Sukses

Anak dengan Rentang Usia Ini Paling Mungkin Alami Trauma karena Perceraian Orangtua

Psikolog mengungkap, anak yang paling mungkin mengalami trauma yang lebih parah karena perceraian orangtua adalah usia 3 hingga 15 tahun.

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa situasi masalah rumah tangga membuat keputusan bercerai dirasa menjadi pilihan terbaik. Namun, sama seperti semua pilihan, bercerai juga memiliki konsekuensi. Salah satunya, bisa memberikan trauma kepada anak. 

Adapun reaksi trauma anak orangtua bercerai (atau kerap disebut broken home) bisa berbeda-beda tergantung usianya, seperti melansir laman Fatherly

Mulai Usia 3 Tahun, Anak Paham Pentingnya Kehadiran Orangtua

Banyak psikolog mengungkap, anak berusia 3 hingga 15 tahun paling mungkin mengalami trauma yang lebih parah. Sedangkan, potensi trauma emosional terparah dapat muncul sekitar usia 11 tahun.

Sebab, pada usia setelah 3 tahun, anak telah memahami pentingnya kehadiran kedua orangtua dalam hidup mereka. 

Tak hanya itu, mereka telah mengembangkan cinta kepada orangtua dan keluarga sebagai satu kesatuan pada usia demikian. Di saat yang sama, mereka juga masih ketergantungan dan memikirkan diri sendiri. Hal ini menyebabkan anak bisa sangat terpengaruh sampai trauma dengan perceraian orangtua.

Pertengkaran Orangtua adalah Mimpi Buruk Anak

Seorang psikolog anak, Scott Carroll, membeberkan bahwa pertengkaran orangtua bisa menjadi mimpi buruk bagi anak. Bahkan, disebut sebagai bagian tersulit yang dihadapi anak.

“Perceraian itu sendiri bukan hal tersulit. Bagian terberat adalah pertengkaran,” pungkasnya.

Lebih lanjut, Scott mengungkap, anak bisa mengalami trauma yang lebih parah ketika pertengkaran terjadi di depan mereka. Tak hanya itu, yang terburuk adalah ketika orang tua hanya berkomunikasi dengan satu sama lain melalui anak.

“Maka dari itu, jika pertengkaran terlalu sering, terkadang perceraian justru membuat semua pihak lega,” ia menerangkan.

2 dari 4 halaman

Beranjak Usia 12 Tahun, Anak Bisa Salahkan Diri Sendiri

Selama usia remaja, dampak dari perceraian orangtua masih dapat dirasakan oleh anak. Hal ini terlepas dari sejak kapan perceraian terjadi, seperti melansir Very Well Family.

Namun, pada usia ini, anak yang telah memiliki kemandirian cenderung menjauhkan diri dari orang tua. Sebab, mereka berada di fase bertanya-tanya, sehingga sering kali menyalahkan diri sendiri.

Berkomunikasi dengan Remaja Jadi Sebuah Tantangan

Menurut seorang dokter anak di Carolina Utara, David Hill, komunikasi yang terbuka merupakan hal yang sulit bagi anak remaja. 

“Sering-sering tanyakan kabar mereka dan berikan ruang untuk mereka menjawab sejujurnya. Normalisasilah jika anak Anda tidak baik-baik saja,” tambah dokter sekaligus dosen di University of North Carolina tersebut.

Kemudian, ia juga menyarankan untuk  mengajak anak pergi ke konseling ataupun terapi keluarga. 

“Lihatlah apabila berkomunikasi dengan orang lain dapat bermanfaat untuknya. Konseling di sekolah, lingkaran pertemanan dengan remaja yang menghadapi perceraian orangtua, dan terapi keluarga juga dapat membantu,” jelasnya.

3 dari 4 halaman

Dilema Ketika Ditanya, Pilih Ayah atau Ibu?

Sebelum memutuskan bercerai, orang tua biasanya bertanya kepada anak ingin memilih ayahnya atau ibunya. Pertanyaan ini dapat menyebabkan dilema dan trauma kepada anak, seperti melansir Huffington Post.

Banyak orang tua yang memutuskan memilih jalan tengah, yaitu membagi jadwal bertemu anak. Misalnya, 3 hari anak di rumah ibu, 4 hari di rumah ayah. 

Namun, perlu diketahui bahwa taktik yang menguntungkan di dua sisi ini melelahkan untuk sang anak. Ia harus berpindah ke satu rumah ke rumah lain dalam waktu singkat. Hal ini bisa membuatnya tumbuh dewasa dengan sikap dan perilaku yang tak konsisten.

Sebab, dirinya pun merasa tidak pernah menemukan rumahnya sendiri. Selain itu, ia tidak merasakan hubungan antar orangtua dengan anak yang stabil. 

4 dari 4 halaman

Pilihan Tinggal Sendiri

Bagi anak orangtua yang bercerai, hidup sendiri tentu menguntungkan, tetapi hanya untuk anak yang sudah berusia dewasa. Pilihan ini sangat tidak dianjurkan bagi korban perceraian yang masih berusia muda. Sebab, mereka belum stabil secara emosional dan mental untuk tinggal sendiri.

Terlebih, melepaskan anak di usia muda dapat meningkatkan potensi anak terjerumus kepada hal-hal negatif.

Tinggal dengan Orang Lain

Pilihan ini mungkin terdengar bijaksana bagi orang tua agar adil untuk kedua pihak. Namun, hal ini akan membuat anak merasa dirinya sama sekali tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya, terutama untuk anak kecil.

Tak hanya itu, ketika beranjak dewasa anak akan tumbuh dengan tidak mengenal kasih sayang orang tua. Tentunya, meski bercerai, risiko ini tidak diinginkan kedua orang tua.