Liputan6.com, Jakarta Kekerasan terhadap dokter seperti dialami dua dokter internship (magang) di Puskesmas Pajar Bulan, Lampung Barat yang dianiaya pasien dan keluarga pasien bukanlah kali pertama terjadi di Tanah Air. Tahun lalu, tindak kekerasan pernah dialami dokter bedah onkologi James Redi yang bertugas di Papua.
Lantas, jika terjadi kekerasan terhadap dokter, bolehkah dokter yang bersangkutan minta ke Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) untuk pindah ke fasilitas kesehatan (faskes) lain yang lebih aman?
Baca Juga
Terlebih lagi, penempatan dokter internship merupakan wewenang Kemenkes.
Advertisement
Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi, permintaan untuk pemindahan faskes dan daerah bisa dilakukan. Kemenkes akan mengkaji ulang daerah penempatan dokter.
""Bisa ini (pindah faskes), pasti dan akan dikaji ulang penempatannya," kata Nadia saat dikonfirmasi Health Liputan6.com melalui pesan singkat pada Kamis, 27 April 2023.
Perlindungan Tenaga Kesehatan di RUU Kesehatan
Pengkajian ulang penempatan dokter jika terjadi kekerasan yang dialami termasuk salah satu bentuk perlindungan tenaga medis dan tenaga kesehatan (nakes). Perlindungan terhadap nakes termaktub dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.
"Dan ini mengapa di RUU Kesehatan ada tentang perlindungan nakes," jelas Nadia.
Jenis Kekerasan Terhadap Dokter dan Tenaga Kesehatan
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Lampung, Josi Harnos membeberkan, kekerasan pada dokter dan tenaga kesehatan dapat terdiri dari ancaman telepon, intimidasi, caci maki, serangan fisik tetapi tidak melukai. Lalu, bisa juga serangan fisik yang menyebabkan luka sederhana atau berat, pembunuhan, vandalisme, dan pembakaran.
Profesional medis yang menghadapi kekerasan diketahui dapat mengalami masalah psikologis seperti depresi, insomnia, stres pascatrauma, ketakutan, dan kecemasan, yang menyebabkan keengganan untuk bertugas di wilayah terpencil.
Ganggu Proses Distribusi Dokter di Willayah Terpencil
Josi menegaskan bahwa kekerasan terhadap tenaga kesehatan tidak boleh dibiarkan. Penegasan ini juga merespons penganiayaan dokter internship di Lampung.
“Hal ini dapat mengganggu proses distribusi para dokter dan tenaga kesehatan di wilayah terpencil karena merasa tidak terjamin keamanannya dan perlindungan hukumnya apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” tegasnya dalam pernyataan tertulis yang diterima Health Liputan6.com, Selasa (25/4/2023).
“Selama ini, IDI terus berkoordinasi dengan pemerintah setempat seperti Dinas Kesehatan Lampung Barat untuk membahas faktor-faktor risiko yang terkait dengan kekerasan terhadap dokter dan kemungkinan langkah-langkah pada tingkat pribadi, kelembagaan atau kebijakan yang diperlukan untuk mengurangi insiden tersebut."
Advertisement
Semua Tenaga Kesehatan Berhak Atas Perlindungan
Ketua Umum PB IDI, Mohamad Adib Khumaidi menyampaikan, semua tenaga kesehatan berhak atas perlindungan risiko kesehatan dan keselamatan di tempat kerja.
Para tenaga kesehatan ini menghadapi berbagai risiko kerja yang terkait dengan bahaya biologis, kimia, fisik, ergonomis, dan psikososial yang memengaruhi keselamatan mereka dan pasien.
Siapkan Langkah Lindungi Tenaga Kesehatan
Lebih lanjut, Adib menyampaikan, fasilitas kesehatan, pemerintah, serta aparat perlu menyediakan langkah-langkah kesehatan dan keselamatan kerja guna melindungi para tenaga kesehatan.
Hal ini juga demi mendukung sistem kesehatan dasar yang berfungsi dengan baik dan kuat agar tenaga kesehatan dapat bekerja secara produktif.
“Setiap dokter dan tenaga kesehatan pasti akan selalu melakukan yang terbaik bagi masyarakat. Tindakan kekerasan pada tenaga kesehatan tentunya akan mengganggu pelayanan pada masyarakat,” ujarnya melalui keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com, Selasa, 19 April 2022.
Ganggu Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Pada kasus dokter bedah onkologi James Redi yang dikabarkan mengalami pemukulan yang dilakukan oleh keluarga pasien pada tahun 2022, Ketua IDI Wilayah Papua, Donald Aronggear juga menegaskan kejadian tersebut dapat mengganggu pelayanan Kesehatan pada masyarakat setempat.
Apalagi selama ini wilayah Indonesia Timur terutama Papua sangat kekurangan tenaga kesehatan dokter spesialis. Hal tersebut karena minimnya jaminan perlindungan dari pemerintah setempat dan aparat pada tenaga kesehatan.
Donald mengatakan, saat ini hanya ada dua dokter spesialis bedah onkologi di wilayah Papua. Dokter-dokter tersebut harus melayani sekitar 4,3 juta penduduk.
Tindak kekerasan terhadap dokter James Redi bukan yang pertama kali menimpa tenaga kesehatan di Papua. Beberapa pekan sebelumnya, seorang bidan bernama Sri Lestari meninggal dunia karena penganiayaan kelompok tertentu.
Advertisement