihatannya beberapa waktu lalu, kondisi kesehatan Indra Bekti sudah berangsur membaik. Indra Bekti terlihat aktif dalam berbagai kesempatan.

Namun, mungkin tak banyak yang tahu bahwa kondisi psikologis Indra Bekti sempat mengalami gangguan usai menjalani operasi. Hal tersebut disampaikan langsung lewat penjelasan Aldila Jelita dalam wawancara dengan Melaney Ricardo beberapa waktu lalu.

Dalam podcast itu, Aldila sempat menceritakan bahwa emosi Bekti naik turun usai operasi. Bahkan jadi suka marah-marah.

"Sampai seminggu (usai pulang dari RS) setiap malam yang aku rasa emosi dia lebih tinggi," tutur Aldila.

Kondisi Bekti menjadi lebih tenang usai kembali ke dokter untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

Lantas, apa yang sebaiknya jika kondisi psikologis seseorang menjadi mudah marah usai sakit stroke seperti yang dialami Indra Bekti?

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, psikolog Adhityawarman Menaldi, M.Psi mengungkapkan bahwa sebenarnya pasien yang mengalami stroke membutuhkan dua penanganan sekaligus, yakni medis dan psikologis.

"Penanganan pasien stroke, karena karakteristik gangguan yang terjadi, perlu berupa penanganan medis dan psikologis di saat yang bersamaan," ujar pria yang akrab disapa Iman pada Health Liputan6.com ditulis Kamis, (2/3/2023).

"Pasien jelas perlu didampingi agar dapat memproses keresahan emosionalnya bersama psikolog atau praktisi kesehatan mental," sambung pria yang aktif sebagai Pengurus Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia (APKI) itu.

Iman menambahkan, dalam beberapa kasus yang ada, pasien bahkan menjadikan sesi konsultasinya dengan profesional sebagai wadah untuk melampiaskan rasa marah maupun kecewanya.

"Pada beberapa kasus, bahkan psikolog, terapis, psikiater menjadi sasaran lampiasan kemarahan atau kekecewaan yang memang perlu diventilasi keluar dari diri pasien," kata Iman.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sangat Penting untuk Cegah Gangguan Emosional Sekunder

Lebih lanjut Iman mengungkapkan bahwa pelampiasan kemarahan atau kekecewaan yang dialami oleh pasien perlu dikeluarkan untuk mencegah terjadinya gangguan emosional sekunder.

"Ini untuk mencegah gangguan emosional sekunder dengan primary caregiver (pengasuh utama) si pasien, misalnya keluarga. Keluarga perlu dilihat oleh pasien sebagai orang yang akan terus mendampingi, dan bukan sebagai pemicu kekesalan atau kekecewaan," ujar Iman.

Begitupun dengan posisi caregiver-nya. Menurut Iman, caregiver juga perlu untuk mendapatkan pendampingan psikologis dalam menghadapi situasi ini.

"Caregiver juga sangat perlu mendapatkan pendampingan psikologis, karena setelah ini mereka akan berhadapan dengan situasi yang sangat berat dan belum tentu bisa kembali sebagaimana sediakala," kata Iman.

"Pendamping pasien juga akan mengalami kelelahan (caregiver burden), kemarahan, kesedihan dan beragam emosi negatif lainnya karena hidup dan keseharian mereka juga berubah," tegasnya.

3 dari 4 halaman

Kenapa Kondisi Psikologis Indra Bekti Bisa Berubah?

Dalam kesempatan yang sama, Iman menjelaskan kemungkinan terjadi perubahan kondisi psikologis pada pasien usai menjalani pengobatan seperti yang terjadi pada Indra Bekti.

"Sisi psikologis orang dengan stroke: Pendarahan di otak, serupa dengan bocornya salah satu pipa air di rumah. Keran yang seharusnya bisa mengalirkan air, jadi tidak bisa. Mesin cuci yang tersambung langsung dengan pipa air, tidak bisa beroperasi dengan sebagaimana harusnya," ujar Iman.

"Stroke membuat aliran darah ke otak (sebagai penentu utama aktifitas kita) menjadi hilang. Dalam darah, ada oksigen. Kehilangan oksigen sepersekian detik langsung membuat organ di otak terganggu, kalau bukan rusak. Terganggunya bagian tertentu ini berakibat individu kehilangan kemampuan tertentu," dia menambahkan.

Contohnya, Iman menuturkan, kemampuan berbahasa. Individu yang tadinya bisa bicara dan tiba-tiba kehilangan kemampuannya tentu akan merasakan aspek frustasinya sendiri.

"Frustrasi yang tidak terselesaikan, mengakibatkan peningkatan emosi negatif tertentu. Seringkali secara singkatnya ini yang bisa digambarkan mengenai sisi psikologis orang dengan stroke," kata Iman.

4 dari 4 halaman

Ada Aspek Lain yang Berkontribusi Selain Hilangnya Kemampuan

Iman mengungkapkan bahwa selain aspek frustrasi karena kehilangan kemampuan tertentu, masih ada aspek-aspek lain yang memengaruhi peningkatan emosi negatif tersebut.

"Tentu kita juga harus bahas aspek lainnya, seperti ketakutan akan kehilangan kendali akan hidup yang tentunya sangat tidak nyaman dan membuat (pasien bisa merasa) frustasi," ujar Iman.

Iman menjelaskan bahwa pada berbagai riset, depresi dan kecemasan memang terlihat sangat tinggi pada pasien stroke. Perasaan itu merupakan sebagian hasil dari kondisi biologis internal yang terganggu.

"Pasien stroke lebih terganggu dengan situasi bahwa dirinya tidak lagi bisa menjalani kehidupan sebagaimana biasanya secara tiba-tiba (bukan menurun secara perlahan-lahan). Jadi, ya betul, kondisi kesulitan ini yang membuat mereka jadi lebih mudah menampilkan ekspresi negatif," kata Iman.

"Juga ada stroke yang membuat gangguan fungsi otak pada pengelolaan emosi. Pada kasus ini, gangguan emosi sudah terjadi lebih dulu karena bagian tersebut tidak dapat berfungsi seharusnya," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.