Liputan6.com, Jakarta Setiap tahunnya, Hari Tuberkulosis Sedunia selalu diperingati. Dalam perayaannya tahun ini, salah satu bahasan menarik berkaitan dengan banyaknya temuan pasien tuberkulosis (TBC) yang ternyata lebih mengikuti kata-kata mantan pasien penyakit ini.
Anggota Kelompok Kerja Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr Tutik Kusmiati, SpP(K) mengungkapkan bahwa yang menjadi tantangan dalam mengobati pasien TBC adalah kebanyakan pasien lebih nurut pada mantan pasien, ketimbang dokter yang merawatnya.
Baca Juga
"Tantangan yang besar buat kita. Ini menunjukkan bahwa dokter perawat tidak bisa berdiri sendiri. Jadi butuh dukungan dari masyarakat, dan yang paling penting dari pengalaman saya, pengalaman kami semua, peran dari mantan pasien itu sangat penting," ujar Tutik dalam konferensi pers PDPI bertajuk Hari Tuberkulosis Sedunia secara daring, Jumat (24/3/2023).
Advertisement
"Jadi banyak mereka yang nurut kalau dibilangin sama mantan pasien, dibandingkan sama dokternya. Mereka percaya kalau mantan pasien yang bilang, karena mantan pasien pernah mengalami," tambahnya.
Dukungan Mantan Pasien TBC Sangat Besar Pengaruhnya
Tutik mengungkapkan bahwa hal tersebut berlaku pada efek samping obat yang kemungkinan akan dialami pasien. Jika mantan pasien sudah memberikan arahan dan dukungan, maka pasien TBC biasanya akan lebih percaya.
"Misalnya ada efek samping a, b, c, harus tetap semangat, nanti bisa sembuh. Itu justru peran mantan pasien sangat besar. Ada namanya paguyuban mantan pasien ya, hampir di semua rumah sakit yang ada TB kebal obatnya itu ada," kata Tutik.
Peran Pemuka Masyarakat untuk Bantu Tangani TBC
Lebih lanjut Tutik mengungkapkan bahwa selain peran dari mantan pasien, peran dari pemuka masyarakat dinilai penting untuk menyadarkan para pasien TBC yang masih enggan untuk berobat.
"Selain peran dari mantan pasien, kemudian juga pemuka masyarakat mungkin kita butuh bantuan mereka untuk menyadarkan orang-orang seperti ini," ujar Tutik.
Tutik menambahkan, saat memberikan edukasi terkait TBC, penting pula untuk mengingatkan bahwa TBC yang dialami pasien tidak hanya berdampak pada diri pasien sendiri, melainkan dapat menularkan ke orang lain.
"Jangan lupa pada saat edukasi tidak hanya untuk kepentingan si pasien saja, bahwa pengobatan ini diperlukan untuk menjaga kesehatan dari keluarga intinya," kata Tutik.
"Jadi kalau bapak ibu sayang kepada anak, istri, cucu, neneknya, maka harus mau diobati karena kalau tidak mau diobati nanti mereka otomatis bisa tertular," tambahnya.
Advertisement
Dampak Pandemi COVID-19 untuk Pasien TBC
Dalam kesempatan yang sama, Tutik mengungkapkan bahwa Indonesia masih menjadi negara penyumbang kasus TBC terbanyak di dunia. Indonesia bahkan menempati posisi kedua.
"Jadi dari 2 per 3 kasus TBC disumbang oleh delapan negara dimana nomor duanya adalah Indonesia. Kita menempati nomor dua setelah India. Ini adalah PR yang sangat besar untuk kita semuanya," ujar Tutik.
Sekretaris Kelompok Kerja Infeksi PP PDPI, DR dr Irawaty Djaharuddin SpP(K) yang turut hadir mengungkapkan bahwa pandemi COVID-19 sendiri ikut berperan dalam peningkatan kasus TBC. Tak hanya di Indonesia, maupun global.
"Secara global, bukan hanya di Indonesia pada musim pandemi kemarin, pasien itu takut datang ke fasilitas kesehatan. Takut tertular, kemudian kondisi yang kurang aman di rumah sakit, itu hampir semua pasien yang dirawat adalah COVID-19. Otomatis itu akan memengaruhi pengobatan TB yang tertunda," kata Irawaty.
Tingginya Kasus TB Jadi Bukti Case Finding yang Aktif
Menurut Irawaty, meskipun pasien TB mengalami dampak selama pandemi COVID-19, masih ada hal baik yang ditemukan. Pasalnya, kasus TB yang tinggi turut menunjukkan case finding (penemuan kasus) yang sebenarnya aktif.
"Dalam sisi lain, tingginya angka kasus TB harus kita lihat sebagai sesuatu yang berarti aktif finding-nya atau penemuan kasusnya juga itu sudah cukup tinggi. Jadi ada dua hal," ujar Irawaty.
Irawaty mengungkapkan bahwa TB memang masih menjadi ancaman kesehatan di dunia. Sedangkan Indonesia pun kini masih berjuang mengeliminasi TB secara nasional pada 2035.Â
Advertisement