Sukses

Menkes Budi Ungkap Harga Obat Mahal di Indonesia Bukan karena Pajak

Penyebab harga obat di Indonesia lebih mahal ketimbang di luar negeri bukan karena pajak.

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa waktu lalu, santer diberitakan soal harga obat di Indonesia tergolong mahal lantaran pengaruh dikenakan pajak yang tinggi. Kondisi ini berbeda dengan di luar negeri, yang mana obat tersebut terbilang murah jika dibandingkan di dalam negeri.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin membeberkan bahwa bukan pajak yang menjadi penyebab harga obat mahal di Indonesia, melainkan terdapat pengaruh sales and marketing expenses atau istilahnya biaya penjualan dan pemasaran.

Biaya penjualan dan pemasaran adalah biaya total yang dihabiskan perusahaan dan produk di pasar untuk penjualan. Penghitungan ini berbeda dengan pajak pada umumnya. Meski sama-sama dalam angka persentase, persentase sales and marketing expenses bisa di angka melebihi 200 persen.

“Kalau pajak kan bedanya persen dong, 20 persen, 30 persen. Kalau di Indonesia, di sana (harganya) 1.000, di sini 4.000 itu kali kan bukan persen. Kalau pajak tuh beda 30 persen, 40 persen, kalau bedanya 400 persen, 500 persen, itu pasti bukan pajak,” ungkap Budi Gunadi saat acara 'Public Hearing RUU Kesehatan Bersama dengan Organisasi Profesi' yang diikuti Health Liputan6.com di Gedung Kementerian Kesehatan RI Jakarta, Rabu (15/3/2023).

“Kita panggil perusahaannya farmasi, kenapa begini? Bukan pajak, itu namanya sales and marketing expenses.”

Pengaruh Sales and Marketing Expenses

Ditegaskan kembali oleh Budi Gunadi, harga obat di Indonesia mahal dipengaruhi biaya sales and marketing expenses. Ini karena ada sejumlah aktivitas atau kegiatan penjualan obat yang harus diselesaikan, sehingga harga obat menjadi mahal.

“Kenapa obat-obatan masih mahal? Karena ada sales and marketing expenses. Kenapa sih sales and marketing expenses bikin mahal? Ada beberapa aktivitas yang mesti diberesin ya,” terangnya.

2 dari 3 halaman

Bandingkan Harga Obat RI Versus Luar Negeri

Dalam melihat perbandingan harga obat di dalam dan luar negeri, Budi Gunadi Sadikin meminta bantuan salah satu Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik di Medan, Sumatera Utara untuk membandingkan harga.

Diakui pihak rumah sakit memang terdapat obat yang dibeli dari luar negeri dengan menggunakan jasa penitipan (jastip) obat. Melalui jastip obat, perbandingan harga obat di dalam dan luar negeri bisa terlihat. 

Bahwa harga obat lebih murah dari luar negeri ketimbang di dalam negeri. Terlebih lagi, ada beberapa obat jastip yang mana jenis obat tersebut tidak tersedia di Indonesia. Contohnya, obat kanker.

“Saya diprotes sama Yayasan Kanker Anak Indonesia (YKAI), Pak, obat yang namanya 6mp enggak ada di sini, ada obat cancer (kanker) ini di Malaysia harga segini, kita segini semuanya lebih mahal dan nyalahin pajak,” jelas Menkes Budi Gunadi.

“Saya minta Rumah Sakit Adam Malik, eh bisa bandingin harga obat gimana caranya? Pak, di sini ada jastip, jasa titip obat. Beli obat kadang di sana (luar negeri) harganya murah.”

Minta Bon Pembelian Obat Jastip

Budi Gunadi menekankan, adanya jastip obat dengan harga obat di luar negeri lebih mahal sudah dicek oleh dirinya. Ia juga meminta bon pembelian obat dari hasil jastip obat.

Untuk konfirmasi lanjutan harga obat, Budi Gunadi juga menanyakan kepada beberapa orang dan meminta daftar jastip obat apa saja yang dibeli beserta harganya.

“Saya tanya ke satu orang, dua orang, tiga orang, empat orang gitu, nanti dikiranya Menkesnya bohong lagi. Lalu pada keluarin list (daftar) jastip. Ada harga obatnya, keluarin bonnya biar pasti ini belinya, bandingin sama harga Indonesia deh,” jelasnya.

3 dari 3 halaman

Obat dari Jastip Tak Bisa Dipertanggungjawabkan

Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono sebelumnya mengimbau masyatakat agar tidak membeli obat melalui jasa titip (jastip). Sebab, obat-obatan yang dibeli melalui jasa titip tidak bisa dipertanggungjawabkan. 

Adapun pesan ini disampaikan Dante menanggapi adanya fenomena jasa titip obat di Sumatera Utara (Sumut) yang disebut oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. 

"Masyarakat enggak boleh menggunakan jastip ini apalagi untuk obat-obatan, karena tidak bisa dipertanggungjawabkan," kata Dante di sela-sela Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2023 di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Kamis (23/2/2023).

Aman Beli Obat di Dalam Negeri

Menurut Dante, membeli obat di dalam negeri jauh lebih aman karena ada Nomor Izin Edar (NIE) yang telah diterbitkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Untuk mendapatkan izin edar, perusahaan farmasi memerlukan beberapa persyaratan, salah satunya uji mutu sehingga bahan baku obat sudah sesuai standar keamanan. 

Syarat di atas, belum tentu didapat ketika membeli obat melalui jastip dari luar negeri. 

"Perlu uji mutu. (Kalau beli di luar negeri) walaupun mereknya sama, tapi kalau kita identifikasi maka kita lihat akan ada mungkin campurannya berbeda," sambung Dante.

Di sisi lain, Dante menuturkan, perbedaan bahan baku obat sempat terjadi dalam kasus gagal ginjal akut (Acute Kidney Injury/AKI) yang marak sejak tahun 2022. Dalam kasus tersebut, bahan baku obat yang semula hanya zat pelarut tambahan seperti propilen glikol, polietilen glikol, gliserin/gliserol maupun sorbitol diganti dengan zat beracun etilen glikol dan dietilen glikol (EG/DEG). 

"Itu obatnya sama parasetamol (cair), isinya tapi campurannya berbeda. Nah, itu mungkin ada obat yang kandungannya sama, tapi belum tentu bisa dipertanggungjawabkan secara scientific dan secara legal di dalam aturan dan di dalam sortiran regulasi," tutup Dante.