Liputan6.com, Jakarta - Beberapa waktu lalu viral di Twitter kisah tentang orang tua yang harus berjuang menghidupi delapan anak mereka tapi ekonomi serba kekurangan. Saking miskinnya hidup mereka, kedua orang tua tersebut harus memberikan anaknya makan berupa selembar kertas.
Berdasarkan cerita di akun Twitter @vi_triasari, sang ayah bekerja serabutan. Dia pernah menjadi seorang cook helper hingga menjadi pengemudi ojek daring atau ojek online (ojol).
Baca Juga
Namun, motor dipakai untuk menarik ojol ternyata rusak sehingga dirinya tak lagi bisa mencari penghasilan dengan mengojek.
Advertisement
Bahaya Anak Makan Kertas
Mengenai anak yang diberi makan kertas oleh orang tuanya dan apa saja bahayanya, DR dr Ta Shot Yen M.hum Yen lebih dulu menekankan bahwa kertas bukan makanan sehingga tentu bahaya memberikan sesuatu bukan pada tempatnya apalagi anak yang statusnya masih harus tumbuh dan berkembang.
Sedangkan tentang kemiskinan yang menimpa keluarga dengan delapan orang anak, ahli gizi masyarakat melihat bahwa miskin edukasi dan literasi menjadi lebih mengerikan dari kelaparan.
"Karena miskin literasi dan edukasi ini yang mengawali orang jadi miskin yang lainnya," kata Dr Tan saat dihubungi Health Liputan6.com belum lama ini.
Gegara hal ini, mereka jadi tidak paham makna berkeluarga. Tidak paham pula arti tanggung jawab. Bahkan, tidak merasa ngeri dengan masa depan mereka dan anak-anak mereka sendiri.
"Mengandaikan bisa hidup apa adanya dan menyandarkan diri pada belas kasihan orang, bukanlah cara pikir orang dewasa," ujar pemilik akun @drtanshotyen yang aktif berbagi informasi seputar anak di Instagram.
Â
Orang yang Miskin Edukasi dan Literasi Ketika Punya Uang pun Belum Tentu Bisa Menggunakannya dengan Benar
Lebih lanjut dijelaskannya bahwa orang-orang seperti mereka jika punya uang pun belum tentu bisa mengelolanya dengan baik.
"Saya pernah tahu ada pemulung yang membelikan makanan kemasan biskuit, mi instan, dan makanan lain yang miskin gizi buat anaknya ketimbang beli nasi bungkus warteg. Alasannya, anak balita lebih suka makan makanan kemasan," katanya.
Padahal, kata dr Tan, jika dihitung produk-produk camilan pabrikan tersebut jauh lebih mahal dan berisiko membuat anak menjadi malanutrisi ketimbang anak makan tiga kali sehari dengan nasi lauk warteg.
"Coba hitung nasi bungkus dengan dadar telur berapa harganya dan tahan lapar berapa jam serta gizinya cukup tinggi dibanding mi instan atau wafer manis," katanya.
Â
Â
Advertisement
Apakah Mindset Bisa Diubah?
Saat ditanya apakah mindset seperti ini bisa diubah atau tidak, dan jika iya harus seperti apa, dr Tan lagi-lagi menekankan tetang pendidikan.
"Sekali lagi pendidikan. Sejak kecil. Bagaimana nilai ditanamkan sejak usia sekolah sebelum jadi remaja, apalagi memutuskan menjadi orang tua," katanya.
"Sekolah mestinya tidak hanya membuat orang bisa baca, tulis, menghitung tapi juga menggunakan nalar. Mampu memikirkan masa depan bukan hanya tentang hari ini," dr Tan menekankan.
Lebih lanjut Tan, mengatakan,"Berapa banyak anak di Indonesia justru berharap tidak dilahirkan? Sebab, mereka merasa menderita dalam kemiskinan.".
Seandainya ada rezeki buat anak pun, Tan mempertanyakan apakah rezeki tersebut benar-benar digunakan buat pertumbuhan si Kecil?
"Berkaca dari urusan nasi warteg dan wafer kemasan, itu sudah menjadi tanda tanya. Sebab, yang mengelola rezekinya kan orang tua, bukan anaknya," ujarnya.
Â
Â
Kisah Orang Tua yang Memiliki 8 Anak tapi Hidup Miskin
Sang ayah juga kabarnya pernah berjalan kaki selama 4 jam untuk mencari pekerjaan. Karena tidak mendapatkan pekerjaan, dia pun terpaksa menggadaikan SIM C-nya ke tukang bubur seharga Rp50 ribu untuk membeli makanan.
Saking tidak memiliki uang untuk membeli makanan, keluarga di Depok ini juga kerap makan nasi sisa agar bisa bertahan hidup hingga harus memakan kertas dari kotak tahlilan agar bisa mengisi perut mereka.
Cerita keluarga ini langsung viral di media sosial. Respons warganet terbagi dua. Ada yang merasa terharu, tapi tak sedikit pula yang mengkritik keputusan orang tuanya memiliki banyak anak.
"Kok nekat enggak ada support finansial bikin anak terus kaya kucing," kata @mes**** di Twitter.
Akun @par**** mencuitkan,"Ya kalau mau punya anak, 1 dulu. Kalau ekonomi sudah baik dan mampu baru nambah jangan asal bikin saja, kasihan anaknya.".
"Bukan mau bilang 'Kalau miskin jangan punya anak' bukan gitu, tapi mbok ya sadar anak itu tanggung jawab orang tua sebagai orang tua harusnya ya mencukupi segala kebutuhan anaknya jasmani dan rohani. Kalau anaknya dibuat sengsara kaya gitu apa tidak termasuk dzalim?" ucap @har***.
Advertisement