Liputan6.com, Jakarta - Provinsi Papua Tengah belum mempunyai laboratorium (lab) pemeriksa campak. Merujuk informasi Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), sampel dari kasus suspek campak harus diterbangkan jauh ke Pulau Jawa, salah satunya ke Surabaya, Jawa Timur.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi membenarkan, bahwa Papua Tengah belum mempunyai lab pemeriksa campak. Kondisi ini menunjukkan, tidak semua provinsi memiliki lab yang dapat melakukan pemeriksaan sampel untuk virus campak.
Baca Juga
Sampel yang diperiksa berasal dari pelaporan kasus suspek campak. Pada suspek campak, artinya pasien sudah menunjukkan gejala campak, namun belum terkonfirmasi, apakah positif atau tidak.
Advertisement
“Untuk sampel (campak) dari Papua dikirimkan ke Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Surabaya. Provinsi Papua Tengah belum memiliki laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan spesimen campak,” ungkap Nadia saat dihubungi Health Liputan6.com melalui pesan singkat, ditulis Selasa, 14 Maret 2023.
Dari hasil pemetaan Kemenkes, Nadia menyebut laboratorium di beberapa daerah yang mempunyai kemampuan pemeriksa virus campak. Tercatat, hanya ada 7 daerah di Indonesia yang mampu melakukan pemeriksaan sampel campak.
Laboratorium pemeriksa sampel virus campak pun sudah tersertifikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Pemeriksaan sampel untuk campak dilakukan di laboratorium-laboratorium yang dapat melakukan dan sudah tersertifikasi WHO, yaitu di Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Palembang, Makassar, dan Banjarbaru,” ujar Nadia.
15 Kematian Campak di Papua Tengah
Peningkatan kasus campak di Papua Tengah terjadi pada 83 anak, yang mana 15 di antaranya, meninggal dunia. Informasi ini sebagaimana data yang dihimpun Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada 11 Maret 2023.
Dokter spesialis anak klinis, Anggraini Alam dari Unit Kerja Koordinasi Infeksi dan Penyakit Tropik IDAI menyampaikan, campak termasuk penyakit yang paling menular. Tanda-tanda menular bisa saja selang empat hari sebelum muncul merah-merah di kulit sampai memudar merah-merahnya di kulit.
"Penularannya sangat panjang karena bisa melalui kita bicara, bersin, batuk ditularkan kepada yang rentan tidak ada daya tahan tubuh terhadap campak," ujar Anggraini saat Media Briefing bertajuk, Mengapa Difteri dan Campak Harus Diwaspadai, Jumat (10/3/2023).
Lebih lanjut, Anggraini mengatakan, kematian 15 anak karena campak di Papua Tengah ibarat fenomena gunung es.
"Yang meninggal itu yang terlaporkan sekian, nah sangat mungkin lebih banyak lagi, apalagi kondisi di Papua ini jauh-jauh di hutan, sulit transportasinya. Bahkan untuk menanganinya Papua Tengah ini butuh bantuan logistik transportasi udara alias pesawat," katanya.
Pada hasil konfirmasi positif campak, Anggraini menambahkan, sampel diperiksa di laboratorium-laboratorium di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Tak hanya angka kematian, kasus suspek dan konfirmasi campak meningkat.
“Naiknya itu enggak kira-kira, sampai 36 kali lipat konfirmasi campak antara 2021 ke 2022, untuk yang suspek 7 kali lipat naiknya di periode yang sama,” tambahnya.
Advertisement
Penguatan Surveilans Campak
Pada konferensi pers Januari 2023, Direktur Pengelolaan Imunisasi Kemenkes RI Prima Yosephine mengatakan, Pemerintah melakukan penguatan surveilans campak dan rubella.
“Jadi kasus yang diduga campak rubella, yaitu pasien yang mengalami demam dan ruam-ruam, harus diambil spesimennya dan diperiksa di laboratorium,” katanya di Jakarta.
“Penguatan surveilans dilakukan dengan segera menemukan kasus suspek campak rubella dan segera melaporkan supaya pasien dapat penanganan segera dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.”
Disebutkan pula Pemerintah menargetkan eliminasi campak rubella pada tahun 2023. Namun, dengan adanya kasus campak yang kembali merebak sejak awal 2023 ini, maka akan dinilai sulit terwujud eliminasi tersebut.
“Pemerintah menargetkan eliminasi campak rubella tahun 2023 secepatnya. Eliminasi itu adalah suatu keadaan di mana kita bisa menekan sedemikian rupa angka dari kesakitan akibat campak ini, sehingga tentu tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat lagi,” ucap Prima.
“Tapi dengan adanya kenaikan kasus campak di negara kita tentu mimpi untuk mencapai eliminasi ini menjadi agak sulit untuk bisa merealisasikannya tahun ini.”
Prima memaparkan sepanjang tahun 2022, terjadi kenaikan jumlah kasus campak. Jumlah kasus ini diperoleh selama kurun waktu setahun dari Januari sampai Desember 2022.
Jika dibandingkan dengan tahun 2021 ada peningkatan yang cukup signifikan kurang lebih 32 kali lipat.
“Selama tahun 2022 yang lalu jumlah kasus campak yang ada di negara kita memang cukup banyak, lebih dari 3.341 laporan kasus. Kasus-kasus ini menyebar di 223 kabupaten/kota di 31 provinsi,” papar Prima.
Penyebab kenaikan kasus campak di atas karena sudah dua tahun berturut-turut Indonesia tidak bisa mencapai target untuk pelayanan imunisasi rutin. Sehingga banyak anak-anak yang tidak diimunisasi rutin akibat COVID-19.