Sukses

Curhat Dokter ke Menkes, Obat Termasuk Parasetamol dan Alat Kesehatan di Daerah Sering Tidak Ada

Kendala obat-obatan dan alat kesehatan (alkes) di daerah, terutama di Indonesia timur sering tidak ada. Bahkan, parasetamol sering kosong.

Liputan6.com, Jakarta Jauh dari kata tercukupi, obat-obatan dan alat kesehatan (alkes) yang terdapat di fasilitas kesehatan (faskes) di daerah, khususnya Indonesia bagian timur sering tidak ada. Bahkan obat parasetamol yang biasa diresepkan juga sering habis.

Di hadapan Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin, dokter Idham Rahman menuturkan, kondisi sarana dan prasarana pelayanan kesehatan di Indonesia bagian timur. Penuturan ini juga berdasarkan pengalaman dirinya yang pernah berpraktik di Puskesmas dan rumah sakit di kabupaten.

“Kita sadari bahwa memang di daerah itu, keterbatasan baik itu sarana prasarana dan juga SDM itu menjadi hal yang luar biasa yang memengaruhi semua aspek pelayanan kesehatan, bagaimana obat-obat dan alat-alatnya itu sering tidak ada,” tuturnya saat sesi ‘Dialog Nusantara: Mewujudkan Sila ke-5 Pancasila Melalui Pembangunan Layanan Kesehatan yang Merata di Seluruh Indonesia’ ditulis Kamis (13/4/2023).

“Bahkan dalam tingkat yang sederhana sekali, saya pernah praktik di rumah sakit yang kemudian dalam kurun waktu tertentu sering habis parasetamol. Kemudian beberapa dokter inisiatif untuk membelikan obat itu menggunakan dana pribadi agar bisa memaksimalkan layanan kesehatan di sana.”

Alat Kesehatan Tidak Ada

Bukan hanya obat, kata Idham, alat-alat kesehatan juga terkadang kita tidak mencukupi, terutama untuk penanganan kondisi darurat pasien. Mau tak mau, rumah sakit di daerah harus menyediakan dengan dana sendiri.

“Saya kan kerja di UGD, kami sangat independen. Dulu ya alat-alat yang biasa ada ada di rumah sakit swasta di daerah itu tidak ada di kami, sehingga kami perlu menyediakan sendiri,” lanjutnya.

“Secara general itu banyak terjadi di Indonesia timur, bagaimana alat kesehatan dan obat-obatan itu belum mampu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di sana dan ketika kami meminta peran pemerintah daerah, maka ada lagi beberapa hambatan. Entah dari anggaran yang tidak ada atau hal-hal lainnya.”

2 dari 3 halaman

Alat Kesehatan Ada tapi Tak Bisa Dioperasikan

Idham Rahman juga mendapatkan cerita dari dokter-dokter internship yang bertugas di daerah Indonesia timur. Kendala yang terjadi adalah alat kesehatan tersedia, tapi tak bisa dioperasikan.

Kendala di atas berdampak terhadap penyaluran kompetensi dokter internship. Mereka tidak dapat optimal menggunakan kompetensi yang dimilikinya. 

“Kebetulan saya juga seorang dosen, saya pernah melakukan penelitian kepada dokter internship yang bertugas di daerah, aspek apa saja yang dipersepsikan kurang didapatkan? Jawabnya penggunaan kompetensinya dan kebanyakan itu terkait dengan kompetensi-kompetensi di bidang emergensi,” cerita Idham. 

“Lebih kepada tidak adanya sarana untuk mewujudkan kompetensinya tersebut.”

Pertanyaan dilanjutkan Idham kepada dokter internship, ‘Kenapa kamu mengatakan kamu tidak bisa melakukan pelayanan yang optimal terhadap pasien-pasien? Misalnya, ada pasien kardiovaskuler gagal jantung.’

“Dijawabnya, ada kendala alat yang disiapkan oleh rumah sakit, tapi tidak bisa dioperasikan. Entah mereka tidak pernah diberikan fasilitas untuk bisa mengoperasikan alat tersebut. Jadinya tidak dipakai gitu,” sambungnya.

Distribusi Alkes Harus Sesuai Kebutuhan Daerah

Adanya cerita dari dokter internship, Idham yang bertugas di Kota Palu, Sulawesi Tengah berpikir distribusi alkes sebaiknya harus sesuai dengan kebutuhan di daerah. 

“Tidak jarang ditemukan ada alat yang tiba-tiba ada, lalu tidak tahu apa mau dipakai. Karena kemudian menjadi perhatian, bagaimana distribusi alat kesehatan untuk daerah itu betul-betul sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing,” ucapnya.

3 dari 3 halaman

Jumlah Alat Kesehatan Berlebihan

Cerita lain, lanjut Idham Rahman dari penuturan sang istri, jumlah alat kesehatan ada yang berlebihan.

“Istri saya adalah seorang dokter gigi, baru saja di tempatnya didistribusikan alat-alat dokter gigi dan menurut beliau itu jumlahnya berlebihan sekali,” lanjutnya.

“Yang dibutuhkan 2 tapi disediakan sampai 6 alat dan itu kan kalau enggak dipakai kan saya pikir itu sayang sekali. Kalau dikonversi menjadi dana bisa mampu menyekolahkan dokter. Mungkin bisa kita produksi beberapa dokter dibanding membeli alat yang sebenarnya kita tidak pakai.”

Dengan demikian, permasalahan alat kesehatan, tak hanya kekurangan melainkan ada alat yang berlebihan didistribusikan.

“Nah itu permasalahannya. Jadi ada kekurangan, adapun yang kadang di dipenuhi tetapi tidak dapat digunakan, entah tidak atau memang tidak sesuai kebutuhan atau tidak disertakan fasilitas sarana pelatihan untuk menggunakan alat tersebut,” imbuh Idham.

“Itu mungkin hal-hal yang kemudian saya secara pribadi menemukan beberapa daerah di Sulawesi.”

Video Terkini