Sukses

Benarkah Uang Tidak Bisa Membeli Kebahagiaan?

Pepatah mengatakan uang tidak dapat membeli kebahagiaan, padahal orang-orang bekerja keras untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan bahagia. Jadi, mana yang benar?

Liputan6.com, Jakarta - Anda pasti pernah mendengar ungkapan “uang tidak bisa membeli kebahagiaan” Padahal, orang-orang bekerja keras untuk mendapatkan uang guna mencukupi kebutuhan. Jadi, bagaimana kebenarannya?

Pertama-tama, mari pahami terlebih dahulu apa itu bahagia. Definisi kebahagiaan bervariasi bagi tiap orang.

"Meski kebahagiaan seseorang biasanya bergantung pada keselamatan dan kesejahteraan—berdasarkan gaji yang didapatkan—ini juga bergantung pada nilai-nilai yang dijunjung," jelas terapis kesehatan mental berlisensi Billy Roberts kepada Health.

Tentu saja, tiap orang didorong oleh nilai-nilai yang berbeda. Bagi sebagian orang, nilai terletak pada kekuatan, sementara yang lain berpendapat bahwa keamanan atau perawatan diri adalah yang utama.

"Seseorang yang didorong oleh kekuasaan mungkin memiliki kebutuhan finansial yang berbeda dari seseorang yang lebih memprioritaskan keamanan," jelas Roberts. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi kebahagiaan atau persepsi kebahagiaan seseorang dengan mengonversikan uang menjadi kebahagiaan emosional.

"Pada akhirnya, gaji harus mendukung gaya hidup yang didasarkan oleh value," kata Roberts.

Benarkah Penghasilan Dapat Meningkatkan Kebahagiaan Seseorang?

Sebuah artikel tahun 2021 yang diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) meneliti hubungan yang rumit dan kompleks antara uang dan kesejahteraan.

Artikel tersebut mensurvei lebih dari 33.000 orang dewasa di Amerika Serikat yang bekerja serta lebih dari 1,7 juta sampel. Hasilnya, terdapat hubungan langsung antara pendapatan yang lebih tinggi dengan merasa lebih baik dari hari ke hari dan lebih puas dengan kehidupan secara keseluruhan.

Data menunjukkan bahwa kebahagiaan justru meningkat selaras dengan semakin besar pendapatan. Ini berarti bahwa semakin banyak uang yang dihasilkan, maka orang tersebut akan semakin bahagia.

Lebih tepatnya, dengan gaji tinggi, seseorang jadi bisa membeli barang-barang yang diinginkan dan melakukan aktivitas yang disukai, yang pada akhirnya membuat hati senang.

2 dari 4 halaman

Apakah Kemiskinan Mempengaruhi Kebahagiaan?

Di sisi lain, orang dengan penghasilan rendah mungkin mengalami lebih banyak stres dan tekanan.

Psikolog klinis berlisensi dan profesor psikologi Margaret Sala, PhD, yang berpraktik di Connecticut, mengatakan bahwa kemiskinan dapat meningkatkan stres. Dengan kata lain, orang dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah dapat mengembangkan persepsi ketidakbahagiaan serta emosi negatif lainnya.

Tak hanya itu, penyakit yang diderita juga bisa menjadi faktor yang mempengaruhi kebahagiaan seseorang. "Penyakit bisa berdampak jauh lebih buruk bagi mereka yang miskin dan tidak bisa mendapatkan perawatan medis," tutur Sala.

Selain karena rasa sakit yang dialami, tekanan akan biaya yang perlu dikeluarkan tentu lebih membebani mereka dengan penghasilan yang tidak seberapa.

Contoh lainnya yaitu tidak mendapatkan bantuan dalam mengerjakan tugas sulit, seperti mengasuh anak atau membersihkan rumah—hal-hal yang biasanya tidak menjadi masalah bagi seseorang yang berkecukupan karena dapat dengan mudah mempekerjakan asisten rumah tangga atau babysitter.

3 dari 4 halaman

Apakah Stres Memengaruhi Kebahagiaan?

Meski penghasilan tinggi bisa membawa kebahagiaan, Sala berpendapat bahwa beberapa individu dengan gaji yang lebih besar mungkin tidak dapat menikmati kesenangan kecil dalam hidup karena pekerjaan yang penuh tekanan dan menyibukkan.

Sebuah survei pada tahun 2018 dari LinkedIn menemukan bahwa karyawan AS yang menghasilkan lebih banyak uang mengalami tingkat stres yang jauh lebih tinggi—hingga 68 persen.

Walaupun pendapatan yang lebih tinggi dapat digunakan untuk mencari kesenangan seperti liburan di kapal pesiar atau menikmati makan malam di restoran mewah, Sala mencatat bahwa stres dapat menjadi faktor utama yang memengaruhi kebahagiaan seseorang.

"Dari sisi neurosains, kekurangan uang dan sumber daya memberi sinyal ke otak bahwa ada ancaman bagi kelangsungan hidup kita," jelas dokter metafisika dan pekerja sosial klinis berlisensi Renetta Weaver kepada Health.

Faktanya, kemiskinan dapat memengaruhi fungsi kognitif seseorang, mengubah pola pikirnya dan mengurangi kinerja dalam memori verbal dan kecepatan pemrosesan, sebut sebuah artikel tahun 2013 yang diterbitkan di Science.

4 dari 4 halaman

Bisakah Seseorang Bahagia Tanpa Uang?

Jika uang tidak bisa benar-benar membeli kebahagiaan, bagaimana orang bisa bahagia dengan apa yang dimiliki, terlepas dari tingkat pendapatan?

"Jika kita tidak menyamakan uang dan hal-hal yang dimiliki dengan nilai yang dijunjung, kita dapat menemukan kebahagiaan dalam sesuatu yang tidak dapat dibeli dengan uang, misalnya waktu berkualitas atau pengalaman," ucap Weaver.

Milana Perepyolkina, seorang penulis buku tentang kebahagiaan, menambahkan bahwa orang seringkali mencampur adukkan kesenangan dengan kebahagiaan, yang berarti korelasi antara gaji dengan kesejahteraan emosional mungkin tidak akurat.

"Jika Anda makan sepotong kue, itu merupakan kesenangan. Begitu selesai, kesenangan itu hilang," tutur Perepyolkina. "Ketika Anda menghabiskan uang, itu merupakan kesenangan. Beberapa jam kemudian, kesenangan itu juga menghilang."

Perepyolkina menggarisbawahi bahwa bahkan orang-orang tertentu yang hidup miskin, misalnya tunawisma, juga bisa tersenyum gembira.

Bagaimana seseorang yang hampir tidak memiliki apa-apa bisa begitu bahagia? Perepyolkina menyebut itu mungkin karena dia bersyukur atas apa yang dimiliki, seperti kehidupan, keluarga, dan komunitasnya.

 

(Adelina Wahyu Martanti)