Liputan6.com, Jakarta - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) meminta pembahasan RUU Kesehatan dihentikan atau tidak dilanjutkan. Hal ini karena Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law dinilai tidak memberikan jaminan perlindungan bagi dokter dan tenaga kesehatan (nakes).
Menurut Ketua Umum PB IDI Moh. Adib Khumaidi, tak adanya jaminan perlindungan hukum bagi dokter dan nakes lantaran peranan organisasi profesi dihilangkan dalam RUU Kesehatan Omnibus Law.
Baca Juga
“Seorang dokter yang melakukan sebuah pelayanan kesehatan menyelamatkan nyawa, maka harus memiliki hak imunitas yang dilindungi oleh Undang-Undang," terangnya melalui pesan singkat yang diterima Health Liputan6.com pada Minggu, 9 April 2023 malam.
Advertisement
"Di sinilah peran organisasi profesi sebagai penjaga profesinya itu untuk memberikan sebuah perlindungan hukum, namun peranan organisasi profesi dhilangkan."
Akan Ada Banyak Nakes yang Masuk ke Permasalahan Hukum
Adib menjelaskan, apabila hak imunitas tidak didapatkan, maka akan banyak tenaga medis dan tenaga kesehatan dengan mudah untuk masuk ke dalam permasalahan hukum.
Dengan tidak adanya hak imunitas tenaga kesehatan tersebut juga akan berdampak pada patient safety (keselamatan pasien)," jelasnya.
"Masyarakat akan terdampak pada pelayanan kesehatan berbiaya tinggi karena potensi risiko hukum dan hal ini paradoks dengan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menerapkan efisiensi pembiayaan."
Pelayanan Kesehatan Akan Terganggu
Moh. Adib Khumaidi berharap Pemerintah dapat serius menindaklanjuti penolakan pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law. Sebab, jika disahkan, maka dapat berdampak terhadap pelayanan kesehatan karena tidak adanya jaminan perlindungan hukum bagi dokter dan tenaga kesehatan.
"Kami sangat berharap penolakan yang saat ini sangat masif dilakukan oleh para dokter, tenaga kesehatan, mahasiswa kedokteran dan kesehatan, serta rakyat Indonesia terhadap RUU Kesehatan (Omnibus Law) ini menjadi perhatian serius," harapnya.
"Karena pasti akan berdampak kepada terganggunya stabilitas nasional, karena pelayanan publik dibidang kesehatan untuk masyarakat akan menjadi terdampak."
Draft RUU Kesehatan Tidak Jelas Asal Muasalnya
PB IDI telah melakukan upaya proaktif yang konsisten sejak munculnya draft RUU Kesehatan (Omnibus Law) tahun 2022 yang tidak jelas asal muasalnya, meski sudah tersusun sangat rapi dan sistematis hingga diterbitkannya secara resmi draft RUU Kesehatan Omnibus Law sebagai inisiatif DPR RI pada 14 Februari 2023.
PB IDI juga mencermati segala isu, fitnah dan framing negatif yang ditujukan kepada IDI, Profesi Dokter dan Profesi Tenaga Kesehatan Indonesia yang masih belum urgensi karena masih banyak permasalahan kesehatan yang belum tertangani oleh Pemerintah.
Advertisement
Kurangi Peran Organisasi Profesi
Pada Senin (3/4/2023), Moh. Adib Khumaidi memandang RUU Kesehatan dapat mengurangi peran organisasi profesi kesehatan yang sebelumnya memiliki kewenangan pengelolaan termasuk masalah etik. Namun, dalam RUU Omnibus Law tersebut sudah tidak ada kewenangan organisasi profesi.
Sebanyak 478 pasal dalam RUU Kesehatan yang dirangkai dalam Omnibus Law, pasal berkaitan organisasi profesi kini hanya ada 4 pasal.
"Dan penjelasannya ini kemudian tidak bisa memberikan penjelasan yang menggantikan UU eksisting yakni UU Praktik Kedokteran, UU Keperawatan, UU Kebidanan, dan UU Tenaga Kesehatan," kata Adib dalam dialog bertajuk, 'Transformasi Layanan Kesehatan Indonesia.'
Dokter Akan Berhadapan dengan 3 Tuntutan
Saat ini, lanjut Adib, banyak sekali pasien-pasien yang dengan mudah menuntut profesi tenaga kesehatan. Sehingga PB IDI, mempertanyakan apakah RUU Kesehatan Omnibus Law dapat memberikan perlindungan hukum kepada tenaga kesehatan.
Pada Pasal 326, 327, dan 328 BAB Penyelesaian Sengketa dalam draft RUU Kesehatan, norma yang disebutkan berkaitan dengan perlindungan hukum, hanya norma abstrak.
Sehingga Adib menilai tidak ada hak imunitas bagi tenaga kesehatan. Ini tidak sama seperti profesi lain seperti, advokat, DPR RI, notaris dan lainnya.
"Artinya ketika dokter menjalankan profesinya berdasarkan RUU ini, maka dengan ketiga pasal tersebut ada tiga tuntutan yang bisa terjadi, yakni dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), tuntutan dari kasus, tuntutan dari masalah perdata," terangnya.