Liputan6.com, Jakarta Obat berbasis plasma darah seperti immunoglobulin (IVIG) dan albumin terkenal mahal dan sulit diperoleh saking langkanya. Bahkan ada beberapa obat COVID-19 yang berbasis plasma darah, yakni actemra dan gammaraas yang susah diperoleh pada awal pandemi.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, Indonesia belum pernah memproduksi obat-obatan berbasis plasma darah. Sementara Indonesia sendiri termasuk negara dengan populasi penduduk terbesar nomor 4 di dunia.
Baca Juga
“Pada saat kemarin awal-awal COVID, ada obat-obatan seperti actemra, gammaraas yang termasuk golongan yang sulit didapat dan sangat langka,” saat sesi ‘Dialog Nusantara: Mewujudkan Sila ke-5 Pancasila Melalui Pembangunan Layanan Kesehatan yang Merata di Seluruh Indonesia’ ditulis Kamis (13/4/2023).
Advertisement
“Itu adalah obat-obatan yang berbasis darah. Padahal, Indonesia karena kita adalah penduduk nomor 4 di dunia, tapi kita tidak punya obat-obatan yang berbasiskan darah.”
Harus Impor 100 Persen
Untuk obat-obatan berbasis plasma darah diakui Budi Gunadi selama ini harus impor 100 persen. Yang patut menjadi pembelajaran adalah saat terjadi pandemi COVID-19, Indonesia kesulitan memeroleh actemra dan gammaraas karena lockdown yang terjadi di negara-negara lain.
“Obat-obatan itu ada berbasis kimia dan biologis. Untuk albumin misalnya, itu adalah obat-obatan yang dibangun dengan bahan baku darah. Indonesia enggak punya, sudah 77 tahun indonesia merdeka, kita zero (nihil) – obat berbasis darah,” tuturnya.
“Itu sebabnya saat terjadi pandemi, IVIG, albumin ya sulit kita dapat karena kan lockdown di mana-mana. Kalau terjadi pandemi lagi, kita butuh albumin harus impor 100 persen. Masa begitu, mau enggak? Celaka kita semua.”
Bangun Fasilitas Produksi Obat Berbasis Plasma Darah
Demi kemandirian obat, Indonesia sedang bersiap membangun fasilitas produksi obat berbasis plasma darah. Pembangunan ini bekerja sama dengan perusahaan Korea Selatan
“Itu sebabnya kita bangun fasilitasnya. Kemarin, saya baru dari Korea, kami udah tanda tangan dengan satu perusahaan Korea SK Plasma untuk membangun,” Budi Gunadi Sadikin melanjutkan.
“Saya harapkan dalam 2 tahun, 3 tahun ke depan bisa selesai itu obat-obatan berbasis plasma.”
Kerja Sama SK Plasma dan Daewoong Infion
Menkes Budi menjadi salah satu delegasi Dialog Tingkat Tinggi Pertama RI - Korsel. Sebagai komitmen hubungan diplomatik yang sudah terbangun selama 50 tahun, dilakukan kerja sama untuk mendukung implementasi transformasi kesehatan yang saat ini diusung Indonesia.
“Kunjungan kerja kali ini sifatnya strategis, yakni mengambil momentum 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia – Korea Selatan bagi kerja sama Kesehatan kedua negara dan khususnya untuk mendukung program transformasi kesehatan di Tanah Air,” ungkapnya melalui pernyataan resmi 26 Maret 2023.
Selama tiga hari kunjungan sejak 23 Maret 2023, dilakukan pertemuan bilateral dengan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Korea Selatan. Menkes Budi juga menjadi saksi penandatanganan kerja sama (Memorandum of Understanding/MoU) antara SK Plasma dan Daewoong Infion.
Kerja sama SK Plasma dan Daewoong Infion untuk produksi fraksionasi plasma darah di Indonesia merupakan yang pertama di Indonesia.
Advertisement
Butuh Investasi Sangat Besar
Pengembangan fasilitas fraksionasi plasma sebagai penopang kemandirian produk darah dalam negeri, perlu mendapat perhatian khusus. Seluruh produk derivat plasma yang digunakan di Indonesia saat ini, dirasakan semakin meningkat kebutuhannya dan merupakan produk impor dengan harga yang tinggi.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Penny K. Lukito menyebutkan, Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar berpotensi untuk dapat menghasilkan plasma darah yang kemudian dapat diolah menjadi produk derivat plasma.
Akan tetapi, hingga kini belum ada industri farmasi dalam negeri yang siap untuk mengolah plasma menjadi produk derivat plasma, baik dari sisi bisnis maupun teknologi yang akan digunakan.
“Kondisi saat ini menunjukkan bahwa fasilitas fraksionasi plasma membutuhkan investasi yang sangat besar, namun tidak profitable, mengingat plasma darah tidak untuk dikomersialisasi,” jelas Penny saat sesi ‘Forum Lintas Sektor Pengembangan Industri Fraksionasi Plasma Dalam Rangka Mewujudkan Kemandirian Produk Darah Dalam Negeri’ di Jakarta, Senin (21/11/2022).
“Untuk itu, perlu diberikan dukungan dan intervensi pemerintah dalam mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi Unit Transfusi Darah (UTD) dan Industri Farmasi yang akan mengembangkan industri fraksionasi plasma.”
Bahan Baku Plasma Darah Berstandar CPOB
Plasma darah merupakan komponen terbanyak dari darah manusia dengan kandungan penting, salah satunya protein dan antibodi yang berfungsi mengobati masalah kesehatan serius, serta menjadi terapi untuk kondisi kronis yang langka, termasuk gangguan autoimun dan hemofilia.
Kandungan plasma darah yang digunakan dalam pengobatan/terapi tersebut diperoleh melalui proses pengolahan yang sangat spesifik, begitu pula metode uji yang digunakan. Hasil dari proses pengolahan tersebut menghasilkan sediaan farmasi yang disebut sebagai Produk Derivat Plasma atau Plasma Derivated Medicinal Products (PDMP).
Untuk mencapai kemandirian produk darah dalam negeri, diperlukan bahan baku plasma yang berasal dari UTD yang telah tersertifikasi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Saat ini, terdapat 19 UTD yang memeroleh sertifikat CPOB, yaitu 18 UTD PMI dan 1 UTD rumah sakit.
BPOM terus berupaya mendukung penyiapan fasilitas UTD yang tersertifikasi CPOB untuk menjamin mutu plasma darah dan dapat memenuhi kecukupan serta kontuinitas kebutuhan bahan baku plasma tersebut.