Sukses

Menkes Budi Bakal Kirim Dokter Konsulen ke Daerah yang Membutuhkan

Rencana mengirimkan dokter konsulen ke daerah yang membutuhkan untuk pendampingan kepada calon dokter spesialis.

Liputan6.com, Solo Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin akan mengirim dokter konsulen ke daerah yang membutuhkan. Upaya ini merupakan rencana pola desentralisasi untuk mempercepat produksi dokter spesialis di daerah.

Pendidikan dokter spesialis di Indonesia nantinya akan lebih didesentralisasi, yakni melalui Rumah Sakit (RS) yang ada di daerah setingkat kapubaten/kota. Pola desentralisasi nantinya bukan lagi calon dokter spesialis di daerah yang dikirim ke pusat untuk belajar, melainkan akan dikirimkan dokter konsulen ke daerah yang membutuhkan.

Pengiriman dokter konsulen sesuai dengan bidang keilmuannya untuk memberikan ilmu dan pendampingan kepada para calon dokter spesialis.

“Perubahan juga dilakukan dari pola rekrutmennya. Kita akan dorong dokter umum yang ingin punya spesialisasi untuk belajar langsung di rumah sakit asalnya," ujar Budi Gunadi saat menghadiri Rapat Kerja Kesehatan Daerah (Rakerkesda) Provinsi Jawa Tengah di Solo pada Jumat, 31 Maret 2023.

"Sehingga tetap bisa melakukan aktivitas pekerjaannya sekaligus belajar dan mempersiapkan diri menjadi dokter spesialis tanpa harus kehilangan pendapatannya."

Pertumbuhan Sentra Pendidikan Dokter Spesialis

Pola desentralisasi akan diaplikasikan ke seluruh rumah sakit di daerah. Sehingga pertumbuhan sentra-sentra pendidikan dokter spesialis akan berdampak positif pada peningkatan jumlah dokter spesialis di Indonesia.

“Pola desentralisasi akan membantu percepatan peningkatan jumlah dokter spesialis dalam satu siklus pendidikan yakni selama 4 tahun," imbuh Budi Gunadi.

"Sehingga akses masyarakat untuk mendapatkan layanan dokter spesialis akan jauh lebih mudah dan murah karena distribusinya sudah merata."

2 dari 3 halaman

Pendidikan Dokter Spesialis Sulit dan Mahal

Pemenuhan kebutuhan dokter spesialis di daerah menjadi fokus utama. Saat ini, jumlah RSUD yang memiliki formasi dokter spesialis lengkap hanya sebanyak 50 persen.

Dari informasi yang diperoleh Menkes Budi Gunadi Sadikin, pendidikan dokter spesialis sekarang sangat mahal dan sulit. Hal ini didengarnya dengan menanyakan kepada para dokter spesialis.

“Enggak pernah ada dokter yang bilang masuk jadi dokter spesialis itu murah dan gampang, enggak ada. Saya tanya 100 dokter, 200 dokter yang jawab malah bilang sulit dan mahal,” bebernya saat sesi ‘Public Hearing RUU Kesehatan Bersama Dinkes Seluruh Indonesia, IDI dan PDGI’ di Gedung Kemenkes RI Jakarta, ditulis Rabu (29/3/2023).

“Saya kasih contoh, emang dokter spesialis kita berapa lulusannya? Rata-rata 10 tahun terakhir 2.900. Kalau rata-rata 4 tahun jalan gitu ya, at the same time (pada saat yang sama) ada 12.000 dokter untuk 270 juta populasi.”

Indonesia Tak Bisa Kejar Kebutuhan Dokter Spesialis

Bandingkan dengan jumlah dokter di Inggris. Data Royal College London mencatat, ada 60.000 dokter untuk  60 juta orang.

“Kita 270 juta penduduk, running-nya tuh cuman 12.000 dokter spesialis, kita enggak bisa kejar. That is something wrong in our system (itu ada sesuatu yang salah di sistem kita),” pungkas Budi Gunadi.

Sebaliknya, kalau tetap dibuat university based, menurut Menkes Budi, Indonesia tidak akan bisa mengejar kebutuhan dokter spesialis.

“Kita enggak akan bisa catch up (mengejar) dengan kebutuhan dokter,” sambungnya.

3 dari 3 halaman

Layanan Kesehatan Terkendala karena Tak Ada Dokter Spesialis

Kekurangan dokter spesialis juga membuat Menkes Budi Gunadi Sadikin kesulitan untuk memasang layanan cath lab atau kateterisasi jantung di 514 kabupaten/kota di Indonesia. Ini karena pemasangan cath lab terkendala dengan ketiadaan dokter spesialis intervensi di banyak daerah.

Padahal, penyakit jantung termasuk pembunuh paling banyak di Indonesia dengan angka kematian tertinggi. Cath lab dibutuhkan untuk menentukan diagnostik penyakit jantung dan pembuluh darah, yang selanjutnya dilakukan Intervensi Non Bedah sesuai indikasi secara invasif melalui pembuluh darah dengan menggunakan kateter atau elektroda.

“Saya mau pasang cath lab itu di 514 kabupaten/kota, bisa saja setahun selesai. Tapi masa enggak ada dokter spesialis intervensinya. Itu kan jadi masalah tuh,” tutur Budi Gunadi saat acara 'Public Hearing RUU Kesehatan Bersama dengan Organisasi Profesi' yang diikuti Health Liputan6.com di Gedung Kementerian Kesehatan RI Jakarta, ditulis Minggu (19/3/2023).

“Nah, itu saya mau beresin semuanya layanan rujukan biar didesain dan diplanning (direncanakan) dengan baik kapasitasnya sesuai dengan penyakit yang paling banyak bikin menderita masyarakat kita.”

Minim RS yang Bisa Pasang Ring Jantung

Budi Gunadi juga menargetkan semua kabupaten/kota bisa pasang ring jantung. Pasien akan dianjurkan untuk melakukan pasang ring jantung ketika arteri koroner dipenuhi banyak plak, sehingga menghalangi aliran pembuluh darah. 

Kondisi ini biasanya disebabkan oleh kolesterol dan zat lain yang menempel pada dinding arteri.

“Saya minta semua kabupaten/kota harus bisa pasang ring. Dari 514 kabupaten/kota, saya tanya berapa yang bisa pasang ring? 44 kabupaten/kota, enggak sampai 10 persen,” bebernya.

“Bayangkan, layanan rujukan rumah sakit gitu hanya less 10 percent of our hospital (kurang dari 10 persen rumah sakit) yang bisa memberikan layanan jantung untuk penyakit yang pembunuh paling besar di Indonesia.“