Sukses

Dokter Ingatkan, Ngorok Bukan Tanda Tidur Nyenyak

Ternyata, ngorok atau mendengkur saat tidur bukan berarti tidur nyenyak. Menurut dokter spesialis paru, mendengkur merupakan salah satu gejala gangguan tidur sleep apnea.

Liputan6.com, Jakarta - Dokter spesialis paru konsultan, Andika Chandra Putra, mengatakan banyak orang salah kaprah mengenai mendengkur atau ngorok (snoring) saat tidur. Kerap dianggap kalau seseorang ngorok artinya tidur nyenyak. 

Nyatanya tidak begitu. Ngorok adalah tanda ada penghambatan pernapasan. 

“Dalam masyarakat kita, (banyak) yang menyatakan kalau snoring atau mendengkur menunjukkan bahwa tidurnya nyenyak sekali, padahal itu menunjukkan sudah terjadi penghambatan pernapasan,” ungkap dokter yang praktik di Rumah Sakit Yarsi Jakarta itu. 

Ia menjelaskan, mendengkur disebabkan oleh jalan napas yang menyempit dan kemudian mengeluarkan vibrasi pada saluran napas.

Adapun penyempitan jalan napas dapat terjadi karena penumpukan lemak di leher sebagai jalan napas. “Seiring dengan bertambahnya umur, maka risiko penumpukan lemak di jalan napas kita dapat menyebabkan penyempitan jalan napas,” terangnya dalam diskusi edukasi mengenai pentingnya tidur untuk kesehatan dalam rangka memperingati hari Hari Tidur Sedunia (World Sleep Day) yang jatuh pada 17 Maret 2023.

Ngorok Bisa Jadi Tanda Ada Gangguan Apnea Tidur 

Lebih lanjut, Andika menjelaskan, mendengkur dapat menjadi tanda adanya gangguan obstructive sleep apnea (OSA) atau apnea tidur.

Sleep apnea ini artinya (keadaan) tidak bernapas secara berulang sewaktu tidur. Terjadinya itu sekurang-kurangnya selama 10 detik, dan itu bisa terjadi sampai 5 menit, bahkan lebih lama,” ia menambahkan.

Menurutnya, penurunan kadar oksigen yang terjadi pada apnea tidur dapat berdampak pada kesehatan jangka panjang.

2 dari 3 halaman

Obesitas Berkaitan Erat dengan Sleep Apnea

Risiko sleep apnea yang paling sering diabaikan adalah obesitas, mengutip Andika. 

Ia menekankan, saat ini terjadi “pandemi obesitas”, yaitu kenaikan obesitas yang berkaitan erat dengan kondisi pandemi COVID-19. Hal ini disebabkan oleh keadaan pandemi yang mengurangi produktivitas.

“Dua atau tiga tahun lalu kita selalu ada di rumah, prevalence untuk obesitas itu juga meningkat,” jelasnya.

Oleh karena itu, Andika juga menyarankan masyarakat untuk melakukan skrining.

“Dengan skrining, kita bisa menentukan kemungkinan risiko OSA. Kemudian, kita buktikan dengan pemeriksaan tes tidur dengan polisomnografi,” pungkas dokter lulusan Hiroshima University Jepang tersebut.

Tak hanya obesitas, ia juga mengungkap beberapa penyebab apnea tidur lainnya, seperti bentuk rahang yang menyebabkan terganggunya jalan napas. 

“Amandel yang besar dan bentuk lidah yang panjang juga bisa menghambat jalan napas,” ia menambahkan.

Dengan beragam penyebab gangguan ini, dokter tersebut menyarankan pasien untuk mencari penyebabnya terlebih dahulu sebelum menemukan cara untuk mengatasi.

3 dari 3 halaman

Kurangi Mendengkur dengan Olahraga Aerobik

Untuk mengurangi dengkuran dan mencegah sleep apnea, Andika menyarankan untuk rajin berolahraga secara teratur, terutama dengan aerobik. Sebab, selain meningkatkan kualitas tidur, aerobik juga bermanfaat mengurangi lemak tubuh.

“Secara umum, olahraga apa pun terutama aerobik yang juga tujuannya untuk mengurangi obesitas, itu sangat dianjurkan,” ucap Andika memberi jawaban kepada Health Liputan6.com dalam acara tersebut.

Selain olahraga, ia juga menganjurkan untuk mengurangi konsumsi makanan berkolesterol.

“Pada pasien-pasien OSA, (mengurangi) makanan-makanan yang sifatnya kolesterol itu akan sangat mempengaruhi,” terangnya.