Liputan6.com, Jakarta - Sejak puluhan tahun lalu, rabies masuk dalam daftar penyakit paling menakutkan yang dapat menular dari hewan ke manusia. Penularan rabies ke manusia sendiri terjadi lewat gigitan hewan yang terinfeksi.
Hal itu turut dikonfirmasi oleh pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI yang menemukan jikalau 95 persen kasus rabies pada manusia memang terjadi karena gigitan anjing yang terinfeksi.
Baca Juga
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes RI, Dr Imran Pambudi mengungkapkan bahwa sebagian besar kasus rabies pada manusia disebabkan karena pasien terlambat untuk memeriksakan kondisi ke fasilitas kesehatan atau faskes.
Advertisement
Banyak Orang Sepelekan Gigitan Anjing
Seringkali, pasien menyepelekan gigitan anjing, terutama yang tidak menimbulkan luka. Kemudian kepanikan baru muncul saat anjing yang menggigit mereka tiba-tiba mati dan diduga terkena rabies.
"Mereka merasa, 'Ah, ini gigitannya kecil kok. Enggak sampai berdarah kok. Anjingnya juga anjing tetangga yang biasa main dengan saya kok'. Jadi menyepelekan," ujar Imran saat konferensi pers bersama Kemenkes RI ditulis Minggu, (4/6/2023).
"Sehingga mereka datang pada kondisi yang seringnya itu di atas satu bulan setelah digigit," tambahnya.
Imran mengungkapkan bahwa pada gigitan anjing rabies yang terlambat ditangani, sulit untuk para tenaga kesehatan bisa memeriksa secara sigap soal kondisi anjing yang bersangkutan.
"Artinya kalau sudah satu bulan, kita tidak tahu hewannya seperti apa dan rata-rata mereka baru panik bawa ke faskes setelah tahu anjing yang menggigit itu mati," kata Imran.
Kelompok Manusia yang Dianggap Lebih Rentan Kena Rabies
Lebih lanjut Imran mengungkapkan bahwa pada dasarnya tidak ada kelompok yang benar-benar paling rentan maupun paling aman dari infeksi rabies.
Hanya saja, anak-anak masuk dalam kategori rentan karena ukuran tubuhnya yang memang lebih kecil dibandingkan orang dewasa. Sehingga, lebih mudah terkena gigitan tak terduga oleh anjing liar.
"Tidak ada orang yang punya kekebalan terhadap rabies. Tapi anak-anak itu semakin rentan karena dia kecil, pendek, jadi dia kalau tergigit lebih dekat dengan kepala. Jadi dia lebih vulnerable," ujar Imran.
Seperti diketahui, gigitan dari anjing yang mengalami rabies bisa menimbulkan kerusakan pada saraf manusia. Imran mengungkapkan, letak gigitannya turut berpengaruh dalam menentukan soal risiko kerusakan sarafnya.
"Prinsipnya kalau lokasi gigitannya semakin dekat dengan saraf itu prognosisnya lebih buruk, karena dia akan cepat sampai ke saraf tadi," kata Imran.
Advertisement
Hal Lain yang Bisa Dilakukan untuk Cegah Penularan Rabies
Dalam kesempatan yang sama, Imran mengungkapkan bahwa perlu adanya manajemen tersendiri yang bisa mengontrol atau mencegah penularan rabies.
"Tidak bisa kita membiarkan anjing-anjing berkeliaran di luar. Apalagi tidak ada pemiliknya. Setelah ketangkap, maka harus dilakukan vaksinasi," kata Imran.
Imran pun memberi contoh seperti adanya Peraturan Gubernur Bali tahun 2015. Dari peraturan itu, ada larangan agar anjing-anjing tidak boleh berkeliaran tanpa ada pemilik.
"Kalau di sana ada hewan liar yang kemudian tidak ada pemiliknya, itu akan ditangkap. Ditaruh shelter. Kalau dalam dua minggu tidak ada pemiliknya, dia akan dimusnahkan," ujar Imran.
Namun, menurut Imran, penting untuk tetap mementingkan SOP tertentu agar tidak melanggar kesejahteraan hewan jikalau ada peraturan seperti yang diterapkan di Bali.
Penularan Rabies ke Manusia dari Gigitan Anjing
Akhir Mei 2023 lalu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) NTT juga sudah melaporkan adanya 46 kasus rabies yang tertular ke manusia.
Sejauh ini sepanjang 2023, data milik iSIKHNAS (sistem informasi kesehatan hewan Indonesia) melaporkan adanya 234 kasus rabies pada hewan dari 10 provinsi berbeda di Indonesia.
Provinsi yang dimaksud diantaranya ada Bali, Jambi, Kalimantan Selatan, Lampung, NTB, NTT, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sumatera Utara.
Advertisement