Liputan6.com, Jakarta - Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menunjukkan, sejak 2010 hingga 2023 kasus diabetes melitus tipe 1 (DM tipe-1) pada anak meningkat 70 kali lipat.
Peningkatan kasus ini semakin memprihatinkan lantaran minimnya pemahaman terkait skrining, deteksi, pencegahan dini, dan penanganannya.
Baca Juga
Menurut President of Indonesian Pediatric Society Prof. Aman Bhakti Pulungan, terdapat dua kategori diabetes yang umumnya dijumpai. Yaitu diabetes mellitus tipe 1 dan diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe-2).
Advertisement
Diabetes tipe 1 disebabkan genetik dan autoimun yang bisa terjadi pada anak karena salah satu atau kedua orangtua memiliki diabetes. Sedangkan, diabetes tipe 2 biasanya terjadi akibat gaya hidup yang tidak sehat, berat badan yang berlebihan, dan kurangnya aktivitas fisik yang biasanya terdiagnosis pada usia pubertas atau lebih dewasa.
- Aman pun menyampaikan bahwa peran orangtua sangat penting dalam memerhatikan kondisi kesehatan anak. Orangtua dapat mendeteksi gejala diabetes yang paling umum seperti:
- Poliuri (meningkatnya frekuensi buang air kecil dengan volume banyak)
- Polidipsi (lebih sering merasakan haus dan ingin minum sebanyak-banyaknya)
- Polifagi (meningkatnya nafsu makan namun tidak disertai stamina).
“Walaupun diabetes bukan penyakit menular, tapi penyakit ini dapat mengakibatkan berbagai komplikasi dan gangguan pada tumbuh kembang anak,” kata Aman dalam temu media di Jakarta Pusat, Selasa (28/3/2023).
Masih Banyak Orangtua Belum Sadar
Aman menambahkan, banyak orangtua tidak menyadari bahwa pemeriksaan kesehatan dibutuhkan untuk mencegah terjadinya risiko kesehatan anak termasuk diabetes.
“Masih banyak orangtua yang belum sadar bahwa diabetes juga dapat menyerang anak-anak. Berdasarkan data global rata-rata usia anak yang terkena diabetes mellitus yaitu sekitar lima hingga sembilan tahun dan 10 hingga 14 tahun.”
“Namun, tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada usia di luar itu. Untuk menghindari risiko terburuk, gejalanya perlu dideteksi sejak dini,” tambahnya.
Advertisement
Sediakan Lingkungan dan Makanan Sehat untuk Anak
Ia menambahkan bahwa pengelolaan diabetes pada anak dan remaja sebenarnya sudah lama digaungkan melalui langkah kontrol glikemik dan kontrol metabolik.
Sayangnya, jumlah tenaga ahli dan kesadaran masyarakat terkait diabetes mellitus masih tergolong rendah.
“Jangan tunggu sakit dulu. Lebih pekalah mengenai kesehatan anak, periksakan kesehatan jika gejala terjadi, serta sediakan lingkungan dan makanan sehat untuk anak. Perhatikan kandungan gula yang dikonsumsi, jangan melebihi anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),” tandasnya.
Ia pun mengomentari soal minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang sering dikonsumsi anak-anak. Aman tidak menyebut bahwa penerapan cukai MBDK suatu keharusan, tapi pihak produsen memiliki kewajiban untuk mencantumkan kandungan gula di setiap kemasan.
“Kalau saya mengatakan saya tidak masalah, mau cukai atau tidak enggak masalah. Tapi, ada kewajiban dari industri berapa kalori dan jumlah gula yang ada dalam suatu makanan atau minuman kemasan,” kata Aman.
Kekhawatiran Nasional
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Prodia, Dewi Muliaty menyampaikan bahwa peningkatan kasus diabetes pada anak menjadi kekhawatiran nasional.
“Seperti yang kita ketahui, diabetes biasanya terjadi pada orang berusia 40 tahun ke atas, tapi beberapa tahun ke belakang ditemukan banyak kasus yang terjadi pada anak dan remaja, yaitu sedang dalam masa pertumbuhan, serta cenderung memiliki kebiasaan mengonsumsi makanan manis dan tidak bernutrisi,” kata Dewi.
“Tentunya, kecenderungan peningkatan kasus ini menjadi kekhawatiran nasional sehingga edukasi berkala pencegahan diabetes prematur pada anak-anak dan remaja perlu dilakukan.”
Sementara, Direktur Business & Marketing Prodia Indriyanti Rafi Sukmawati menyampaikan harapan agar edukasi soal diabetes dapat dilakukan terus-menerus. Edukasi dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya langkah preventif diabetes mellitus.
Advertisement