Sukses

Dokter: Penyebab Stunting dan Kematian Ibu Sudah Terjadi Sebelum Kehamilan

Kematian ibu setelah melahirkan dan stunting pada anak cap kali dikaitkan dengan anggapan yang salah di masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta Kematian ibu setelah melahirkan dan stunting pada anak acap kali dikaitkan dengan anggapan yang salah di masyarakat.

Kematian ibu semata-mata dianggap memang sudah nasibnya demikian. Padahal, kasus kematian ibu dapat dicegah dan angkanya dapat ditekan.

Di Malaysia, sudah diupayakan untuk nihil kematian ibu, begitu pula Singapura. Kini, angka kematian ibu di Malaysia sekitar 20 sampai 40 per 100 ribu kelahiran hidup. Dan Singapura di 25 per 100 ribu.

Namun di Indonesia, menurut Survei Sensus Penduduk 2020, angka kematian ibu sebanyak 189 per 100 ribu kelahiran hidup dan target di 2024 adalah 183.

Selain kematian ibu, masalah lain yang tengah dihadapi Indonesia adalah stunting. Menurut Sekretaris Penurunan Angka Kematian Ibu dan Stunting (PAKIAS) di Perhimpunan Obstetri Ginekolog Indonesia (POGI) Prof Dwiana Ocviyanti, stunting sering dianggap akibat anak kurang makan dan kurang gizi. Padahal, sebagian stunting sudah terjadi sejak anak berada dalam kandungan atau dikenal dengan 1.000 hari pertama kehidupan.

“Jadi 270 hari dalam kandungan itu penting untuk si bayi untuk tumbuh dengan baik. Ternyata, penyebab bayi tidak tumbuh baik dan penyebab dari ibunya meninggal sudah terjadi sejak sebelum meninggal, sebelum hamil,” ujar dokter yang karib disapa Ovie dalam konferensi pers bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) di Jakarta Pusat, Kamis 2 Maret 2023.

 

2 dari 4 halaman

Bukan Hanya Tanggung Jawab Dokter

Mengingat penyebab kematian ibu dan stunting pada anak sudah terjadi sebelum masa kehamilan, maka kedua kasus tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab dokter, kata Ovie.

“Kalau soal ibu meninggal dan tumbuh kembang anak jadi tidak sempurna itu bukan tanggung jawab dokter saja.”

Salah satu penyebab kedua hal ini adalah hamil di usia dini. Data sensus menunjukkan, rata-rata ibu di Indonesia melahirkan di usia 21.

“Tapi ada sekitar 10 persen yang sudah menikah di bawah usia 18 tahun. Sedangkan, kehamilan remaja itu salah satu penyebab prematuritas, salah satu penyebab risiko prematur. Jadi kalau ada yang nanya ‘hamil muda, siapa takut?’ yang takut ya dokternya,” kata Ovie.

3 dari 4 halaman

Akibat Kehamilan Usia Remaja

Sekitar 30 hingga 40 persen dari persalinan kehamilan remaja itu akan berakhir dengan prematur.

“Prematur menyumbang 2,5 kali lipat kejadian stunting. Belum lagi jika remaja ini anemia. Remaja ini di atas 20 persen yang anemia. Sehingga kalau hamil angka anemia mereka jadi 48,6 persen itu data Riskesdas.”

Anemia menyebabkan janin berukuran kecil dari seharusnya. Jika ditambah dengan persalinan yang prematur, maka risiko terjadinya stunting adalah 7,5 kali lipat.

“Nah ini yang coba kita benahi, ternyata semua bisa dicegah. Yang pertama dengan mencegah ibu-ibu ini hamil di usia yang terlalu muda.”

Jika terpaksa menikah di usia muda dan hamil, maka perlu dipastikan bahwa mereka sehat. Pasalnya, 20 persen remaja mengalami anemia dan tidak semua anemia dapat diatasi dengan tablet penambah darah.

4 dari 4 halaman

Penyebab Anemia

Ovie menambahkan, Anemia dapat terjadi akibat beberapa faktor. Seperti tuberkulosis, infeksi kronik, malaria, dan cacingan.

“Karena itu yang harus dilakukan adalah mengecek, anemianya kenapa? Jadi enggak gampang, kalau pusing tidak langsung diberi obat tapi periksa dulu pusingnya kenapa.”

“Dokter itu bukan hanya mengobati tapi membuat diagnosis dulu, kita cari data supaya obatnya tepat,” ujar Ovie.

Anemia tidak hanya penyebab stunting, tapi anemia pada ibu hamil membuat ibunya berisiko mengalami kesulitan saat persalinan, kontraksi rahim tidak biasa, plasenta tidak mau keluar, dan perdarahan.