Liputan6.com, Jakarta Kanker adalah salah satu jenis penyakit silent killer karena gejala awalnya yang tak terlihat. Dari beberapa jenis kanker yang ada, kanker payudara menempati urutan pertama di Indonesia dan juga menjadi salah satu penyumbang kematian pertama akibat kanker.
Data Globocan pada 2020 seperti dikutip laman Kemkes.go.id melaporkan jumlah kasus baru kanker payudara mencapai 68.858 kasus (16,6%) dari total 396.914 kasus kanker di Indonesia. Jumlah kematian akibat kanker payudara mencapai lebih dari 22 ribu jiwa kasus, dan menjadi salah satu penyumbang kematian tertinggi akibat kanker.
Baca Juga
Elvida Sariwati, Plt Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kemenkes mengatakan ada 70% kanker payudara dideteksi sudah di tahap lanjut. Sebenarnya kata Elvida, jika ada deteksi awal penyakit, kematian dapat ditanggulangi.
Advertisement
Selain angka kematian yang cukup tinggi, penanganan pasien kanker yang terlambat menyebabkan beban pembiayaan yang kian membengkak. Pada periode 2019-2020, pengobatan kanker menghabiskan pembiayaan BPJS luar biasa fantastis, yaitu sekitar Rp7,6 triliun.
Menurut data terbaru dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2020, diperkirakan ada sekitar 2,3 juta kasus baru kanker payudara di seluruh dunia. Angka tersebut menjadikan kanker payudara sebagai jenis kanker yang paling umum diderita oleh wanita di seluruh dunia.
Penyebab Kanker Payudara Berdasarkan Riset
Ada banyak sebab pemicu kanker payudara dan sebagian besar kasus di Indonesia dikaitkan dengan faktor risiko seperti faktor lingkungan, gaya hidup yang tidak sehat, dan faktor genetik. Beberapa faktor risiko lingkungan meliputi polusi udara, radiasi, dan paparan zat kimia seperti pestisida dan bahan kimia industri.
Berdasarkan hasil riset kesehatan dunia, paparan senyawa kimia berbahaya dari kemasan plastik polikarbonat yang mengandung Bisphenol A (BPA) dicurigai dapat berisiko ikut memicu kanker payudara. Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Environmental Research, peneliti dari Zhejiang University, China, melakukan meta-analisis yang bertujuan untuk mengevaluasi risiko kanker payudara terkait paparan BPA.
Dengan menganalisis data dari 28 studi epidemiologi, peneliti menemukan bahwa paparan BPA terkait dengan peningkatan risiko kanker payudara pada wanita. Temuan ini dipublikasikan di Jurnal Environmental Research dengan judul Bisphenol a Exposure and Breast Cancer Risk: a Meta-Analysis (Chen Y, 2020).
Paparan tim Zhejiang di jurnal tersebut menyebutkan bahwa secara keseluruhan, meta-analisis menunjukkan bahwa paparan BPA secara signifikan terkait dengan peningkatan risiko kanker payudara pada perempuan. Asosiasi positif ini lebih signifikan pada perempuan pasca-menopause yang mendukung gagasan bahwa paparan BPA dalam jangka panjang dan akumulatif mungkin menjadi periode yang lebih kritis untuk perkembangan kanker payudara.
Penelitian lainnya secara spesifik juga menunjukkan keterkaitan yang sama. Dalam sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal American Association for Cancer Research (AACR), menunjukkan bahwa paparan BPA dapat memicu sel kanker payudara, sebagaimana dipaparkan oleh tim penelitinya dengan judul Bisphenol A Induces a Profile of Tumor Aggressiveness in High-Risk Cells from Breast Cancer Patients.
Menurut salah satu studi awal tentang BPA dan kanker payudara tersebut, diketahui bahwa paparan tanpa sengaja terhadap bahan kimia di lingkungan bisa meningkatkan risiko kanker dan membuat tumor lebih mungkin untuk kembali tumbuh. Para ahli tersebut juga telah melakukan penelitian baru dengan mengambil sampel jaringan payudara yang berisiko tinggi dari pasien kanker payudara menggunakan teknik jarum halus.
Dalam penelitian tersebut, mereka mencoba untuk menemukan perubahan spesifik pada molekul dalam jaringan payudara yang disebabkan oleh bahan kimia seperti BPA, yang dikenal sebagai xenoestrogen. Hasil penelitian pun menunjukkan efek dari BPA, lebih sering terlihat pada tumor payudara yang memiliki derajat histologis tinggi dan ukuran tumor besar.
Hal tersebut dapat mempengaruhi kelangsungan hidup pasien yang mengalami kanker payudara. Penelitian ini menunjukkan bahwa paparan bahan kimia pengganggu endokrin dapat memainkan peran dalam memicu kanker payudara dan membuatnya sulit untuk disembuhkan.
Advertisement
Faktor Risikonya dari Kemasan Plastik?
Sudah menjadi rahasia umum kalau BPA sempat dijadikan bahan pembuatan plastik polikarbonat dalam wadah makanan atau kemasan minuman. Guru besar Departemen Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Andri Cahyo Kumoro menjelaskan bahwa kontaminasi senyawa BPA bisa terjadi apabila ada pemanasan dan gesekan.
Dalam kemasan minuman misalnya, menurutnya, dapat terjadi migrasi BPA dari kemasan ke dalam air dan hal ini paling banyak terjadi di kota besar. Prof. Andri memberi contoh galon bekas pakai yang frekuensi peredarannya di kota-kota besar jauh lebih tinggi dibanding daerah di luar perkotaan.
"Di kota besar siklusnya lebih cepat. Di depo-depo isi ulang, saya melihat di beberapa daerah, pembersihan galon polikarbonat dilakukan secara tradisional karena yang penting cepat. Padahal seharusnya menggunakan sikat yang lembut sehingga kemungkinan kecil terjadinya pelecutan (migrasi) BPA," katanya.
Untuk informasi, dalam kategori plastik, plastik polikarbonat yang mengandung BPA dikenali dengan nomor kode plastik (7) yang secara umum dikategorikan berisiko. Menurut Prof. Andri, banyak masyarakat tidak paham kode-kode dalam kemasan plastik. Maka dari itu, dia menyarankan agar kemasan yang mengandung BPA diberi label agar tidak dikonsumsi oleh bayi, balita dan janin pada ibu hamil.
(*)