Liputan6.com, Jakarta - Bayang-bayang pandemi COVID-19 perlahan memudar. Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan segera mencabut status darurat pandemi COVID-19 di Indonesia. Hal itu akan diumumkannya dalam satu hingga dua pekan ke depan. Artinya, Indonesia segera bertransisi ke endemi.
"Sudah kita putuskan untuk masuk ke endemi, tetapi kapan diumumkan, baru dimatangkan dalam seminggu-dua minggu," ungkap Jokowi, Rabu, 14 Juni 2023 di Kantor BPKP Jakarta Timur.
Baca Juga
Kasus infeksi virus Corona yang dinilai mulai melandai menjadi landasan keputusan untuk mencabut status darurat COVID-19.
Advertisement
"Ya, (proses transisi) ini dimatangkan lah seminggu-dua minggu ini segera diumumkan karena memang semuanya sudah (landai)," Jokowi menjelaskan.
Orang nomor 1 di Tanah Air itu menyampaikan, jumlah kasus COVID-19 dalam beberapa hari terakhir hanya 217 dengan kasus aktif sebanyak 10.200. Capaian vaksinasi COVID-19 di Indonesia juga sudah di atas 452 juta dosis.
Data tersebut mendukung keputusan Indonesia untuk mulai menuju ke status endemi.
"Sehingga kita kemarin rapat dan sudah kita putuskan untuk masuk ke endemi," katanya.
Jokowi pun menegaskan akan mengumumkan pencabutan status kedaruratan pandemi COVID-19 dalam Juni ini. "InsyaAllah bulan ini."
Keputusan pemerintah untuk mencabut status darurat COVID-19 merujuk pada WHO yang telah lebih dulu mencabut status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) terhadap COVID-19. WHO mengumumkan hal itu pada 5 Mei 2023.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun menyampaikan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengapresiasi penanganan COVID-19 di Indonesia dan memberi lampu hijau untuk mencabut status kedaruratan nasional.
"Kami update (perbarui) progresnya kita (Indonesia) seperti apa dan mereka (WHO) sepertinya happy (senang) dan menyerahkan kembali ke Indonesia untuk mengambil keputusan," ujar Budi Gunadi usai rapat terbatas di Istana Kepresidenan Jakarta pada Selasa, 13 Juni 2023.
Indonesia, kata Budi Gunadi, menjadi salah satu dari sedikit negara yang berkonsultasi dengan organisasi internasional itu mengenai pengertian pandemi. Ini karena Indonesia melihat bahwa pandemi bersifat global, bukan hanya terjadi di masing-masing negara.
Hasil konsultasi dengan WHO itu, pemerintah perlu menyiapkan dan memastikan sejumlah hal ketika mencabut status darurat COVID-19, di antaranya pemahaman masyarakat akan protokol kesehatan, sistem surveilans dan deteksi, obat-obatan dan rumah sakit, hingga ketersediaan vaksin.
Status Darurat COVID-19 Dicabut, Akankah Vaksinasi Jadi Berbayar?
Rencana pemerintah untuk secara resmi segera mencabut status darurat pandemi COVID-19 memunculkan sejumlah tanya, salah satunya yakni mengenai vaksinasi COVID-19. Saat ini, vaksin COVID-19 masih diberikan secara gratis pada masyarakat guna menciptakan kekebalan kelompok di masa pandemi. Namun, jika status darurat dicabut, akankah vaksinasi COVID-19 jadi berbayar?
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, ada sejumlah penyesuaian jika pemerintah resmi mencabut status kedaruratan pandemi di Indonesia. Di antaranya yakni Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 akan dibubarkan, Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19 dicabut, vaksin akan masuk dalam skema pelayanan normal dan infeksi Corona termasuk dalam penyakit menular biasa.
Mengenai vaksinasi COVID-19, Muhadjir mengatakan, akan ditanggung oleh pemerintah melalui BPJS Kesehatan, terutama bagi masyarakat tidak mampu Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Sementara itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, pembahasan vaksin berbayar masih belum diputuskan. Hal itu masih dikaji.
"Jadi, sampai saat ini, nanti kita mau lihat untuk berbayar atau tidak berbayar, masih belum ada keputusannya," ujar Nadia saat berbincang dengan Health Liputan6.com baru-baru ini.
