Sukses

Bukan Cuma Fisik, Pasien Kanker Usus Besar Juga Kerap Alami Masalah Psikologis dan Sosial

Pasien penyakit kanker usus besar atau kolorektal kerap mengalami masalah psikologis dan sosial. Apa sebab?

Liputan6.com, Jakarta - Bukan cuma fisik yang mendera pasien kanker usus besar atau kanker kolorektal. Penyakit ini juga berdampak pada psikologis dan sosial pasien kanker usus besar seperti disampaikan dokter spesialis rehabilitasi medis Siti Annisa Nuhonni.

“Manusia adalah makhluk bio-psiko-sosio-kulturo-spiritual. Jadi, kalau kita lihat, unsur jiwa, badan, dan lingkungan itu berada dalam satu kesatuan yang dapat memengaruhi pasien kanker kolorektal,” tuturnya dalam diskusi "How Do We Live with Cancer" dari Yayasan Kanker Indonesia dan MSD secara daring pada Rabu, (12/4/2023).

Salah satu dampak psikologis yang dirasakan pasien adalah rasa takut terhadap kehidupannya. Siti mengungkap, pasien kanker umumnya lebih takut dengan proses sebelum meninggal.

“Pada seorang pasien kanker, sering kali bukan kematian yang ditakuti, tetapi lebih kepada proses menuju kematian,” kata wanita yang berpraktik di RS Medistra Jakarta tersebut.

Bukan hanya dirasakan pasien dan dokter, ketakutan juga dirasakan oleh keluarga pasien, mengutip Siti.

“Perubahan perilaku pasien merupakan beban mental yang berat, sehingga tak jarang keluarga pasien juga turut menderita, baik fisik maupun fisiknya. Terkadang keluarga juga ikut lelah,” ia melanjutkan.

Untuk pasien, jika keadaan takut dan tertekannya berlanjut hingga 3–6 bulan, pasien dapat masuk ke gejala depresi dan gangguan mental lainnya. Bila kondisi ini terjadi perlu berkonsultasi dengan psikolog maupun psikiater. 

2 dari 4 halaman

Masalah Sosial karena Kebersihan Pasien

Siti mengungkap, latar belakang pasien memengaruhi sikap pasien terhadap penyakitnya, nyeri, dan kematian.

“Kalau kita kurang perhatian terhadap latar belakang pasien, itu dapat mengurasi rasa penerimaan pasien tentang penyakitnya,” jelas wanita lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tersebut.

Ia mengatakan, faktor sosial-budaya ini terutama dirasakan oleh pasien ostomate. Ostomate adalah pasien dengan kantong stoma yang dipasang di bagian luar tubuh untuk menampung kotoran (feses dan kencing), seperti melansir WebMD.

Salah satu masalah sosial yang dialami pasien ostomate adalah kebersihan dan penggunaan toilet. Tentu menjadi tantangan bagi pasien untuk melihat tatapan atau reaksi orang lain atas dirinya. 

“Apalagi, karena terkadang menimbulkan bau yang kurang sedap,” Siti menambahkan alasannya.

3 dari 4 halaman

Beribadah Bisa Menjadi Tantangan

Sebagai umat beragama, beribadah dapat menjadi tantangan bagi pasien kanker usus besar dan/atau ostomate, mengutip Siti.

Namun, ia membeberkan cara beribadah yang diperbolehkan untuk pasien ostomate. Untuk pasien beragama Islam, tetap bisa untuk sholat, berpuasa, dan menjalankan diet apa saja. 

“Di agama Islam, wudhu tetap sah dan bisa dilakukan dengan pasien ostomate,” ia menjelaskan.

Ini sama halnya dengan pasien Kristen dan Katolik, yaitu tetap bisa rutin ke gereja dan melakukan diet apa pun. Untuk pasien beragama Buddha dan Hindu, dapat melakukan kegiatan sembahyang.

Meski begitu, hal ini juga menjadi ‘PR’ untuk dokter yang menangani pasien ostomate. 

“Pertimbangkan, apakah yang beragama Islam dapat melakukan gerakan-gerakan ibadah tanpa saling mengganggu? Bagaimana kalau bocor? Agama lain pun yang punya ritual ibadah yang memerlukan postur tubuh tertentu, itu bagaimana dampaknya,” ungkapnya.

4 dari 4 halaman

Dampak Psikologis Operasi Pembuatan Stoma bagi Pasien

Siti menerangkan, ada beberapa dampak psikologis karena operasi pembuatan stoma yakni:

1. Shock (Terkejut)

Ketika selesai operasi dan melihat kondisi tubuh yang sudah berbeda, pasien dapat jadi sangat terkejut. ‘Tidak mungkin ini terjadi kepada saya’ mungkin jadi salah satu pemikiran pasien.

2. Anger (Kemarahan)

Setelah terkejut, pasien dapat merasakan kebingungan dan kemarahan. ‘Kenapa saya?’ dapat menjadi pertanyaan yang diajukan pasien.

3. Self-blame (Menyalahkan diri sendiri)

Keadaan pascaoperasi dapat membuat pasien menyalahkan dirinya sendiri. Mereka mungkin berpikir: ‘Apa yang telah kulakukan sehingga aku menderita seperti ini?’

4. Sadness and Depression (Kesedihan dan Depresi)

Setelah menyalahkan diri berlarut-larut, fase berikutnya yang dapat dialami pasien adalah kesedihan sampai depresi. Pada fase ini, pasien dapat merasa tidak ada harapan lagi.

5. Fear and Uncertain (Ketakutan dan Ketidakpastian)

Fase berikutnya adalah takut dan mempertanyakan banyak hal karena adanya ketidakpastian. Pikiran yang dapat muncul pada pasien, seperti: “Apakah suami saya akan tetap mencintai saya?”, “Apakah anak-anak akan merawat saya?”, dan lainnya.

Dukungan Spiritual Dapat Membantu

Sebagian pasien kanker berpandangan bahwa penyakit tersebut didapat sebagai hukuman. Terkait hal ini, Siti mengungkapkan bahwa penyakit tersebut bukanlah hukuman. Maka diperlukan dukungan spiritual untuk membantu pasien.

"Dibutuhkan diskusi spiritual yang lebih intens, agar (pemikirannya) bisa dinetralisir, bahwa penyakitnya bukanlah hukuman," tutur Siti. 

Dukungan spiritual, lanjut Siti, tak melulu berkaitan dengan agama.

"Spiritual tak melulu religi, tetapi spiritnya. Misalnya, pasien tidak mau minum obat dan minum makan. Maka kita dorong spiritnya agar bisa minum obat dan makan dengan baik," dia menambahkan.