Liputan6.com, Jakarta - Tuberkulosis (TBC) masih menjadi ancaman kesehatan dunia, termasuk di Indonesia. Pada 2022, kasus TBC Indonesia menempati peringkat kedua negara tertinggi di dunia setelah India.
Kasus TBC di Indonesia tinggi padahal sedang berjuang dan berkomitmen untuk mencapai target dan strategi eliminasi TBC nasional pada tahun 2030.
Baca Juga
Indonesia punya target menurunkan angka laju insiden TBC menjadi 65 per 100.000 penduduk dan menurunkan angka kematian tuberkulosis menjadi 6 per 100.000 penduduk.
Advertisement
Akan tetapi, masih banyak kendala yang ditemui di lapangan dalam upaya eliminasi TBC. Salah satu adalah rendahnya case detection rate seperti diungkapkan dokter spesialis paru konsultan Irawaty Djaharuddin.
Menurut Irawaty, hal pertama yang harus dilakukan untuk meningkatkan case detection rate adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai gejala TBC melalui edukasi.
Edukasi dapat diberikan melalui media sosial dan elektronik sebagai sarana edukasi terbaik saat ini. Hal tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk seluruh anggota perhimpunan.
“Diharapkan melalui edukasi, masyarakat yang memiliki gejala lebih sadar untuk cepat datang memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan,” tutur Irawaty pada press conference virtual Hari Tuberkulosis Sedunia 2023 yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) pada Jumat, (24/3/2023).
Active Case Finding
Langkah kedua yang dapat dilakukan yaitu dengan active case finding.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa masih ada stigma negatif masyarakat mengenai TBC. Tak sedikit masyarakat yang takut atau malu untuk memeriksa diri dan didiagnosis TBC karena adanya stigma. Di sinilah peran active case finding dibutuhkan.
“Penemuan kasus secara aktif dapat dilakukan bekerjasama dengan fasilitas kesehatan tingkat pertama melalui kegiatan posyandu, poskesdes, program ketuk pintu, jemput bola, dan lain sebagainya,” ungkap Irawaty.
Irawaty menambahkan, dibutuhkan pula kegiatan mengenai TBC yang melibatkan masyarakat.
“Pelaksanaan kegiatan penanggulangan TBC yang melibatkan masyarakat luas, seperti pemberian penghargaan bagi desa dengan upaya penanggulangan TBC, serta lomba-lomba kreatif penanggulangan TBC mungkin dapat memberi sumbangsih pemikiran yang besar bagi program,” katanya.
Menurut Irawaty, pembuatan sistem seperti Peduli Lindungi (Satu Sehat) COVID-19 akan sangat mempermudah penemuan kasus TBC. Hal ini dapat membantu masyarakat untuk self reporting dan memberikan petunjuk alur pengobatan.
Advertisement
Tingginya Morbiditas dan Mortalitas TBC dengan Komorbid
Tuberkulosis dengan penyulit atau komorbid sering terjadi. Ini merupakan kasus yang sulit dan memerlukan perawatan lama, serta angka mortalitas yang tinggi.
“Edukasi juga menjadi hal yang penting melalui pemberian informasi kepada masyarakat bahwa TB yang berat, TB yang terlambat diobati, serta TB dengan komplikasi dan multiple komorbid dapat menyebabkan kematian,” jelasnya.
Irawaty menambahkan, diperlukan rehabilitasi sistem kesehatan. Pembuatan sarana dan prasarana untuk TBC dengan komplikasi atau komorbid sangat diperlukan, terutama di daerah atau rumah sakit yang belum memiliki fasilitas tersebut.
Mengenal Tuberkulosis dan Gejalanya
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kebanyakan TBC akan menyerang paru dan menyebabkan batuk yang berlangsung cukup lama. TBC menjadi penyumbang kematian karena infeksi terbanyak di dunia.
Penularan TBC dapat terjadi melalui droplet nuclei (percikan dahak yang mengandung Mycobacterium tuberculosis).
Gejala paling umum pada tuberkulosis paru di antaranya yakni batuk terus menerus selama lebih dari 2 minggu, dahak berwarna putih, berat badan turun atau menetap (setelah mendapat asupan makanan yang baik), selera makan turun, dan berkeringat pada malam hari.
Dalam kasus-kasus tertentu, tuberkulosis bisa disertai batuk berdarah dan sesak napas.
Advertisement