Liputan6.com, Jakarta - Beberapa orangtua mungkin mengalami kebingungan saat harus menentukan pada usia berapa buah hatinya perlu diajarkan berpuasa. Mengingat kondisi maupun kesiapan setiap anak berbeda-beda.
Namun, mengajarkan anak puasa sejatinya bergantung pada pola asuh orangtua. Mengapa demikian?
Baca Juga
Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) mengungkapkan bahwa manusia sebenarnya sudah dilatih untuk berpuasa sejak bayi.
Advertisement
Misalnya, ketika baru lahir, bayi tidak bisa langsung menerima ASI dalam jumlah banyak. Sehingga perlu berpuasa beberapa jam pertama kehidupannya di dunia.
"Sekarang kalau pertanyaannya kapan anak itu kuat berpuasa? Itu akan berbeda-beda. Kalau disebut secara fisik, kuat. Sejak bayi baru lahir dia sudah kuat berpuasa. Tapi karena anak itu sudah tumbuh gede, tergantung pola asuh orangtuanya," ujar Piprim dalam media briefing IDAI, Kamis (6/4/2023).
"Maka sebetulnya yang menentukan anak itu kuat berpuasa (atau tidak), itu kematangan mental, emosional, spiritual pada anak (yang mana) tergantung pola asuh orangtua," tambahnya.
Ajarkan Anak Puasa Perlu Disertai Pola Asuh yang Baik
Piprim mengungkapkan bahwa kebiasaan memanjakan anak, termasuk dalam hal memberikan makanan pun ikut berpengaruh pada kesuksesan berpuasanya.
"Kalau anaknya terlalu dimanja, enggak kuat-kuat dia. Selalu diberi makanan, tidak pernah berhenti makan, ya enggak kuat-kuat. Tapi kalau anaknya diajarkan, pola asuhnya bagus, diajarkan misalkan nih keuntungan berpuasa seperti apa, dan sebagainya, itu anak-anak akan bisa sanggup berpuasa," kata Piprim.
Usia 6-7 Tahun Sudah Bisa Puasa Penuh
Piprim menjelaskan, anak yang berusia enam sampai tujuh tahun sendiri sudah bisa berpuasa penuh hingga maghrib. Terutama anak perempuan yang menurut Piprim biasanya lebih cepat kematangan mental, spiritual, dan emosionalnya.
"Bahkan pada usia enam tahun, tujuh tahun (sudah bisa puasa penuh). Apalagi anak-anak yang perempuan, biasanya kematangannya bisa lebih cepat, itu bisa berpuasa sampai maghrib," ujar Piprim.
Lebih lanjut Piprim mengungkapkan bahwa puasa pada anak turut bisa dilakukan sekuatnya anak. Namun, pastikan puasa tersebut tidak terlalu cepat dan lama.
"Berapa lama belajar puasa? Sekuatnya saja. Jangan terlalu sebentar, jangan terlalu lama. (Misal) 'Ayo puasa', buka jam delapan pagi, ya itu mah terlalu cepat," kata Piprim.
"Mungkin sampai dzuhur deh kalau anak-anak TK atau anak SD gitu. Sekuatnya sampai dzuhur misalkan," sambungnya.
Advertisement
Pastikan Cairan Anak Cukup Selama Bulan Puasa
Dalam kesempatan yang sama, Piprim menegaskan soal asupan cairan anak yang harus dicukupkan selama bulan puasa. Sehingga anak tidak mengalami dehidrasi.
Jika melihat rumusnya, kebutuhan cairan akan bergantung pada berat badan anak. Pemenuhannya cairan itu bisa dilakukan saat sahur, buka, dan setelah tarawih.
"Gampangnya gini, anak itu kira-kira mulai puasa pada umur katakanlah umur enam sampai tujuh tahun ya. Ini berat badannya sekitar 20-30 kg. Untuk anak yang beratnya 20 kg, itu kebutuhan cairannya kira-kira 1,5 liter per hari," ujar Piprim.
"Untuk 30 kg 1,7 liter per hari. Nah ini harus dipenuhi pada saat dia sahur dan buka, atau setelah tarawih. Jadi selama 24 jam itu, asupan cairannya harus terpenuhi supaya anak tidak dehidrasi."
Tak Perlu Khawatir Dehidrasi Jika Kebutuhan Cairan Terpenuhi
Sehingga menurut Piprim, orangtua tidak perlu khawatir anak mengalami dehidrasi jika memang cairannya sudah dipenuhi berdasarkan kebutuhan hariannya.
"Jadi enggak usah khawatir anak itu akan dehidrasi, enggak makan minum dari subuh sampai maghrib karena kita bisa penuhi kebutuhan cairannya pada saat sahur, buka, dan tarawih," kata Piprim.
Advertisement