Sukses

Pasien TB Jalani Puasa, Begini Aturan Tepat Minum Obat

Pasien Tuberkulosis masih bisa menjalani puasa dan mengonsumsi obat dengan teratur.

Liputan6.com, Jakarta Pengobatan tuberkulosis (TB) biasanya akan berlangsung selama kurang lebih enam bulan. Selama periode tersebut, pasien diwajibkan untuk rutin mengonsumsi obat sesuai dengan anjuran yang telah diberikan.

Anda pun mungkin salah satu yang mempertanyakan aturan minum obat TB selama puasa. Lantas, bagaimana aturan obat TB diminum selama puasa agar efektif? Masih bisakah pasien TB menjalani puasa?

Pasien TB tentunya masih boleh menjalani ibadah puasa. Anggota Kelompok Kerja Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr Tutik Kusmiati menjelaskan bahwa umumnya obat TB hanya perlu diminum satu kali sehari.

"Pengobatan TB itu cukup satu kali dalam sehari. Jadi per 24 jam bisa diberikan pada saat sahur saja, atau pada saat buka saja. Jadi dipilih," ujar Tutik dalam konferensi pers PDPI bertajuk Hari Tuberkulosis Sedunia ditulis Senin, (27/3/2023).

"Jangan kadang (minum ketika) buka, kadang sahur. Harus konsisten," tambahnya.

Ada 2 Pilihan untuk Minum Obat TB

Tutik mengungkapkan bahwa pasien bisa menyesuaikan konsumsi obat TB dengan kemampuan masing-masing. Pasalnya, obat TB bisa dikonsumsi sebelum makan maupun sesudah makan.

"Pengobatan TB itu biasanya diberikan pada saat perut kosong satu jam sebelum makan atau dua jam sesudah makan kalau misal pasien tidak kuat perutnya masih kosong," kata Tutik.

Seperti saran Tutik, penting untuk mengingat bahwa kunci dalam meminum obat TB adalah konsisten. Sehingga untuk waktu dan aturannya, baik sesudah atau sebelum makan bisa disesuaikan dengan kenyamanan masing-masing.

Hal terpenting yang perlu diingat yakni konsisten saat mengonsumsi obatnya.

2 dari 4 halaman

Hal yang Masih Jadi Tantangan Pengobatan TB di RI

Dalam kesempatan yang sama, Tutik mengungkapkan apa yang masih menjadi tantangan dalam mengobati pasien TBC di Indonesia. Menurutnya, kebanyakan pasien lebih nurut pada mantan pasien, ketimbang dokter yang merawatnya.

"Tantangan yang besar buat kita. Ini menunjukkan bahwa dokter perawat tidak bisa berdiri sendiri. Jadi butuh dukungan dari masyarakat, dan yang paling penting dari pengalaman saya, pengalaman kami semua, peran dari mantan pasien itu sangat penting," ujar Tutik.

"Jadi banyak mereka yang nurut kalau dibilangin sama mantan pasien, dibandingkan sama dokternya. Mereka percaya kalau mantan pasien yang bilang, karena mantan pasien pernah mengalami," tambahnya.

Tutik mengungkapkan bahwa hal tersebut berlaku pada efek samping obat yang kemungkinan akan dialami pasien. Jika mantan pasien sudah memberikan arahan dan dukungan, maka pasien TBC biasanya akan lebih percaya.

"Misalnya ada efek samping a, b, c, harus tetap semangat, nanti bisa sembuh. Itu justru peran mantan pasien sangat besar. Ada namanya paguyuban mantan pasien ya, hampir di semua rumah sakit yang ada TB kebal obatnya itu ada," kata Tutik.

3 dari 4 halaman

Indonesia Jadi Salah Satu Negara Penyumbang TB Tertinggi

Saat ini, Indonesia masuk dalam daftar negara negara dengan kasus Tuberkulosis (TBC) tertinggi di dunia. Bahkan, menurut data Global Tuberculosis Report 2022, Indonesia berada di peringkat kedua kasus TBC tertinggi.

"Jadi dari 2 per 3 kasus TBC disumbang oleh delapan negara dimana nomor duanya adalah Indonesia. Kita menempati nomor dua setelah India. Ini adalah PR yang sangat besar untuk kita semuanya," ujar Tutik.

Sekretaris Kelompok Kerja Infeksi PP PDPI, DR dr Irawaty Djaharuddin SpP(K) yang turut hadir mengungkapkan bahwa pandemi COVID-19 sendiri ikut berperan dalam peningkatan kasus TBC. Tak hanya di Indonesia, maupun global.

"Secara global, bukan hanya di Indonesia pada musim pandemi kemarin, pasien itu takut datang ke fasilitas kesehatan. Takut tertular, kemudian kondisi yang kurang aman di rumah sakit, itu hampir semua pasien yang dirawat adalah COVID-19. Otomatis itu akan memengaruhi pengobatan TB yang tertunda," kata Irawaty.

4 dari 4 halaman

Case Finding TB Aktif di Indonesia

Menurut Irawaty, meskipun pasien TB mengalami dampak selama pandemi COVID-19, masih ada hal baik yang ditemukan. Pasalnya, kasus TB yang tinggi turut menunjukkan case finding (penemuan kasus) yang sebenarnya aktif.

"Dalam sisi lain, tingginya angka kasus TB harus kita lihat sebagai sesuatu yang berarti aktif finding-nya atau penemuan kasusnya juga itu sudah cukup tinggi. Jadi ada dua hal," ujar Irawaty.