Liputan6.com, Jakarta - Masalah kesehatan mental penduduk di Indonesia sudah mengkhawatirkan. Tak hanya pada orang dewasa, ternyata masalah kesehatan mental juga banyak dialami oleh penduduk usia anak.
Psikolog sekaligus ketua komunitas Wanita Indonesia Keren (WIK), Maria Ekowati mengungkap, menurut data-data yang dirujuk dari beberapa penelitian di berbagai daerah, 57 persen anak TK di Semarang telah mengalami gangguan mental emosional. Sementara itu, penelitian di Denpasar menunjukkan sebesar 83,3 persen anak usia 6 tahun memiliki skala emosional yang abnormal.
Baca Juga
“Tak hanya itu, penelitian dari Jakarta juga menunjukkan 28 persen anak usia dini mengalami perkembangan emosional yang meragukan,” katanya dalam acara Media Briefing bertajuk ‘Pentingnya Kesehatan Mental untuk Cegah Bullying dan Flexing’ oleh WIK di kawasan Jakarta Selatan pada Jumat, (26/5/2023).
Advertisement
Dalam kesempatan yang sama, dokter peneliti sekaligus Ketua Health Collaborative Center, dr. Ray Wagiu Basrowi, mengatakan bahwa salah satu penyebab dari tingginya angka tersebut adalah kasus bullying atau perundungan yang banyak dialami anak.
Oleh sebab itu, menurutnya, penting bagi orangtua untuk melakukan pendekatan yang efektif dalam mengajarkan anak agar tidak menjadi pelaku bullying.
Lakukan Strategi Komunikasi Dampak
Ray mengatakan, pendekatan efektif dan mudah dilakukan orangtua adalah dengan melakukan komunikasi dampak.
“Ajaran anti-bullying itu harus berorientasi pada dampak. Dalam arti, semua komunikasi yang disampaikan kepada anak terkait bullying, yang terpenting adalah bahwa bullying itu memiliki dampak negatif yang beragam,” kata pria lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi tersebut.
Sederhanakan Penjelasan Dampak
Lebih lanjut, Ray menuturkan, penjelasan tentang dampak bullying perlu disederhanakan agar anak bisa menyerap informasi dengan baik.
“Penjelasan tentang dampaknya harus disederhanakan. Misalnya, kalau Anda membully, berarti Anda merusak kepribadian orang lain,” lanjutnya.
Penjelasan Berorientasi kepada Contoh
Tak hanya untuk orangtua, Ray juga mengungkap, penjelasan tentang bullying yang efektif juga merupakan tugas sistem pendidikan Indonesia.
Salah satunya, pengajaran anti-bullying harus dengan menyertakan contoh. Menurutnya, pemerintah perlu memasukkan ajaran anti-bullying ke dalam kurikulm pendidikan.
“Contoh simpel, di kurikulum kita belum ada pengajaran seperti gambar-gambar atau ilustrasi yang menunjukkan bahwa bullying itu memengaruhi kesehatan mental anak,” tuturnya.
“Saran dari beberapa akademisi, adakan contoh-contoh seperti itu di buku-buku pelajaran,” Ray melanjutkan.
Advertisement
Sudah Diterapkan Kawasan Skandinavia
Peneliti di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) mengungkap, pengajaran berbasis contoh sudah diterapkan di negara-negara Skandinavia.
“Di negara-negara Skandinavia, di buku-buku kurikulum anak PAUD, sekolah dasar (SD), itu ada satu bab khusus yang mengajarkan anti-bullying. Contohnya, intimidasi itu bukan hanya fisik, tapi juga verbal,” tutur Ray.
Dengan ilustrasi yang mudah dimengerti anak, kurikulum di kawasan yang berada di Eropa tersebut memberikan penjelasan sesederhana mungkin.
“Misalnya, hindari kata-kata yang menyerang fisik, seperti warna kulit. Itu perlu dijelaskan ke anak-anak, kata-kata seperti ini dapat berpotensi membuat teman menjadi rendah diri, tidak mau berteman, dan lainnya,” dia menambahkan.
Penjelasan tentang Bullying dalam Bahasa Daerah
Tak hanya dengan gambar, penjelasan sederhana tentang bullying juga bisa dilakukan dengan pendekatan kedaerahan. Misalnya, mengutip Ray, dengan penjelasan dalam bahasa daerah.
“Bahkan, ada salah satu penelitian tentang bullying di Surabaya, dari Universitas Airlangga, itu dibikin dalam bentuk bahasa daerah,” tuturnya.
Hindari Konsep Strata Sosial dan Ekonomi
Menurut Ray, penting untuk diketahui bahwa anak dari usia balita sampai sekolah dasar belum mengerti konsep strata atau tingkatan.
Dengan begitu, hindari mengajarkan anak secara langsung mengenai strata sosial, ekonomi, dan sebagainya.
“Dalam psikologi itu ada yang namanya Teori Piaget. Teori itu berkata bahwa konsep strata ekonomi, sosial, itu sebenarnya konsep yang abstrak bagi anak-anak. Memang perlu diperkenalkan, tetapi bukan dalam konsep strata, melainkan dalam konsep keragaman,” jelas Ray.
Lebih lanjut, Ray mengungkap, dengan mengetahui konsep strata, anak dapat mengidentifikasi dirinya memiliki strata sosial yang lebih rendah dibanding temannya, dan lain-lain.
Hal ini karena, menurut Ray, jika konsep strata langsung diperkenalkan kepada anak, mereka akan langsung menangkap kecenderungan yang tak baik tentang diri atau teman mereka secara strata sosial.
“Mereka akan langsung merekam di otak. ‘Oh, strata saya lebih rendah dibanding strata teman saya, atau lebih tinggi’, dan lain-lain,” ujarnya.
Dengan demikian, Ray berharap, para orangtua dan sistem pendidikan di Indonesia menerapkan pengajaran mengenai kesetaraan untuk anak-anak.
Advertisement