Liputan6.com, Jakarta - Di balik kematian kanker payudara yang tinggi di Indonesia, ternyata hanya ada 200 alat deteksi kanker payudara atau yang disebut mammogram/mammografi dari total 3.100 rumah sakit (RS). Minimnya mammogram berujung pada deteksi kanker payudara menjadi terlambat, bahkan pasien tidak tertolong nyawanya.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin menyayangkan ketersediaan alat deteksi kanker payudara yang sangat minim di RS. Padahal, salah satu upaya pencegahan yang efektif adalah deteksi dini sehingga jika ada potensi kanker dapat ditangani segera.
Baca Juga
"Kanker payudara paling tinggi kematiannya, saya tanya (ke pakar) deteksinya gimana? Yang benar secara klinis pakai mammografi Pak. Oke. Mammografi kan mesti dilakukan di rumah sakit, itu ada alatnya berapa dari 3.100 rumah sakit yang punya mammogram? 200 (alat) Pak," kata Menkes Budi Gunadi saat acara 'Public Hearing RUU Kesehatan Bersama dengan Organisasi Profesi' yang diikuti Health Liputan6.com di Gedung Kementerian Kesehatan RI Jakarta belum lama ini.
Advertisement
"Lho enggak sampai 10 persen, gimana mau deteksi? Pantas kematiannya tinggi. Saya bilang kenapa masalah itu enggak pernah diurus padahal sudah 77 tahun Indonesia Merdeka. Hal yang sama enggak diurus," Budi menambahkan.
70 Persen Pasien Kanker Payudara Stadium Lanjut
Tercatat dalam data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI per Oktober 2022, sebanyak 2,3 juta perempuan di dunia didiagnosis kanker payudara. Di Indonesia, jumlah pengidap kanker payudara diperkirakan bertambah sekitar 65.000 kasus baru setiap tahun.
Lebih tepatnya, tahun 2020, kasus baru kanker payudara mencapai 65.858 kasus dan jumlah kematian 22.430 orang di Indonesia. Kemudian sekitar 60 sampai 70 persen pasien kanker payudara di Indonesia didiagnosis pada stadium lanjut (III dan IV).
Kematian Akibat Kanker Payudara di Indonesia Capai 70 Persen
Dalam penanganan kanker payudara, Budi Gunadi Sadikin juga bertanya kepada ahli kanker terkait tingkat kematian. Disebutkan tingkat kematian kanker payudara mencapai 70 persen di Indonesia.
"Breast cancer (kanker payudara) paling banyak. Saya tanya ke para ahli, profesor ahli brace cancer, fatality rate-nya (tingkat kematiannya) gimana di Indonesia? 70 persen Pak meninggal,” dia melanjutkan.
"Saya balik tanya, lho kenapa itu? Penyakit yang susah? Enggak kok Pak, itu cancer is curable (kanker dapat disembuhkan) dengan teknologi sekarang asal ketahuannya stadium I. Kalau ketahuan stadium III atau IV, 90 persen bisa meninggal. Jadi deteksinya harus dini. Cancer itu bukan pengobatan yang penting, tapi deteksinya mesti cepat," ujarnya.
Kasus Kanker di Indonesia
Secara umum, angka kasus kanker di Indonesia semakin naik. Pembiayaan penyakit kanker yang ditanggung Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia (JKN-KIS) BPJS Kesehatan kini menduduki ke posisi 2, sebelumnya nomor 3 dengan klaim pembiayaan tinggi.
“Cancer dulu rendah dan nomor 3, sekarang dia di BPJS sudah nomor 2 dengan (pembiayaan JKN) Rp4 triliun. Nomor 1 kan jantung Rp12 triliun, kemudian stroke Rp3 triliunan,” kata Menkes Budi Gunadi.
Tingkatkan Layanan Kanker, Bakal Pasang Radioterapi di 34 Provinsi
Demi mendorong peningkatan layanan kanker di fasilitas kesehatan layanan rujukan, Menkes Budi Gunadi Sadikin akan memasang alat radioterapi di 34 provinsi. Radioterapi adalah salah satu prosedur pengobatan kanker yang dilakukan dengan menggunakan paparan sinar-X.
"Saya tadi baru ngomong sama International Atomic Energy Agency. Kenapa? Karena saya mau pasang itu radioterapi di 34 provinsi seluruh Indonesia. Ini untuk cancer," katanya.
