Liputan6.com, Jakarta - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan bahwa upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir, serta penanggulangan stunting merupakan tugas bersama.
Menurut Data Dirjen Kesehatan Masyarakat dari Kementerian Kesehatan RI tahun 2021, cakupan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan secara nasional mencapai 86 persen.
Baca Juga
Dari data tersebut, cakupan tertinggi berada di DKI Jakarta sebesar 99,6 persen dan Jawa Timur 95,1 persen.
Advertisement
Meski angka cakupan tersebut terlihat cukup baik, tapi sebenarnya capaian tersebut belum dibarengi dengan penurunan kematian ibu dan bayi baru lahir. Sebaliknya, kematian ibu dan bayi baru lahir meningkat dari 87,9 per 100 ribu di tahun 2019.
Pada 2020 kasus kematian ibu dan bayi kembali meningkat menjadi 97,6 per 100 ribu. Meningkat lagi menjadi 166,5 per 100 ribu pada 2021. Ini berdasarkan laporan Komisi Data Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI tahun 2022.
Bahkan jumlah kematian ibu meningkat sepanjang Pandemi COVID-19 atau tiga tahun terakhir. Hal ini menunjukkan masih diperlukannya penguatan ketahanan pelayanan kesehatan di Indonesia, terutama pelayanan kesehatan Maternal Neonatal yang termasuk Pelayanan Kesehatan Esensial.
Menurut Kementerian Kesehatan, dari hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) prevalensi stunting di Indonesia turun dari 24,4 persen di tahun 2021 menjadi 21,6 persen di 2022. Di mana masih perlu penurunan 3,8 persen per tahun untuk mencapai target 14 persen pada 2024.
Permasalahan Kesehatan Indonesia
Kematian ibu dan bayi serta stunting dapat dipicu permasalahan kesehatan di Indonesia. Seperti masalah gizi, penyakit menular, dan penyakit tidak menular.
Pelayanan kesehatan di masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan dan masa sesudah melahirkan dapat mendeteksi masalah kesehatan yang berisiko kematian.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) 21 tahun 2021. Ini mengatur tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan.
Termasuk pula membahas pelayanan kontrasepsi dan pelayanan kesehatan seksual sebagai upaya transformasi pelayanan kesehatan maternal dan neonatal agar menjadi lebih berkualitas.
Advertisement
Pernyataan Sikap
Untuk itu, PB IDI didukung tujuh organisasi di bawahnya memberikan pernyataan sikap soal masalah ini.
Ketujuh organisasi di bawah IDI yakni Perhimpunan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Anestesi Indonesia (PERDATIN), Perhimpunan Kardiolog Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Gizi Klinik Indonesia (PDGKI), dan Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI).
Pernyataan IDI dan organisasi di bawahnya yakni:
- Mendukung segala upaya pemerintah dalam memperkuat pelayanan kesehatan esensial yang sangat diperlukan masyarakat. Dalam hal ini pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) sebagai bagian transformasi menyeluruh Sistem Pelayanan Kesehatan di Indonesia.
- Tercapainya optimalisasi pelayanan kesehatan serta penguatan pelayanan KIA, diperlukan peran dan tanggung jawab bersama dalam kolaborasi antar profesi, kolaborasi antar fasilitas kesehatan, dan kolaborasi antar institusi.
- Dalam pelaksanaan peran dan tanggung jawab tersebut terutama dalam pelaksanaan pelayanan di fasilitas kesehatan mulai dari Fasilitas Kesehatan Pertama sampai Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut, diperlukan pembagian peran yang diatur dan disepakati bersama sesuai kompetensi dan kewenangan masing-masing profesi.
Fokus IDI
Pernyataan sikap yang dibacakan Komite Stunting PB IDI dr Hud Suhargono, SpOG (K) juga membahas soal fokus IDI.
“Fokus IDI saat ini adalah untuk penguatan peran dokter umum dalam upaya pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) baik dari sisi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif,” kata Hud saat membaca pernyataan sikap di Kantor IDI, Jakarta Pusat, Kamis, 2 Maret 2023.
“Sehingga diperlukan dukungan penguatan kompetensi baik saat preservice yaitu saat pendidikan dan lulus pendidikan dokter, maupun inservice yaitu refreshing atau penyegaran dan penambahan kompetensi yang diperlukan sesuai kebutuhan pelayanan Kesehatan.”
Dalam pelaksanaan peran tersebut, dibutuhkan dukungan kebijakan dan regulasi yang lebih tinggi untuk lebih mempercepat upaya kolaborasi dan integrasi intervensi baik sensitif maupun spesifik. Juga regulasi dalam pemberian kewenangan untuk peran masing masing profesi dan regulasi tentang pembiayaan pelayanan yang disesuaikan dengan keekonomiannya.
“Kami semua berharap dengan pelaksanaan dan didukung dengan regulasi yang tepat, kualitas pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Indonesia dapat optimal,” pungkasnya.
Advertisement