Menunggu keputusan selanjutnya, vaksinasi COVID masih dapat diakses gratis oleh masyarakat.
"Sampai sejauh ini, ketika masyarakat mau vaksin, masih gratis kok. Sampai nanti ada keputusan selanjutnya," ucap Nadia.
Advertisement
Pakar Nilai Vaksinasi-19 adalah Kewajiban Negara
Mengenai isu vaksinasi COVID-19 berbayar, Ketua Umum Terpilih PP Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra berpendapat seharusnya tidak perlu berbayar meski status kedaruratan COVID-19 dicabut.
“Tidak (berbayar), justru harusnya vaksinasi itu tidak perlu berbayar. Hemat saya, sampai kapanpun, vaksin COVID-19 ini tidak perlu berbayar karena ini kewajiban negara, apalagi melalui Indovac dan Inavac,” kata Hermawan kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Rabu (14/6/2023).
Hermawan lantas menyinggung soal laju vaksinasi di Indonesia yang terbilang lambat meski diberikan secara cuma-cuma.
“Jangankan berbayar, gratis saja orang enggak mau vaksin. Cek saja laju vaksinasi yang cukup rendah, apalagi kalau berbayar,” lanjutnya.
Hermawan menambahkan, vaksinasi penyakit menular itu bukan semata-mata kebutuhan pribadi, melainkan kebutuhan bangsa dan negara untuk perlindungan warga. Jadi, seharusnya tidak berbayar dan seharusnya bisa dijamin oleh pemerintah.
Lalu, Hermawan menekankan beberapa catatan yang perlu diperhatikan pemerintah ketika memutuskan mencabut status darurat COVID-19, yakni kasus aktif dan laju capaian vaksinasi.
“Tapi memang catatannya, kita ini kasus aktif masih lebih dari 10 ribu loh. Kemudian, kita juga masih punya problem di laju vaksinasi, terutama booster, kita itu rendah.”
Laju vaksinasi, kata Hermawan, menjadi hal yang tidak bisa ditawar jika status kedaruratan dicabut.
“Vaksinasi dalam negeri dengan sumber vaksin IndoVac atau InaVac diharapkan bisa mengantisipasi kedaruratan, akan tetapi lajunya rendah. Ini harus dijaga dan ditingkatkan,” jelas Hermawan.
Di sisi lain, hasil sero survei Kemenkes yang menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat sudah punya antibodi terhadap virus Corona menjadi angin segar untuk harapan Indonesia segera lepas dari bayang-bayang pandemi.
“Kabar baiknya, sebenarnya berdasarkan sero survei Kementerian Kesehatan (Kemenkes) hampir semua orang Indonesia itu sudah memiliki antibodi terhadap COVID. Artinya, COVID memang penularannya jalan terus, tetapi risiko rendah terutama fatality walaupun kematian itu masih ada setiap hari,” ujar Hermawan.
Proses Pencabutan Status Darurat COVID-19 Diawali dengan Pelonggaran Prokes
Siti Nadia Tarmizi menerangkan, proses pencabutan status darurat COVID-19, dimulai dengan protokol kesehatan (prokes) dilepas perlahan-lahan.
Pelepasan prokes seperti penggunaan masker "tidak lagi wajib" atau menjadi "pilihan" sesuai kebutuhan individu masing-masing sudah termaktub dalam Surat Edaran (SE) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Protokol Kesehatan pada Masa Transisi Endemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
"Nah itu, bagian proses ke sana. Jadi, kan kita sudah cabut dulu pembatasan kegiatan masyarakat, prokes lepas pelan-pelan," terang Nadia.
"Syarat vaksinasi juga nanti lepas jadi fakultatif (boleh memilih)."
Adanya vaksinasi yang mungkin dapat bersifat fakultatif, lanjut Nadia, vaksin COVID-19 tetap akan disediakan oleh pemerintah. Hal ini untuk mengantisipasi syarat masuk negara-negara tujuan, seperti misalnya terkait ibadah keagamaan (haji dan umrah), yang masih mewajibkan vaksinasi COVID-19.
"Jadi buat negara-negara yang masih mewajibkan seperti itu, kita masih siapkan vaksin COVID-19."
Lebih lanjut, Nadia mengatakan ketika protokol kesehatan dilepas bertahap, maka pembiayaan COVID dapat berubah ke depannya.