“Ya mahal, saya mau pasang PET scan aja susah sekarang. Orang Indonesia aja di Jakarta susah pakai PET (Positron Emission Tomography) scan. Gimana bisa segala macam orang di Sulawesi, misalnya, masa harus dibawa ke Jakarta dulu, antrean panjangnya minta ampun," Menkes Budi menambahkan.
Advertisement
Penuhi Mammografi, USG dan CT Scan untuk Deteksi Kanker Paudara
Dari segi peralatan medis, Kemenkes berupaya memenuhinya berdasarkan jenis kanker yang paling banyak diderita masyarakat. Saat ini, Kemenkes berupaya memenuhi alat deteksi dini untuk penanganan kanker pada wanita, pria maupun anak.
Di antaranya, ada mammografi dan USG di 514 kabupaten/kota untuk deteksi dini kanker payudara dan kanker serviks pada perempuan, pemenuhan CT Scan di 514 kabupaten/kota untuk deteksi dini kanker kolorektoral pada laki-laki, serta pemenuhan 10.000 hematoanalyzer untuk mendeteksi kelainan darah putih pada anak-anak.
"Kanker payudara paling banyak diderita perempuan, kami sudah memasang 6.000 USG. Mudah-mudahan, 10.000 USG bisa kita penuhi tahun ini," terang Menkes Budi Gunadi Sadikin saat acara ‘Fun Walk, Peringatan Hari Kanker Sedunia’ di Jakarta pada 19 Februari 2023.
"Kedua, ada serviks, kami sudah wajibkan vaksinasi HPV. Testingnya nanti kita geser dari tes IVA dan pap smear ke HPV DNA. Ini untuk pencegahan.”
Daerah Harus Mampu Bedah Onkologi
Tak hanya upaya preventif melalui skrining kesehatan, Kemenkes juga mendorong seluruh daerah mampu melakukan perawatan dan pengobatan kanker. Hal ini melihat banyak pasien kanker yang melakukan pemeriksaan sudah dalam stadium lanjut.
“Kami mendorong agar 514 kabupaten/kota mampu melakukan bedah onkologi dan kemoterapi serta 34 provinsi bisa melakukan radioterapi,” pungkas Budi Gunadi.
Dari segi tenaga kesehatan, Budi Gunadi berupaya mempercepat pemenuhan tenaga kesehatan yang bermutu dan berkualitas di seluruh fasyankes di Indonesia melalui beberapa program khusus seperti pengiriman dokter spesialis adaptan luar negeri, penugasan khusus, dan program pengampuan.
Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) sebagai salah satu organisasi profesi yang dekat dengan layanan di atas diminta Menkes Budi untuk membantu Pemerintah dalam penyediaan tenaga kesehatan yang dibutuhkan.
Perkuat Deteksi Dini Kanker
Menkes Budi Gunadi Sadikin berharap upaya Pemerintah untuk memperkuat deteksi dini penyakit kanker, dapat menekan jumlah kesakitan dan kematian akibat kanker.
“Di Puskesmas nantinya akan ada 10.000 USG yang akan digunakan untuk deteksi dini kanker payudara, sehingga delay of diagnosis (keterlambatan diagnosis) harapannya bisa kita kurangi," pungkasnya.
“Ini tentunya tidak terlepas dari peran teman-teman di rumah sakit, saatnya kita duduk bersama untuk mendukung pemerintah melakukan reformasi layanan kanker yang lebih baik."
Ketua Umum Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI), Cosphiadi Irawan mengatakan, di tahun 2020 setidaknya ada sekitar 10 juta penduduk dunia yang meninggal akibat kanker. Dari tahun ke tahun, jumlah ini dilaporkan terus meningkat dan di tahun 2023 diperkirakan ada sekitar 13 juta kematian akibat penyakit berbahaya ini.
Rendahnya Deteksi Dini Kanker
Cosphiadi membeberkan tingginya angka kematian kanker tersebut disebabkan oleh pola hidup yang kurang sehat, misal konsumsi makanan cepat saji, kurang aktivitas fisik, merokok, dan minum alkohol.
Kebiasaan buruk di atas diperparah dengan rendahnya kesadaran masyarakat untuk melakukan deteksi dini. Pada stadium awal, kanker tidak menunjukkan gejala sehingga seringkali tidak disadari oleh penderita. Akibatnya, banyak kasus kanker yang terdeteksi pada stadium lanjut.
“Kebiasaan ini menyumbang hingga 30 persen, karena itu deteksi dini sangat penting untuk pencegahan,” ungkap Cosphiadi.
Advertisement