Sukses

Kasus COVID Indonesia Meroket Lagi, Begini Antisipasi Kemenkes Jelang Mudik Lebaran

Kasus COVID di Indonesia hampir menyentuh 1.000 jiwa jelang mudik Lebaran dilakukan

Liputan6.com, Jakarta - Kasus COVID Indonesia beberapa hari menjelang akhir Ramadhan mengalami lonjakan. Pada Rabu, 12 April 2023 penambahan kasus positif sebanyak 987 orang.

Akibat pertambahan ini, akumulasi kasus COVID di Indonesia menjadi 6.753.593 hingga tanggal tersebut.

Kenaikan kasus positif membawa kekhawatiran akan mengganggu jalannya mudik Lebaran yang akan segera tiba.

Terkait hal ini, Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, Lucia Rizka Andalucia mengatakan bahwa protokol kesehatan selama mudik tetap seperti yang sudah-sudah.

Kasus COVID Indonesia Sentuh 1.000 Jelang Mudik Lebaran

"Selalu tetap seperti yang sudah protokolnya. Dan, seperti yang disampaikan Pak Budi (Menteri Kesehatan Indonesia) kita sudah punya sarana untuk tes dan bahkan masyarakat bisa tes antigen mandiri dan sudah ada QR code-nya, nanti setelah ini kita akan rilis bagaimana cara melaporkan QR Code-nya," kata Lucia usai penyerahan hibah Paxlovid di Jakarta Selatan pada Kamis (13/4).

Jika masyarakat dinyatakan positif COVID-19, dengan QR Code itu dia bisa mendapatkan akses telemedisin yang telah disediakan Kemenkes.

"Terkait selftest, obat-obatan kita sudah siap, vaksin juga kita sudah memiliki jumlah yang lebih dari cukup," kata Lucia.

Terkait gambaran potensi lonjakan kasus COVID-19 usai mudik Lebaran, Lucia tidak bisa memberi komentar lebih lanjut. Namun, dia berharap tidak ada lonjakan kasus pasca lebaran.

"Mudah-mudahan sih enggak (ada lonjakan kasus) ya," Lucia menambahkan.

2 dari 4 halaman

Soal Obat COVID-19 Paxlovid

Sebelumnya, Lucia memberi penjelasan soal obat COVID-19 Paxlovid yang baru saja diterima dari Pemerintah Amerika Serikat dan Australia.

Menurut Lucia, hibah obat COVID-19 ini jumlahnya mencapai 24.096 dalam bentuk tablet. 

"Jumlahnya 24.096, distribusinya sekarang ada di pusat farmasi kita didistribusikan ke rumah sakit yang membutuhkan dan juga dinas kesehatan," kata Lucia.

Lucia menambahkan bahwa Paxlovid telah mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Menurut hasil uji kliniknya, obat COVID-19 ini efektif untuk gejala ringan yang berisiko tinggi menjadi gejala berat.

"Obat ini efektif untuk gejala ringan tapi yang berisiko tinggi menjadi gejala berat, jadi orang-orang yang mempunyai risk factor (faktor risiko) yang akan menjadi berat. Jadi, ini merupakan obat yang terakhir yang ditemukan setelah antivirus lainnya. Sekarang Paxlovid tentunya lebih baik dan sudah ada uji kliniknya," katanya.

3 dari 4 halaman

Obat COVID Paxlovid Tidak dapat Diberikan Kepada Anak-Anak

Sejauh ini, lanjut Lucia, obat Paxlovid tidak dapat diberikan kepada anak-anak,"Untuk, anak-anak tidak.".

Terkait obat ini, pada 2022 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara resmi menerbitkan Izin Penggunaan Darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) untuk Obat Paxlovid tablet salut selaput sebagai obat COVID-19.

Sebelumnya, BPOM juga menerbitkan EUA untuk antivirus Favipiravir dan Remdesivir pada 2020, antibodi monoklonal Regdanvimab pada 2021, serta Molnupiravir pada 2022.

Adanya tambahan jenis antivirus untuk penanganan COVID-19 yang memperoleh EUA ini menjadi salah satu alternatif penatalaksanaan COVID-19 di Indonesia.

4 dari 4 halaman

Efek Samping Obat COVID Paxlovid Ringan

Paxlovid merupakan terapi antivirus inhibitor protease SARS-CoV-2 yang dikembangkan dan diproduksi oleh Pfizer.

“Paxlovid yang disetujui berupa tablet salut selaput dalam bentuk kombipak, yang terdiri dari Nirmatrelvir 150 mg dan Ritonavir 100 mg dengan indikasi untuk mengobati COVID-19 pada orang dewasa yang tidak memerlukan oksigen tambahan dan yang berisiko tinggi terjadi progresivitas menuju COVID-19 berat,” papar Kepala Badan POM RI, Penny K. Lukito dalam keterangan pers di laman resmi BPOM.

Masih menurut BPOM, berdasarkan hasil kajian terkait dengan keamanannya, secara umum pemberian Paxlovid aman dan dapat ditoleransi.

Efek samping tingkat ringan hingga sedang yang paling sering dilaporkan pada kelompok yang menerima obat adalah dysgeusia (gangguan indra perasa) (5,6 persen), diare (3,1 persen), sakit kepala (1,4 persen), dan muntah (1,1 persen). Dengan angka kejadian yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang menerima plasebo (secara berurutan 0,3 persen; 1,6 persen; 1,3 persen; dan 0,8 persen).

Dari sisi efikasi, hasil uji klinik fase 2 dan 3 menunjukkan Paxlovid dapat menurunkan risiko hospitalisasi atau kematian sebesar 89 persen pada pasien dewasa COVID-19 yang tidak dirawat di rumah sakit dengan komorbid (penyakit penyerta), sehingga berisiko berkembang menjadi parah.

Komorbid yang berkaitan dengan peningkatan risiko ini seperti lanjut usia (lansia), obesitas, perokok aktif, riwayat penyakit jantung, diabetes, atau gangguan ginjal.