Sukses

Antarkan Makanan hingga Depan Pintu Rumah, Inovasi Desa Sopo NTT Atasi Stunting

Geliat pemerintah desa Sopo di Timor Tengah Selatan dalam mengupayakan penurunan stunting.

Liputan6.com, Jakarta Siang itu, belasan kotak makanan yang berisi nasi, telur rebus, ayam goreng tepung, tahu kecap, sayur serta tak ketinggalan pisang sudah siap. Ada juga beberapa kotak makanan yang berisi bubur dicampur daun kelor beserta lauk pauk siap diantar ke rumah target tujuan.

"Ini sudah siap. Harus dikirim ini untuk anak-anak yang stunting dan ibu hamil yang ada di sini. Total ada 19 orang yang akan menerima," kata Astri, salah seorang ibu PKK di Desa Sopo, Kecamatan Amunuban Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Bukan cuma sehari atau seminggu melainkan selama 90 hari program pemberian makanan itu dijalankan. Setiap harinya, seluruh ibu hamil yang ada di Desa Sopo serta anak stunting mendapatkan satu kali makanan padat gizi tersebut.

Maka dari itu, setiap hari ada ibu PKK yang bertugas memasak sedari pukul 9 pagi di kompleks Balai Desa. Menu makanan pun diatur sedemikian rupa agar padat gizi. Namun, tak lupa menyertakan bahan pangan lokal seperti kacang nasi (Vigna umbelatta), daun kelor, serta jagung yang mudah ditemukan di sana untuk menambah gizi pangan yang disajikan.

Setelah makanan siap, ada orang yang bertugas untuk mengantarkan makanan tersebut hingga ke depan rumah. Jarak terjauh yang diantarkan  makanan tersebut berada di dusun 2, sekitar 7 kilo meter dari titik pengiriman.

Kepala Desa Sopo, Kornelius Jabi, mengatakan bahwa upaya penangan stunting dengan cara ini dilakukan mengingat bahwa anak merupakan aset desa. Nantinya, anak-anak inilah yang bakal melanjutkan pembangunan desa Sopo.

"Ini kan dari mereka untuk mereka dan demi kebaikan mereka," kata Kornelius ditemui di Kantor Balai Desa Sopo di akhir Mei 2023.

2 dari 4 halaman

Seluruh Ibu Hamil Dapat Kiriman Makanan

Astri menjelaskan awal program ini berjalan beberapa tahun lalu dengan target anak stunting dan ibu hamil kategori kekurangan energi kronis (KEK).

KEK adalah kekurangan energi yang memiliki dampak buruk terhadap kesehatan ibu dan pertumbuhan perkembangan janin. Ibu hamil dikategorikan KEK jika Lingkar Lengan Atas (LILA) kurang dari 23,5 cm.

Namun, sempat ada kasus ibu sehat alias tidak KEK melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Seperti diketahui anak dengan BBLR memiliki risiko tumbuh stunting yang lebih besar.

"Sejak saat itu, ibu PKK dan pemerintah desa bersepakat, mending enggak usah dipilah ibu hamil KEK atau tidak, semua ibu hamil kita kirimkan makan saja," jelas Astri.

Upaya tersebut rupanya mendapatkan hasil, Astri menuturkan bahwa setelah pemberian makanan tersebut kebanyakan ibu hamil melahirkan bayi dengan berat badan yang baik yakni di atas 2,5 kg.

"Puji Tuhan, yang melahirkan dengan berat badan bayi banyak normal. Yayyyy.....," kata Astri bersorak dan tertawa lebar.

"Bukan artinya memuji, ini suatu kesenangan tersendiri mengingat kami masih bergumul dengan angka stunting yang tinggi."

Saat ini, kasus stunting di Desa Sopo masih di angka 70 anak. Namun, angka ini jauh lebih baik dibandingkan beberapa waktu yang lalu di angka 81.

"Puji Tuhan ada pengurangan, walau angka 70 ini masih tinggi," kata Astri.

 

3 dari 4 halaman

Program Pos Gizi dari Wahana Visi Indonesia Bantu Ibu-Ibu Olah Pangan Bergizi

Setiap hari menu makanan yang dibuat ibu PKK di Desa Sopo untuk dikirimkan ke anak-anak stunting dan ibu hamil berbeda-beda. Namun, tetap padat gizi.

Informasi yang didapatkan di kelas Pos Gizi yang diadakan oleh Wahana Visi Indonesia (WVI) pada akhir 2022 membantu para ibu-ibu PKK membuat makanan bergizi dari yang ada di sekitar lingkungan di sana. 

Astri merupakan salah ibu PKK yang juga menjadi relawan dalam Pos Gizi yang diadakan Wahana Visi Indonesia bermitra dengan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Di kelas Pos Gizi itu, Astri bersama relawan lain belajar mengolah makanan yang banyak tersedia di desa untuk masuk dalam menu makanan yang dikirimkan ke ibu hamil dan anak yang kekurangan gizi di desa tersebut.

Salah satu menu yang dibuat adalah berbahan kacang nasi dan daun kelor untuk masuk dalam menu makanan yang dikirimkan.

"Biasanya mereka kan beli menu dari luar tapi setelah ada Pos Gizi, kan juga sempat belajar juga hitung-hitungan kalori, protein seperti apa, vitamin seberapa banyal. Bahan-bahan yang kebanyakan sekarang dipakai dari belajar di kelas Pos Gizi itu, termasuk menggunakan kacang nasi," kata staf GMIT kemitraan dengan Wahana Visi Indonesia di Desa Sopo, Marthen Mantaon.

