Sukses

WHO Ingatkan Soal Prediksi Pandemi Baru, Peneliti: Frekuensinya Memang Akan Makin Sering

Pihak WHO sudah memberikan peringatan kembali soal ancaman pandemi baru. Berkaitan dengan hal itu, epidemiolog sekaligus peneliti menyebut jikalau frekuensi pandemi memang mungkin makin sering di masa depan.

Liputan6.com, Jakarta Belum lama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan angin segar soal status kedaruratan pandemi COVID-19 yang tidak lagi berlaku. Kini, pihak WHO memberikan peringatan kembali soal ancaman pandemi baru.

Pernyataan itu keluar langsung dari Direktur Jenderal WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus. Tedros menuturkan, negara-negara di seluruh dunia harus bersiap menghadapi pandemi berikutnya.

Diperingatkan pula jikalau keadaan darurat kesehatan di masa depan ada risiko lebih buruk daripada pandemi COVID-19 yang terjadi sebelumnya.

Selaras dengan WHO, epidemiolog sekaligus peneliti Global Health Security Policy Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Australia, Dicky Budiman mengungkapkan bahwa frekuensi pandemi baru memang akan makin sering.

"Bicara pandemi, frekuensinya memang akan lebih sering. Itu karena beberapa faktor," ujar Dicky melalui keterangan pada Health Liputan6.com ditulis Sabtu, (27/5/2023).

Penyebab Pandemi Bisa Makin Sering

Menurut Dicky, pandemi baru bisa makin sering terjadi di masa depan karena beberapa hal. Salah satunya akibat meningkatnya intensitas dan interaksi antara manusia dan hewan di alam liar.  

Seperti diketahui, beberapa penyakit yang sudah ada memang bisa disebabkan oleh hewan atau yang lebih sering disebut dengan zoonotic disease.

"Itu (interaksi dan intensitas antara manusia dan hewan meningkat) yang memperbesar risiko terjadinya zoonotic disease, penyakit yang ada di hewan pindah ke manusia," kata Dicky.

2 dari 4 halaman

Globalisasi dan Urbanisasi yang Berkontribusi

Lebih lanjut Dicky mengungkapkan bahwa adanya globalisasi dan urbanisasi turut berkontribusi dalam menyebabkan pandemi baru yang bisa semakin sering di masa depan.

Sebab, menurutnya, transportasi modern yang cepat menyebabkan peningkatan dan semakin mudahnya suatu penyakit untuk dapat menular di berbagai wilayah dunia.

Sedangkan, Dicky menambahkan, kondisi di perkotaan yang padat juga bisa memfasilitasi cepatnya penyebaran penyakit. Ditambah lagi, manusia akan semakin kebal dengan antibiotik yang sudah ada.

"Terakhir adalah kembali ke antibiotic resistant. Faktor banyaknya antibiotik yang sudah tidak bisa mempan lagi dalam mengobati infeksi akibat bakteri yang akhirnya menyebabkan bakteri makin sulit dikontrol," kata Dicky.

"Mereka akhirnya menyebabkan masalah kesehatan dalam bentuk epidemi atau yang lebih buruk," sambungnya.

3 dari 4 halaman

Patogen yang Punya Risiko Bikin Penyakit Baru

Selain itu, Dicky menjelaskan bahwa ada beberapa patogen yang dapat menyebabkan penyakit atau berisiko menimbulkan pandemi di masa depan. Seperti influenza dan COVID-19, misalnya.

"Kalau dalam analisa saya, pertama, influenza. Meskipun virus influenza memiliki vaksin, tapi strain baru itu terus ada. Mutasi virusnya cepat sekali. Terutama strain seperti H1N1 dan H3N2 yang pada periode sejarah manusia dahulu pernah menjadi penyebab pandemi," ujar Dicky.

"Artinya, strain di masa datang dari H1N1 dan H3N2 itu bisa juga menjadi penyebab pandemi berikutnya," sambungnya.

Kedua, coronavirus. Hal tersebut lantaran coronavirus bukan hanya COVID-19 saja.

"Ini semua (SARS dan MERS) masuk dalam kelompok coronavirus, keluarganya. Memperlihatkan potensi untuk dapat menyebabkan pandemi. Itu terbukti dari COVID-19 yang bisa menyebabkan penyakit parah pada manusia," kata Dicky.

4 dari 4 halaman

Daerah yang Masuk Kategori Berisiko

Dalam kesempatan yang sama, Dicky pun menjelaskan soal wilayah mana saja yang masuk kategori berisiko. Ternyata, wilayah ASEAN masuk di dalamnya.

"Wilayah atau negara yang masuk kategori hot spot atau red zone, menjadi kontributor lahirnya new emerging disease atau penyakit baru yang bisa menjadi pandemi adalah ASEAN (South Asia)," ujar Dicky.

"Indochina lebih tepatnya, karena apa? Karena kawasan ini adalah kawasan yang kaya dengan kehidupan liar hewan dan alamnya, yang kita tahu lebih dari 90 persen jenis virus yang berpotensi menjadi zoonotic disease ada di alam liar dan belum ditemukan oleh manusia," tambahnya.

Dicky menjelaskan, kategori red zone umumnya berada pada daerah tropis. Termasuk pula daerah Amerika Latin, kawasan hutan Amazon, dan daerah yang punya kawasan tropis lainnya.

"Oleh karena itulah, maka negara-negara yang ada di kawasan itu perlu untuk meningkatkan strategi pencegahan. Dalam hal ini, one health," kata Dicky.