Apakah pembiayaan COVID akan berbayar atau tidak? Nadia menjawab, hal itu belum diputuskan.
"Nanti kalau sudah semua (prokes) itu secara bertahap dilepas, kita tarik ketahanan kesehatan termasuk pembiayaan tadi," jelasnya.
Terkait pembiayaan pasien COVID, Nadia menuturkan, saat ini mekanisme masih diklaim BPJS Kesehatan. Artinya, rumah sakit mengklaim ke BPJS Kesehatan, kemudian pembayaran uangnya bersumber dari uang Pemerintah.
"Sekarang kan sudah dibayar lewat BPJS, uangnya uang pemerintah, belum masuk mekanisme Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang seperti itu," tuturnya.
"Kalau dulu orang punya BPJS, enggak punya BPJS kan, pasti dibayar. Kalau dulu rumah sakit klaim langsung ke Kemenkes. Sekarang kan diklaim BPJS, sumber uang Pemerintah."
Advertisement
Status Darurat Dicabut, Bukan Berarti COVID-19 Hilang
Epidemiolog Dicky Budiman mengatakan, bila status darurat COVID-19 nasional dicabut bukan berarti COVID-19 hilang. COVID-19 masih tetap menjadi penyakit menular yang bisa hadir di tengah-tengah masyarakat.
Maka dari itu, Dicky menekankan pentingnya pemerintah memperlakukan COVID-19 sebagai penyakit menular yang berdampak serius bila kena infeksi berulang.
"Pemerintah perlu memperlakukan COVID-19 sebagaimana penyakit menular, bukan berarti sebagai penyakit biasa tapi sebagai salah satu penyakit yang masuk dalam program prioritas atau khusus seperti TB, HIV, dan malaria. Hal ini perlu ditegaskan oleh pemerintah," tuturnya.
Apa yang disampaikan Dicky selaras dengan ucapan Menkes Budi Gunadi. Menkes mengatakan, masyarakat harus belajar hidup bersama dengan SARS-CoV-2.
"Yang pertama, memang virus tidak hilang, tetap ada. Jadi kita harus belajar hidup dengan virus ini. Sama halnya dengan kita belajar hidup dengan penyakit menular lainnya," tegas Budi Gunadi usai rapat terbatas di Istana Kepresidenan Jakarta pada Selasa, 13 Juni 2023.
"Misalnya, malaria, Demam Berdarah Dengue (DBD), tuberkulosis (TB). Itu kan semuanya masih ada."
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami penanganan COVID-19 dan menjaga kesehatan masing-masing agar terhindar dari penularan virus Corona.
Kedua, masyarakat mesti tahu surveilans seperti apa. Kemudian bagaimana cara mengakses tes COVID-19 dan tes genomik untuk virus Corona.
Bahkan sekarang juga masyarakat dapat melakukan tes COVID-19 mandiri.
"Rapid test antigen sekarang sudah ada, tes genomik sudah ada, itu bisa dipakai," terang Budi Gunadi Sadikin.
Jangan Terjebak dalam Penetapan Endemi
Dicky mengungkapkan hingga saat ini belum ada institusi atau negara yang mencabut status pandemi COVID-19.
"Belum ada institusi atau negara yang mencabut itu, ya karena belum ada regulasinya. Menurut saya itu dinamis ada secara natural akan terlihat perubahan transisi itu," kata Dicky.
Ia pun mengingatkan kepada pemerintah Indonesia agar tidak menetapkan status COVID-19 sebagai endemi.
"Bila menetapkan sebagai endemi, menurut saya ini berisiko dan tidak perlu dan bahkan bisa menjebak. Karena kalau misalnya pandemi-pandemi lagi kan bisa menempatkan Presiden dalam posisi serba salah," katanya.
"Penyakit ini tetap unpredictable (tak bisa ditebak)," kata Dicky.
Lalu, bisa saja situasi COVID-19 di wilayah Indonesia belum sepenuhnya endemi. Mungkin ada beberapa wilayah yang masih mengalami outbreak dan perburukan.
"Jangan terjebak dalam penetapan endemi," tekan Dicky.
Endemi adalah suatu kondisi ketika suatu penyakit tidak akan hilang, tidak bisa benar-benar dikendalikan atau tidak bisa kasusnya nol.
Advertisement