Tentang Pos Gizi

Program Pos Gizi merupakan salah satu bentuk respons Wahana Visi Indonesia melihat tingginya angka stunting di desa ini. Sehingga dibuatlah program Pos Gizi menggunakan pendekatan penyimpangan positif dengan pemberdayaan masyarakat pada akhir 2022 lalu dengan target anak-anak di Desa Sopo dengan status gizi kurang. Harapannya status gizi bisa lebih baik tidak jatuh dalam stunting

"Mendorong desa untuk ada Pos Gizi sebagai bentuk respons kami atas kasus stunting yang masih tinggi," kata Area Program Cluster Timora (Timor dan Alor) Wahana Visi Indonesia, Berwaddin Ibrani Simbolon ditemui di Desa Sopo pada Mei lalu. 

Dalam program Pos Gizi tersebut, ada 18 anak dengan status gizi kurang. Para orangtua diajak untuk berkomitmen mengikuti kelas Pos Gizi selama 10 hari. Harapannya agar segera terjadi perbaikan nutrisi sehingga terjadi kenaikan berat badan dan tidak masuk dalam kategori stunting. 

Sebelum program anak-anak tersebut ditimbang berat badan dan tinggi badannya. Sehingga bisa diketahui bagaimana pertumbuhan dalam 10, 30, 60 dan 90 hari ke depan. Target ideal dalam program ini adalah bisa menaikkan berat badan anak sebanyak 900 gram dalam 90 hari.

Sebelum kelas dimulai, tim WVI mencari tahu makanan yang biasa dikonsumsi anak-anak bergizi baik tapi dari keluarga kurang mampu. Didapatlah beberapa bahan lokal yang biasa dikonsumsi seperti daun kelor, kacang nasi, jagung halus, pisang, pepaya dan sebagainya. 

"Bahan-bahan itu didapatkan dari desa dan bisa diterapkan di masyarakat. Lalu, juga jadi pembelajaran bahwa gizi baik itu enggak harus mahal atau dari keluarga mampu saja, semua keluarga bisa," kata Marthen.

Lalu, pada hari pertama Pos Gizi, para relawan yang memasak makanan yang sudah disiapkan oleh tim Wahana Visi Indonesia bermitra dengan GMIT. Bahan makanan tersebut didapatkan berdasarkan makanan yang biasa dikonsumsi anak bergizi baik yang berasal dari keluarga kurang mampu.

"Makanannya sudah kami siapkan, maksimal 300 gram berat bahan pangan itu, sudah kami hitung dari karbohidrat, protein dan vitaminnya. Lalu, para relawan yang terdiri dari tenaga kesehatan desa, ibu-ibu yang mengolah makanan tersebut," kata Marthen.

Baru pada hari kedua hingga kesembilan para orangtua dengan gizi kurang tersebut yang memasak. Harapannya, orangtua paham betul usai kelas 10 hari lalu bisa diaplikasikan di rumah.

Setelah proses memasak selesai, anak-anak diminta untuk makan serta harapannya bisa habis menu makanan tersebut.

"Bahan makanan yang disediakan kurang dari 300 gram itu harapannya, walaupun sedikit tapi padat gizi, sehingga anak-anak bisa menghabiskannya," kata Marthen lagi.

Pada hari ke-90 dievaluasi program Pos Gizi, hasilnya menggembirakan. Semua anak mengalami kenaikan berat badan meski tidak semua tidak mencapai target yang ditetapkan.

"Ada beberapa yang sakit sehingga berat badan tidak bisa mencapai target," kata Marthen.

Salah satu pencapaian kenaikan berat badan yang optimal didapat pada Amri. Berat badan anak berusia tiga tahun tersebut awalnya 9,1 kg lalu pada hari ke 90 menjadi 10,4 kg. Dengan mengikuti kelas Pos Gizi selama sepuluh hari lalu sang ibu mengaplikasikan ilmu yang didapat di rumah membantu menaikkan berat badan Amri.

 

4 dari 4 halaman

Angka Stunting di Timor Tengah Selatan

Bersama Wahana Visi Indonesia, Liputan6.com berkesempatan bertemu dengan Bupati Timor Tengah Selatan, Egusem Pieter.

Ia menyatakan bahwa wilayah yang dipimpinnya itu sempat memiliki angka stunting tertinggi nomor dua di Indonesia. Namun, kini sudah tidak lagi.

Kabupaten Timor Tengah Selatan memang pernah memiliki angkat stunting tertinggi di Nusa Tenggara Timor. Menurut Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, prevalensi angka stunting di Timor Tengah Selatan mencapai 48,3 persen. Data terbaru, per Februari kemarin, angka stunting di Timor Tengah Selatan sudah turun di angka 24,1 persen.

"Ya kita sementara 24 persen pada Februari. Jadi, saat ini tinggal 9 ribu lebih nyaris 10 ribu anak stunting di sini," katanya.

"Penurunan stunting yang drastis ini membuat Presiden (Joko Widodo) sampai datang ke sini," kata pria yang karib disapa Epi ini.

Targetnya, tahun depan bisa menurunkan angka stunting sesuai program pemerintah yakni di bawah 14 persen.

Â